Freeport: Teater tanpa Penonton

Koran Suluh Indonesia Volume 15 Tahun III, 23 Juli - 5 Agustus 2018

Koran Sulindo – Freeport bagai panggung, dengan bunyi tabuhan gendang, dan elite politik kita ramai-ramai menari sambil mempertontonkan “jiwa yang tampak”-nya. Pertunjukan ini banyak penontonnya, yang terpolarisasi karena adanya perbedaan pilihan politik praktis atau kepentingan pribadi atau kelompoknya. Jadinya, pandangan masing-masing pihak kabur dan bertabrakan, sementara panggung semakin ramai dan berisik.

Dari penonton itu ada juga yang sebenarnya aktor-aktor pada pertunjukan tersebut. Ini seperti konsep “teater tanpa penonton”: teater yang penontonnya bisa menjadi aktor dalam pertunjukan atau aktornya bisa menjadi bagian dari penonton. Akibatnya, muncul panggung baru yang tak kalah ramai dan berisiknya.

Kapankah pertunjukan itu usai? Akankah para penontonnya mengalami “katarsis”, ‘pencucian jiwa’, sehingga kemudian dapat lebih jernih memandang centang-perenang kehidupan berbangsa dan bernegara?

Yang pasti, banyak juga yang enggan menonton atau bahkan tak peduli sama sekali terhadap pertunjukan itu. Mereka boleh jadi sedang berjibaku agar dapat membeli kebutuhan pokok sehari-hari, yang harga-harganya terus meninggi. Sebagian dari mereka tentu saja ada warga Tanah Papua,  tempat Freeport menambang tembaga dan emas serta mineral lainnya.

Bahkan, menurut Lisa Pease, yang menulis “JFK, Soekarno, CIA, and Freeport” dan dimuat di majalah Probe tahun 1996, tambang emas Freeport di Papua adalah tambang emas terbesar di dunia. Emasnya dengan kualitas terbaik sedunia.

Pease juga mengatakan, sebagian kebesaran dan kemegahan Amerika Serikat sekarang ini adalah hasil perampokan resmi mereka atas gunung emas di Papua. Sementara itu, bagi segelintir pejabat negeri ini, beberapa jenderal dan para politisi rakus, Freeport telah menyiram mereka dengan kenikmatan hidup. Mereka  bergelimang harta dengan memiskinkan bangsa ini. “Mereka ini tidak lebih baik dari seekor lintah,” kata Lisa Pease.

Soal “binatang” yang tak lebih baik dari seekor lintah itu bukan lagi rahasia. Tahun 2005, misalnya, Global Witness merilis laporan bertajuk “Paying for Protection”. Dalam laporan tersebut antara lain diinformasikan adanya hubungan antara keamanan perusahaan dan militer Indonesia. Juga banyaknya kasus pelanggaran hak asasi akibat adanya hubungan tersebut.

Laporan Global Witness ini dibuat berdasarkan penjelasan Freeport-McMoRan kepada Komisi Sekuritas dan Bursa Amerika Serikat. Dari laporan tersebut diketahui, PT Freeport Indonesia telah membayar US$ 4,7 juta pada tahun 2001 untuk “jasa keamanan pemerintah” dan pada 2002 membayar US$ 5,6 juta.

Sebelumnya, pada 30 Januari 2003, The New York Times memuat artikel berjudul “US links Indonesian troops to death of two Americans”. Isinya juga soal hubungan Freeport dengan militer Indonesia. Kemudian, The New York Times pada tahun 2005 juga kembali memuat artikel soal uang keamanan Freeport, dengan judul “Below a Mountain of Wealth, a River of Waste”, yang ditulis Jane Perlez dan Raymond Bonner.

Pertengahan Juli 2018 lalu, pada acara diskusi di sebuah stasiun televisi swasta, soal ini juga dinyatakan oleh seorang peserta diskusi, yang terlibat dalam perundingan awal terkait divestasi saham PT Freeport Indonesia. Dia mengatakan banyak “penumpang gelap” dalam soal Freeport ini.

Tahun 2015 lalu, publik pun pernah dihebohkan oleh kasus “Papa Minta Saham”. Lalu, tahun 2017, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia Marsekal (Purn.) Chappy Hakim menyatakan mundur dari posisinya. Padahal, Chappy baru menduduki kursi itu kurang-lebih tiga bulan. Chappy menggantikan Marsekal Muda (Purn.) Maroef Sjamsoeddin, mantan Wakil Kepala Badan Intelijen Negara.

Di belakang itu semua masih sangat banyak kasus terkait Freeport, termasuk berbagai peristiwa puluhan tahun silam, seperti Presiden Soekarno yang dipaksa mengundurkan diri pada 23 Februari 1967. Juga ada yang menilai, ditembaknya Presiden Amerika Serikat  John F. Kennedy di Dallas pada 22 November 1963 tak bisa dilepaskan dari urusan Freeport.

Tampaknya memang benar ungkapan itu: tak ada bisnis seperti halnya bisnis pertujukan. Tapi, “pertunjukan” Freeport memang bukan sekadar pertunjukan biasa. Sudah begitu banyak korban. Sampai kapan dan siapa lagi yang akan menjadi korban? Adakah aktor baru yang akan muncul atau sebenarnya telah hadir di panggung namun masih berada di balik tirai hitam? Haruskah kita menunggu kedatangan deus ex machina untuk mengatasi persoalannya? [PUR]