Karena ketergantungan dan nilai jualnya, garam menjadi komoditas paling menjanjikan bagi VOC selama masa pendudukan mereka.

Dengan penggunaan di setiap daerah terutama bagi masyarakat yang akrab dengan ‘sayuran’ seperti di India, VOC melihat peluang untuk mengeruk uang.

Bila semula mereka hanya mengenakan pajak, belakangan firma dagang itu langsung terlibat mengatur produksi sekaligus pemasarannya sekaligus menetapkan Madura sebagai pusatnya. Monopoli.

Monopoli garam mulai diperkenalkan oleh VOC di wilayah Jawa ketika tahun 1813, dimana garam hanya boleh diproduksi oleh negara. Tidak boleh membuka ladang baru untuk garam, kecuali berizin. Negara memegang otoritas penuh atas perdagangan garam.

Penunjukan Madura sebagai pusat produksi garam tak lepas dari pertimbangan bahwa kualitas garam dari daerah itu lebih baik dibanding daerah lain. Di Madura, VOC dan kemudian Belanda memperluas wilayah produksnya yang semula hanya di Kalianget hingga ke kawasan Pamekasan dan Sampang. VOC menyebut wilayah penghasil garam di Madura itu sebagai zoutnegorizen.

Dalam History of Java, Thomas Stanford Raffles menyebut selain Madura, tempat-tempat lain yang juga menghasilkan garam dikuasai pemerintah kolonial seperti di Pakis di sekitar Batavia, Banten, Cirebon, Tegal, Wedong dan Brahang. Di wilayah Semarang, garam dihasilkan Rembang, Sedayu, dan sepanjang pantai utara hingga Gresik dan Simami.

Garam juga dihasilkan dari pantai selatan meski mutunya tak terlalu baik dan prosesnya yang lebih rumit. Garam juga dihasilan dari wilayah Mrapen, Purwodadi yang dikenal sebagai sumber bledeg dengan produksi hingga 200 ton per tahun.