Garam krosok yang menumpuk di gudang karena belum terjual. (Foto: Sulindo/Iqyanut Taufik)
Garam krosok yang menumpuk di gudang karena belum terjual. (Foto: Sulindo/Iqyanut Taufik)

Jakarta – Garam merupakan salah satu penyedap rasa yang digunakan ketika memasak makanan agar menjadi makanan yang lebih nikmat. Selain sebagai penyedap makanan, garam juga bisa digunakan menjadi pengawet makanan karena garam dapat menghambat pertumbuhan bakteri dan mikroorganisme yang menyebabkan kerusakan makanan.

Berbeda dengan dengan pembuat garam atau lebih sering disebut petani garam, kehidupan yang mereka jalani  tidak selalu enak, panas perih mereka rasakan ditambah penghasilan yang tidak menentu – juga musim yang sekarang hampir tidak bisa di prediksi menjadikan mereka hanya bisa berharap.

Seperti yang diutarakan Rohmat salah satu petani garam di desa Alang-alang kecamatan Tirtayasa Kabupaten Serang, Banten – beliau merasa kehidupan sebagai petani garam seringkali miris. Perjuangan mereka terkadang tidak sebanding dengan hasil yang mereka dapatkan, garam yang mereka produksi tidak dilirik oleh masyarakat sekitar. Ketika meminta bantuan kepada pihak pemerintah pun mereka seakan tidak ditanggapi meskipun berbagai proposal sudah mereka ajukan hanya sekedar meminta untuk dibantu mendapatkan plastik sebagai alas yang nantinya akan digunakan dalam proses produksi garam.

Masalah utama yang dialami Rohmat adalah permodalan dimana hasil panen garam yang diproduksinya masih sering menggunung di gudang miliknya. Hasil panen dan jumlah penjualan seringkali tidak sesuai dengan harapan ditambah lagi peminat garam krosok disekitar juga sangat kecil. Garam yang di produksi Rohmat justru dikirim ke wilayah Lampung, bukan wilayah Jawa.

Rohmat berharap agar pemerintah memberikan bantuan kepada para petani garam di wilayah Banten, khususnya untuk wilayah Serang dimana dirinya bertani garam. Persyaratan untuk mendapatkan bantuan menurut Rohmat adalah dengan bergabung di Koperasi Unit Desa (KUD) namun karena hanya ada tiga petani yang membuka lahan untuk bertani garam maka dari KUD tersebut tidak bisa dibuka dengan alasan KUD yang ada di desa tersebut sudah terbentuk 5 KUD.

”Yang dapat bantuan kan harus bikin proposal, bikin KUD, Saya sampai (bertemu) orang dinas itu, ngomongin itu. Pak jangan hanya percaya sama proposal, langsung aja terjun ke lapangan siapa yang bikin garam. Kalau proposalnya saja yang dilihat tapi kenyataannya yang dilapangan saya dan nama saya sudah terdaftar tetapi sama sekali tidak pernah tersentuh bantuan,” kata Rohmat saat di temui Sulindo di ladang garamnya yang berada di Desa Alang-alang, Kamis (1/05/2025).

Dirinya menuturkan sempat ikut rapat yang diadakan di Kecamatan Pontang dengan harapan bisa mendapatkan bantuan, namun bukan bantuan yang dia dapat melainkan hanya mendapat souvenir dari acara tersebut.

Total ladang garam yang berada di desa Alang-alang ini seluas 12 hektar yang dikelola oleh 3 orang petani garam.

Rohmat mengelola ladang garam diwilayah ini sudah berjalan 13 tahun dimulai pada tahun 2012 dimana wilayah tersebut masih berupa tanah kosong yang ditumbuhi ilalang. Rohmat menjelaskan awal mula dirinya membuka lahan diwilayah ini, para warga sekitar merasa heran dengan apa yang dia lakukan.

”Saya waktu dulu ada metak metak, bikin petakan itu orang-orang heran kok, makanya kok sampai keluar garan ngono loh (padahal) dulunya seperti itu,” Ungkap Rohmat.

Rohmat sendiri merupakan petani garam kelahiran Pati, Jawa Tengah. Dirinya merantau ke wilayah Banten berawal sebgai seorang kurir yang mengirimkan hasil laut dari wilayah Pati yang Ia kirimkan ke Jakarta. Di Jakarta Ia bertemu dengan temannya yang dipercaya untuk mengelola lahan yang ada di wilayah Serang Banten yang kemudian diubah menjadi ladang garam hingga saat ini. [IQT]