Koran Sulindo – Dua staf khusus (stafsus) “milenial” Presiden Joko “Jokowi” Widodo, yang berlatar belakang pendiri dan bos perusahaan rintisan (start up), menjadi bahan perbincangan di berbagai pemberitaan maupun media sosial.
Publik menyorot Adamas Belva Syah Devara karena perusahaan yang didirikannya menjadi salah satu mitra pemerintah dalam pelaksana program Kartu Prakerja. Pemerintah akan membagikan kartu tersebut kepada 2,8 juta warga negara berusia 18 tahun ke atas yang tidak sedang sekolah/kuliah.
Setiap penerima mendapat bantuan biaya pelatihan sebesar Rp 1 juta di tempat kursus yang ditunjuk pemerintah; salah satunya Skill Academy by Ruang Guru. Belva saat ini masih menjabat sebagai Direktur Utama Ruang Guru.
Publik juga mengkritik stafsus lainnya, Andi Taufan Garuda Putra, lantaran mengeluarkan surat berkop Sekretariat Kabinet meminta camat se-Indonesia mendukung kerja sama antara pemerintah pusat dengan PT Amartha – perusahaan penyelenggara layanan jasa keuangan mikro.
Andi merupakan pendiri Amartha dan saat ini masih menjabat sebagai Chief Executive Officer (CEO). Andi kemudian mencabut surat itu dan meminta maaf.
Kedua situasi tersebut menghasilkan perdebatan.
Sebagian pihak mengatakan kerjasama Skill Academy by Ruang Guru suatu hal yang dibutuhkan untuk mengurangi angka pengangguran. Kerja sama tersebut pun sudah terjadi sebelum Belva menjadi stafsus dan dirinya tidak terlibat dalam pengambilan keputusan maupun pelaksanaan program saat ini.
Selain itu, perusahaan Andi bermitra dengan pemerintah sebagai relawan dalam edukasi COVID-19 dan pendataan kebutuhan alat pelindung diri di Puskesmas. Ini adalah suatu kolaborasi yang tidak menggunakan dana negara dan tidak menghasilkan keuntungan finansial baginya atau perusahaan.
Tapi di pihak lain, ada juga masyarakat yang mengkritik kedua stafsus beserta perusahannya karena terdapat konflik kepentingan dalam kedua situasi mereka.
Apa itu sebenarnya konflik kepentingan? Bagaimana aturan di Indonesia?
Konsep Konflik Kepentingan dan Situasi Stafsus Milenial
Jika seorang pejabat publik menemui konflik antara kewajibannya melayani publik dan kepentingan pribadinya, yang dapat mempengaruhi secara tidak wajar tugas dan tanggung jawab publiknya, ia menghadapi yang disebut konflik kepentingan.
Dalam Undang-Undang (UU) administrasi pemerintahan, konflik kepentingan didefinisikan sebagai suatu:
“kondisi pejabat pemerintahan yang memiliki kepentingan pribadi untuk menguntungkan diri sendiri dan/atau orang lain dalam penggunaan wewenang sehingga dapat mempengaruhi netralitas dan kualitas keputusan dan/atau tindakan yang dibuat dan/atau dilakukannya.”
Secara luas, konflik kepentingan tidak hanya dimaknai ketika terjadi perbuatan pengambilan keputusan atau pelaksanaan program pemerintah yang menguntungkan pejabat publik. Situasi yang berpotensi mempengaruhi kinerja seorang pejabat publik di masa mendatang, juga masuk dalam pemaknaan konflik kepentingan.
Selain itu, kepentingan pribadi tidak terbatas pada keuntungan finansial yang diperoleh tapi juga melingkupi keuntungan non-finansial; ini bisa berbentuk informasi program pemerintah, promosi nama perusahaan, pertambahan pengguna jasa, atau data masyarakat.
Hal-hal tersebut merupakan aset yang tak berwujud yang tentu sangat berharga bagi perusahaan rintisan.
