Friedrich Silaban Ikut Sayembara Arsitektur Istiqlal Pakai Nama Samaran

koransulindo.com – Masjid Istiqlal bersolek. Menghabiskan biaya renovasi sebesar Rp475 miliar, Presiden Joko Widodo memperbaiki Masjid Istiqlal secara besar-besaran setelah 42 tahun berdiri, pada 2020. Presiden kemudian meresmikan kemegahan Masjid Istiqlal usai dipercantik oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), pada Kamis 7 Januari 2021.

“Inilah wajah baru masjid terbesar di Asia Tenggara berkapasitas 200.000 jemaah itu,” tulis Jokowi di akun resminya di Twitter. Masjid Istiqlal direnovasi agar menjadi semakin megah, katanya, bukan untuk gagah-gagahan. Selain menjadi kebanggaan umat Islam, ia juga menjadi kebanggaan seluruh rakyat, bangsa Indonesia.

Lanskapnya ditata ulang menjadi indah. Masjid ini pun semakin kelihatan tertata rapi. Lantainya juga terlihat oleh Jokowi “sudah tiga kali lebih berkilau” dari kondisi sebelumnya yang terlihat buram di sana-sini. Tata cahayanya juga diganti, jauh lebih modern dan indah. Sungai yang membelah Istiqlal juga semakin bersih dan resik.

Terletak di Jalan Taman Wijaya Kusuma, Jakarta Pusat, Masjid Istiqlal diresmikan pada 22 Februari, 43 tahun lalu, setelah pembangunannya memakan waktu 23 tahun. Dibangun di atas tanah seluas 9,5 hektar bekas Benteng Citadel milik Belanda, ia pun menjadi masjid terbesar dan termegah di Asia Tenggara.

Berlokasi di seberangan Gereja Katedral, Masjid Istiqlal pun menjadi simbol toleransi antaragama. Bahkan kini dibuat terowongan bawah tanah yang menghubungkan halaman masjid ini dengan halaman gereja besar itu, sehingga simbol toleransi antaragama menjadi semakin nyata, dan maknanya kian terasa.

Ide pembangunan Masjid Istiqlal datang dari Presiden Soekarno. Sejak awal, dia ingin masjid itu dibangun di bekas Benteng Citadel untuk alasan politis dan artistik. Dalam buku “Masjid Istiqlal: Sebuah Monumen Kemerdekaan,” Solichin Salam menyebut Bung Karni ingin masjid itu menjadi monumen kemerdekaan bangsa Indonesia dari penjajah.

Bagi Bung Karno, Benteng Citadel sebagai salah satu bukti penjajahan Belanda di Indonesia harus dikubur dengan bangunan monumental Masjid Istiqlal. “Di atas bekas benteng penjajahan ini kita bangun Masjid Istiqlal yang berarti merdeka atau kemerdekaan. (Itulah) pertimbangan Bung Karno” tulis Solichin.

Demi kelancaran pembangunan masjid ini, pada 1954 Bung Karno membentuk Yayasan Masjid Istiqlal. Setahun kemudian, panitia pembangunan Masjid Istiqlal mengadakan sayembara desain arsitektur masjid. Dari 30 proposal yang masuk, 22 buah lolos kriteria, dan darinya akhirnya terpilih lima finalis.

Pada Juli 1955, dewan juri yang diketua Bung Karno menetapkan proposal berjudul “Ketuhanan” karya Friedrich Silaban sebagai pemenang sayembara. Dia harus mengikuti sayembara desain bangunan Masjid Istiqlal dengan menggunakan nama samaran “Ketuhanan”, yang sekaligus menjadi motonya.

Saat mendengar pengumuman sayembara itu, dia bertanya ke Bung Karno, sahabat dekatnya, apa boleh dia ikut? Bung Karno membolehkannya, tapi memberi saran padanya agar dia memakai nama samaran. “Kalau tidak, maka tak akan ada yang mau memilih,” kata Bung Karno. Alasannya, dia seorang Kristen Protestan yang berayahkan pendeta.

Bung Karno memilih desain Friedrich bukan karena dia sahabatnya, tapi karena orisinalitasnya. “Arsitektur Istiqlal itu asli, tidak meniru dari mana-mana, tetapi juga tidak tahu dari mana datangnya,” kata Friedrich yang gemar berkeliling ke kota-kota di Indonesia dan dunia dan melihat banyak masjid.

Dia selalu mempelajari desain bangunan menarik di daerah-daerah yang dikunjunginya. Dalam mendesain bangunan, dia berprinsip: “Patokan saya dalam merancang hanyalah kaidah-kaidah arsitektur yang sesuai dengan iklim Indonesia, dan berdasarkan apa yang dikehendaki orang Islam terhadap sebuah masjid.”

Friedrich menuangkan semua idenya dalam proposal yang diajukannya ke panitia. Tampaknya dia memasukkan banyak simbol yang berkaitan dengan Islam dan kemerdekaan Indonesia ke dalam desain Masjid Istiqlal. Kubah masjid, misalnya, berdiameter 45 meter yang melambangkan tahun kemerdekaan Indonesia. Kubah itu dihias dengan ayat kursi al-Qur’an.

Masjid Istiqlal ditopang 12 tiang penyangga. Angka ini mengacu pada tanggal kelahiran Nabi Muhammad SAW yang jatuh pada 12 Rabiul Awal. Lalu, Istiqlal memiliki lima lantai — empat lantai balkon dan satu lantai dasar — yang melambangkan 5 Rukun Islam, sekaligus jumlah salat wajib dalam sehari, dan jumlah sila dalam Pancasila.

Kemudian, Friedrich merancang menara Masjid Istiqlal dengan tinggi enam meter lebih, tepatnya 6.666 sentimeter, yang dibangun di bagian luar masjid. Angka ini merupakan keseluruhan jumlah ayat dalam al-Quran. Friedrich, meski seorang arsitek non-muslim, tampaknya ia berusaha mempelajari betul simbol-simbol pokok ajaran Islam.

Bung Karno kemudian melakukan pemancangan tiang pertama pembangunan Masjid Istiqlal pada 1961. Tapi, baru 17 tahun kemudian, tepatnya 22 Februari 1978, Masjid Istiqlal diresmikan. Pembangunannya tersendat-sendat disebabkan banyak gejolak politik dan masalah ekonomi. Misalnya, krisis moneter 1960-an membuat anggaran negara terbatas.

Desain Masjid Istiqlal membuat Friedrich mendapat tanda kehormatan dan tanda jasa dari pemerintah. Dia lahir dari keluarga petani sederhana di Bonan Dolok, Sumatera Utara, pada 16 Desember 1912. Saat dewasa, dia bertekad pergi ke Jakarta, lalu masuk Koningin Wilhermina School, sebuah sekolah setingkat Sekolah Teknik Menengah (STM), pada 1931.

Dia kemudian melanjutkan studi ke Belanda pada 1949 hingga 1950. Arsitek pekerja keras dengan kecerdasan tinggi itu memiliki puluhan karya di Indonesia. Sejumlah desainnya yang belum dibangun masih disimpan utuh oleh keluarga Silaban. Dia tutup usia pada 14 Mei 1984 di RSPAD Gatot Subroto, Jakarta, dalam usia 72 tahun. (ahmadie thaha)

Baca juga: