Garam Kita dan Perbandingannya dengan Negara Lain

Koran Sulindo – Selain beras, garam hari ini juga menjadi pembicaraan publik. Pasalnya, harga garam sedang melambung. Celakanya, pada saat yang sama tingginya harga garam di pasaran sama sekali tidak menguntungkan petani.

Karena alasan itu pula, pemerintah lalu membuka keran impor garam untuk menekan harga. Kebijakan tersebut lantas memantik perdebatan antara Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti dan Wakil Gubernur terpilih Sandiaga Uno.

Sandi mempertanyakan alasan pemerintah membuka keran impor garam. Padahal, Indonesia disebut sebagai negara maritim dengan laut yang luas. Susi lalu menanggapi Sandi. Ia menyarankan agar Sandi mempertanyakan hal tersebut kepada kawan-kawan pengusahanya atau importir garam yang sudah puluhan tahun berdagang garam.

Menurut Susi, fakta menunjukkan harga garam di tingkat petani sangat rendah hanya Rp 400 per kilogram. Salah satu penyebab rendahnya harga garam itu karena garam impor yang masuk dalam skala besar sehingga memukul harga garam produksi petani. Ia mencatat sejak 2015 ada tujuh perusahaan yang bukan produsen-importir tapi mengimpor garam industri. Garam industri itu lalu merembes ke pasar hingga membuat harga garam menjadi murah.

Seperti Susi, ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri lewat blog pribadinya menyebutkan, sebagai negara maritim atau garis pantainya terpanjang kedua di dunia tidak serta merta membuat Indonesia berswasembada garam. Mitos demikian disebut Faisal tidak hanya melekat pada masyarakat awak, tapi juga acap didengungkan intelektual dan pejabat seperti Sandiaga Uno.

Itu hanya sekadar mitos. Dan itu akan menjadi benar apabila garam diproduksi di laut. Sejatinya garam diproduksi di darat. Perlu hamparan lahan untuk memproses air laut menjadi garam. Lokasi produksi umumnya di pantai. Dan pantai tidak hanya dipakai untuk produksi garam, tapi juga untuk perhotelan dan sarana rekreasi yang nilai ekonominya dianggap lebih menguntungkan.

“Produsen terbesar di dunia adalah Tiongkok. Padahal, panjang garis pantainya hanya seperempat dari Indonesia,” tulis Faisal pada Kamis (3/8).

Dari sisi hostoris, garam memang telah digunakan manusia sejak zaman kuno sebagai bahan pengawet dan pemberi rasa makanan. Bahkan garam acap digunakan sebagai alat tukar dalam perdagangan di zaman kuno.

Bahkan untuk saat ini, garam masih dianggap penting dalam perdagangan global. Pada umumnya untuk memproduksi garam konsumsi lazim menggunakan tiga teknik yaitu lewat penguapan air laut dengan matahari, penambangan dan penguapan vakum.

Mungkin Faisal benar. Bahwa negara maritim dan garis pantai bukan jaminan sebagai negara produsen garam. Tengoklah data yang dirilis pada Juli 2016. Belanda menduduki posisi puncak sebagai negara eksportir garam terbesar di dunia. Negara ini mampu mengekspor garam senilai sekitar US$ 278 juta pada 2015. Lalu menyusul Jerman dengan nilai sekitar US$ 206 juta, Cile sekitar US$ 189 juta, Kanada sekitar US$ 17 juta dan Meksiko  sekitar US$ 155 juta.

Fakta lain berdasarkan statista.com menunjukkan Tiongkok sebagai negara produsen garam terbesar di dunia. Pada 2016 produksi garam negara tersebut mencapai 58 juta ton. Menyusul Amerika Serikat (AS) dengan 42 juta ton, India 19 juta ton, Kanada 10 juta ton dan Jerman 12,5 juta ton.

Ini menunjukkan persoalan garam bukanlah karena garis pantai terpanjang atau karena sebagai negara maritim. Tiongkok, misalnya, garis pantainya hanya seperempat dari Indonesia. Pun Belanda yang garis pantainya hanya 451 kilometer, tapi mampu menjadi negara eksportir garam terbesar di dunia. Dari fakta ini, Indonesia nampaknya perlu belajar bagaimana mengelola industri garamnya. [KRG]