Freeport Tolak Proposal Pemerintah soal Divestasi Saham

Menkeu Sri Mulyani (tengah), Menteri ESDM Ignatius Jonas, dan Presiden dan CEO Freeport Richard Adkerson/kemenkeu.go.id

Koran Sulindo – Impian pemerintah untuk menjadi pemilik saham mayoritas di PT Freeport rupanya “membentur tembok”. Memang belum kandas, tapi Freeport tidak mau skema penjualan sahamnya diatur dengan cara pemerintah Joko Widodo-Jusuf Kalla.

Terlebih, kata CEO Freeport-McMoran, Richard Adkerson, pihaknya tidak memiliki kewajiban divestasi di bawah Kontrak Karya. Bahwa Freeport dan pemerintah telah sepakat untuk membahas jangka waktu penyelesaian divestasi. Freeport mengusulkan untuk divestasi awal dilakukan secepat mungkin dengan initial public offering atau penawaran umum perdana.

“Divestasi penuh berlangsung secara bertahap dalam jangka waktu yang sama dengan jangka waktu yang ditentukan berdasarkan peraturan pemerintah,” tulis Adkerson dalam suratnya kepada pemerintah Indonesia seperti dikutip Kontan.co.id pada Jumat (29/9).

Sedangkan, pemerintah beranggapan divestasi 51 persen saham Freeport bisa diselesaikan paling lama akhir 2018. Pemerintah disebut memiliki kemampuan keuangan untuk mengambil divestasi saham paling lambat pada akhir 2018. Berdasarkan Pasal 24 angka 2 dari Kontrak Karya (KK), kepemilikan saham pemerintah mencapai 51 persen seharusnya selesai pada 2011. Karena itu, pelaksanaan divestasi ini merupakan kewajiban Freeport yang ditunda.

Kalimat inilah yang kemudian membuat Adkerson menyurati pemerintah dan tidak sepakat atas proposal yang ditawarkan pemerintah paada 28 September 2017. Menurut Adkerson, divestasi saham Freeport 51 persen masih bersyarat dengan asumsi operasional perusahaan tersebut berjalan hingga 2041.

Adkerson menujukan suratnya kepada Sekretaris Jenderal Kementerian Keuangan Hadiyanto. Ada lima poin penting yang disampaikan Adkersoal di luar divestasi 51 persen saham Freeport. Periodisasi divestasi diminta sesuai dengan ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2017.

Ia juga mengatakan, berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994, yang merevisi kepemilikan Indonesia sebesar lima persen sehingga memperbolehkan kepemilikan asing sampai 100 persen. Soal keinginan pemerintah valuasi divestasi berdasarkan kegiatan operasional hingga 2021, Adkerson menolaknya. Ia berkeras divestasi harus mencerminkan operasional hingga 2041.

“Freeport punya hak secara kontraktual untuk jalan hingga 2021 berdasarkan pasal 31 KK,” tulis Adkerson.

Ia juga menyinggung soal investasi Freeport hingga US$ 14 miliar dan menambah US$ tujuh miliar untuk pengembangan bawah tanah. Dan semuanya itu sudah mendapat izin dari berbagai lembaga yang mendukung operasional hingga 2041. Freeport, kata Adkerson, tidak ingin divestasi dengan menerbitkan saham baru sesuai permintaan pemerintah. Perusahaan ini ingin menjual saham lama sebagai bagian divestasi.

Ketika pemerintah berkeras menerbitkan saham baru, Freeport disebut bisa memiliki kelebihan kapitalisasi. Soal keinginan pemerintah memiliki 51 persen divestasi saham, Freeport mengatakan, akan terlebih dulu menyelesaikan masalah kemitraan dengan Rio Tinto. Freeport dan mitranya ingin divestasi berdasarkan nilai pasar yang adil hingga 2041.

Kendati banyak hal yang tidak disetujui Freeport, Adkerson bersedia membuka data agar pemerintah sedianya bisa melakukan uji tuntas. Proposal pemerintah dituduh tidak konsisten dan tidak mencerminkan semangat sama-sama diuntungkan. [KRG]