Koran Sulindo – Target penerimaan pajak lewat program pengampunan pajak atau tax amnesty keliru, karena targetnya terlalu tinggi. Kekeliruan itu dilakukan pemerintah. “Yang keliru itu penempatan target yang terlalu tinggi. Kalau saya ingin katakan, keliru, ya, karena pemerintah sendiri,” kata Wakil Presiden Jusuf Kalla di kantornya, Jumat (2/9), sebagaimana dikutip banyak media.

Diungkapkan dia, dana yang berasal dari program pengampunan pajak itu akan langsung masuk ke dalam APBN. Untuk itu, ada korelasi risiko terhadap APBN jika target yang hendak dicapai tidak terpenuhi. “Saya belum tahu bahwa ada pemotongan atau tidak karena kita belum melewati September. Tapi kalau September itu tidak tercapai tentu saja solusi yang ada tinggal pemotongan,” tuturnya.

Ia mengaku dirinya telah berkomunikasi dengan sejumlah pihak untuk merndorong segera terealisasinya target penerimaan negara melalui program tersebut. Jusuf Kalla juga mengatakan, Ketua Tim Ahli Wakil Presiden yang juga Ketua Dewan Penasihat Asosiasi Pengusaha Indonesia, Sofjan Wanandi, juga telah mengumpulkan pengusaha besar. “Beberapa ratus orang itu, tiga hari yang lalu. Dan mereka telah berjanji untuk segera merealisasinya per September ini sesuai dengan keadaan yang ada,” katanya.

Sampai saat ini, 2 September 2016, penerimaaan yang bersumber dari program pengampunan pajak memang masih jauh dari target yang ditentukan pemerintah, baru Rp 4,04 triliun, sementara targetnya Rp 165 triliun.

Padahal, Presiden Presiden Joko Widodo (Jokowi) sebelumnya mengatakan, ia sudah mengantongi data siapa saja yang menyimpan uang di bawah bantal dan di luar negeri. “Bukan uang siapa-siapa, itu uang kita. Ada yang ditaruh di bawah bantal. Saya tahu, ada yang ditaruh di bank Swiss, ada yang ditaruh di Hong Kong, ada yang ditaruh di BPI, ada yang ditaruh di Singapura. Datanya ada di kantong saya,” kata Joko dalam sosialisasi pengampunan pajak di Sumatera Utara seperti ditulis situs Sekretariat Kabinet, 22 Juli 2016 lalu.

Bahkan, pada Agustus tahun lalu, Joko mengatakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan meroket mulai September 2015. “Mulai agak meroket September, Oktober. Nah, pas November itu bisa begini [tangan menunjuk ke atas],” kata Joko di Istana Bogor, Jawa Barat, 5 Agustu 2015.

Kenyataannya, meski tetap tumbhan, perekonomian Indonesia masih morat-marit, meski belum mengalami krisis ekonomi, seperti kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati.  Pada 25 Agustus 2016 lalu, dalam rapat kerja dengan anggota Komisi XI DPR di Gedung DPR, Jakarta, Sri mencoba meniupkan angin segar.  Ia mengatakan Indonesia tidak sedang mengalami krisis ekonomi karena ekonominya masih tumbuh kurang-lebih 5%, walau memang melambat dari tahun-tahun sebelumnya.

“Lima persen masih bagus untuk kondisi sekarang,” ungkap Sri Mulyani. Namun, tambahnya, memang ada beberapa sektor yang perlu mendapatkan perhatian khusus, antara lain sektor pertambangan dan perkebunan, yang mengalami kontraksi cukup signifikan. “Kita akui, itu kronis yang bisa menimbulkan krisis kepercayaan, makanya kita harus adjust,” ujar Sri.

