Ilustrasi/Reuters Photo/Garry Lotulung)

Koran Sulindo –  Pemerintah harus konsisten dan tegas dengan kebijakan yang telah diambil terkait dengan Freeport, terlebih sudah menjadi undang-undang. Walaupun ketegasan ini bisa berdampak biaya ekonomi yang tinggi ketika berhadapan dengan Freeport yang akan membawa permasalan ini ke arbitrase internasional.

“Jangan-jangan Freeport ngeyel karena sumber tinggal sedikit dan masalah lingkungan. Freeport tidak pernah terbuka informasi itu, berapa cadangan, berapa ekstraksinya,” kata  Prof. Tri Widodo, guru besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis UGM, lewat WA kepada Sulindo, Rabu (23/2) malam.

Tri mengharapkan masalah ini akan dibawa ke nasionalisasi perusahaan asal Amerika Serikat itu.

“Meskipun Pemerintah punya peluang nasionalisasi setelah pemutusan kontrak tentunya. Saya berpikir semoga pemerintah semata mata ingin konsisten dan tegas menegakkan kebijakan yang sudah diputuskan,” tuturnya.

Sebetulnya, menurut Tri Widodo, nasionalisasi juga tidak masalah. Yang jelas, praktik bisnis tersebut menguntungkan, dan ini terbukti Freeport bisa bertahan lama. Merujuk pernyataan Jonan, kata Tri Widodo, nilai kapitalisasi global Freeport US $ 20 miliar (hampir sama dengan Mandiri, lebih kecil sedit dari Tellkom dan BRI). Sehingga dengan nasionalisasi BUMN yang profitable tambah satu. Catatan pentingnya, cadangan sumber dayanya masih ekonomis.

Tri Widodo sangat mengapresiasi pernyataan pemerintah yang tegas lewat Menteri ESDM Jonan yang mewajibkan Freeport harus membangun smelter terkait dengan usaha hilirisasi tambang. Karena dengan begitu maka kepastian usaha di Indonesia terjamin.

“Saya sangat mengapresiasi pernyataan Pak Jonan, Freeport harus tunduk dengan Peraturan Usaha di Indonesia,” kata Tri Widodo lagi.

Tri Widodo menjelaskan, merujuk PP 1/2017, perusahaan tambang pemegang KK harus berubah status kontraknya menjadi IUPK agar dapat mengekspor konsentrat. Hal ini bisa menjadi solusi jangka pendek supaya bisnis tidak mandeg sambil menunggu negosiasi.

Masalahnya, lanjutnya, Freeport ingin IUPK tapi berprinsip naildown yang lebih ada ketetapan terkait pajak dan royalti, bukan prevailing seperti diatur dalam PP 1/2017. Prevailing bermakna sesuai aturan pajak yang berlaku. Implikasi bisnisnya perubahan KK menjadi IUPK adalah: wilayah pertambangan maksimal 25.000 hektar, kewajiban membangun smelter dalam 5 tahun, pajak dan royalti tetkait prevailing dan lain lain.

Tri Widodo mengaku belum cek atau melihat kapan KK Freeport berakhir dan Terbitnya PP 1/2017. Sehingga apakah pemerintah memberlakukan surut peraturan itu yang akan dibawa ke arbitrase oleh Freeport, atau pelanggaran KK lainya. Yang jelas pasti Freeport menyiapkan lawyers internasional handal. “Dampak negatifnya adalah penurunan penerimaan Pemerintah dari pajak dan royalty. Padahal sekarang pemerintah baru butuh,” kata Tri Widodo.

Rentetannya lagi, menurut Tri Widodo, adalah pengangguran, dan pembangunan daerah karena khususnya Papua – hasil Bagi SDA akan menurun. “Dan kalau itu terbengkalai, yang harus antisipasi adalah dampak sosial-keamanan. Misal, Freeport hengkang konflik sosial-keamanan terkait property right harus diantisipasi,” kata Tri. [YUK]