Dalam praktiknya, keuntungan finansial dan non-finansial tidak selalu diterima langsung oleh si pejabat publik. Pengertian konflik kepentingan juga melingkupi keuntungan yang diterima oleh anggota keluarga, organisasi, atau perusahaan yang memiliki keterkaitan dengan seorang pejabat publik.
Berdasarkan konsep ini, terdapat potensi konflik kepentingan dalam kasus Belva dan Andi baik dalam bentuk keuntungan finansial maupun non-finansial. Meskipun berniat sosial, suatu perusahaan tetaplah bertujuan untuk memperoleh profit.
Sanksi bagi Pelanggar
Pembatasan konflik kepentingan berkembang di berbagai negara karena merupakan kunci untuk peningkatan iklim berbisnis yang sehat, kompetitif, dan setara.
Selain itu, pengaturan mengenai konflik kepentingan adalah salah satu upaya dalam mencegah korupsi. Hal ini juga bertujuan untuk menyuburkan budaya pejabat publik yang mengutamakan kepentingan publik.
Indonesia telah meratifikasi Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang Anti-Korupsi pada tahun 2006.
PBB menyarankan agar negara yang telah meratifikasi menyusun berbagai upaya pencegahan konflik kepentingan yang lebih luas dan rinci yang meliputi tidak hanya potensi keuntungan finansial tapi juga non-finansial.
Namun, di Indonesia, larangan konflik kepentingan masih terbatas pada pengadaan barang dan jasa. Apabila terjadi, maka hal tersebut dapat kategorikan sebagai tindak pidana korupsi berdasarkan UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Indonesia semestinya mengatur secara lebih luas mengenai konflik kepentingan.
Salah satunya dengan membatasi dan mewajibkan pejabat publik untuk melaporkan pada publik aktivitas, pekerjaan, investasi, pemberian atau keuntungan yang memungkinkan konflik kepentingan terjadi.
Selain itu, upaya pencegahan lainnya dengan memberikan rentang waktu bagi seorang pejabat publik yang baru saja habis masa jabatannya untuk bekerja pada sektor swasta. Terutama bila sektor usaha tersebut berkaitan dengan tugas serta fungsi pejabat tersebut semasa aktif menjabat.
Rentang waktu yang diatur sangat beragam; Prancis dan Jerman mengatur “cooling-off” period selama 5 tahun, sedangkan Jepang mengatur 2 tahun.
PBB juga menyarankan untuk mendisiplinkan pejabat publik yang melanggar standar konflik kepentingan dengan memberi hukuman. Hukuman dapat berupa sanksi administratif mulai dari teguran hingga pencopotan jabatan. Dalam kasus stafsus, sanksi ini dapat dijatuhkan oleh atasan, yaitu Jokowi.
Pelanggar juga bisa mendapat sanksi pidana. Dalam ketentuan pemberantasan korupsi saat ini, kedua stafsus tersebut dapat dijatuhi sanksi pidana hanya jika konflik kepentingan secara khusus terjadi dalam pengadaan barang atau jasa.
Secara lebih luas lagi, mereka dapat terjerat tindak pidana korupsi hanya jika menyalahgunakan kewenangannya untuk menguntungkan dirinya, orang lain, atau perusahan yang menyebabkan kerugian keuangan negara.
Mencegah Terjadinya Konflik Kepentingan
Susan Rose Ackerman, ahli anti-korupsi dan kebijakan publik di Yale University, Amerika Serikat, menyatakan pemerintah semestinya mengupayakan pencegahan sebelum terjadinya tindakan korupsi akibat konflik kepentingan.
Upaya pencegahan paling sederhana ialah dengan mewajibkan setiap pejabat publik yang akan diangkat untuk mundur dari suatu perusahaan.
Dengan mundur dari perusahaan yang didirikan dan dipimpin, kedua stafsus itu dapat mencegah konflik kepentingan yang dapat meruntuhkan kepercayaan publik, dan meruntuhkan wibawa institusi, perusahaan, serta individu yang terlibat. [Choky R. Ramadhan, Dosen Hukum Acara Pidana/ Ketua MaPPI FHUI, Universitas Indonesia]. Tulisan ini disalin dari theconversation.com.