Itulah soalnya: krisis kepercayaan! Pernyataan dan optimisme Sri Mulyani itu bisa saja dianggap angin lalu, bukan angin segar, kalau banyak warga masyarakat dalam realitas keseharian kesulitan menggapai harga-harga kebutuhan hidup yang terus naik, sementara daya beli terus merosot dan mungkin akan terus merosot dalam beberapa bulan ke depan. Misalnya karena dikeluarkannya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 125/PMK.07/2016 tentang Penundaan Penyaluran Sebagian Dana Alokasi Umum Tahun Anggaran 2016, yang diteken Sri Mulyani pada 16 Agustus 2016.

Penyaluran Dana Alokasi Umum (DAU) yang ditunda pada tahun ini mencapai Rp 19,4 triliun, yang mencakup 169 pemerintah daerah. Padahal, banyak pemerintah daerah yang menggunakan DAU untuk pembayaran gaji aparatnya. Lalu, pemerintah juga akan mencukur dana transfer ke daerah (dana perimbangan) sebesar Rp 70,13 triliun dan dana desa sebesar Rp 2,81 triliun.

Sementara itu, dari “dunia atas” dikabarkan utang luar negeri Indonesia pada akhir kuartal II 2016 tercatat sebesar US$ 323,8 miliar atau Rp 4.273 triliun (dengan estimasi kurs Rp 13.197 per US$ 1). Utang luar negeri Indonesia ini meningkat 6,2% secara tahunan (year on year).

Begitu pula dengan debt service ratio (DSR) pada kuartal II 2016. Menurut data Bank Indonesia, rasio utang luar negeri Indonesia terhadap produk domestik bruto pada akhir kuartal II 2016 tercatat 36,8%, sementara pada akhir kuartal I 2016 sebesar 36,6%, walau memang batas aman DSR yang dipatok Bank Indonesia adalah 51,1%.

Sebenarnya, wajar jika pemerintah berutang. Sekarang ini hampir tak ada negara yang tak memiliki utang. Yang penting, utang pemerintah dimanfaatkan untuk kegiatan-kegiatan produktif serta demi membuat bangsa dan negara lebih sejahtera. Juga asalkan pendapatan negara terus meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun.

Masalahnya, sampai akhir semester pertama 2016, realisasi pendapatan negara dan hibah hanya mencapai Rp 634,7 triliun atau sebesar 35,5% dari target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBNP) Tahun Anggaran 2016 yang sebesar Rp 1.786,2 triliun. Akan halnya realisasi belanja negara mencapai Rp 865,4 triliun atau sebesar 41,5% dari pagu APBNP Tahun 2016 yang sebesar Rp 2.082,9 triliun. Berdasarkan realisasi pendapatan dan belanja negara tersebut, realisasi defisit APBN mencapai sebesar Rp 230,7 triliun atau 1,83% terhadap produk domestik bruto.

Realisasi pendapatan negara yang bersumber dari penerimaan perpajakan juga lebih rendah dibandingkan periode yang sama di tahun 2015. Begitu pula dengan realisasi pendapatan negara melalui penerimaan negara bukan pajak (PNBP), yang sampai Juni 2016 hanya Rp 112,1 triliun, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun 2015 yang mencapai sebesar Rp 132,4 triliun.

Yang juga menjadi masalah adalah buruknya pengelolaan anggaran pemerintah. Ini terbukti dari opini Wajar dengan Pengecualian (WDP) yang diberikan Badan Pemeriksa Keuangan untuk Laporan Keuangan Pemerintah Pusat Tahun 2015. Opini tersebut mengindikasikan adanya potensi kebocoran yang relatif besar pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara.

Belitan-belitan ekonomi itu saja sudah membuat Indonesia sesak napas. Padahal, masih banyak soal lain di luar ekonomi yang juga sangat memprihatinkan. Karena itu, pemerintah sebagai penyelenggara harus bekerja cerdas agar dapat menemukan “obat” yang tepat sekaligus meminimalkan datangnya “penyakit” baru, bukan sekadar berslogan “kerja, kerja, kerja” dan membangun optimisme berlebihan. [PUR]