FOMO : Fenomena yang Mendominasi Kehidupan Remaja Hingga Dewasa

Ilustrasi: Sulindo/iqyanut

OPINI – Di era digital yang terus berkembang, remaja adalah salah satu kelompok yang paling terpengaruh oleh perkembangan teknologi informasi dan komunikasi. Mereka tumbuh dalam lingkungan yang dipenuhi dengan smartphone, media sosial, dan akses mudah ke internet.

Salah satu fenomena yang semakin mendominasi kehidupan remaja saat ini adalah FOMO atau “Fear of Missing Out,” yang dapat diterjemahkan sebagai “ketakutan ketinggalan.”

FOMO dan Dampaknya pada Remaja

FOMO berkaitan erat dengan kecemasan dan ketidaknyamanan yang dirasakan seseorang ketika merasa bahwa mereka sedang melewatkan pengalaman, informasi, atau aktivitas yang sedang terjadi di sekitar mereka.

Remaja, yang sedang dalam fase perkembangan identitas dan mencari pengakuan sosial, sangat rentan terhadap FOMO. Mereka merasa perlu untuk selalu terlibat dalam tren terbaru dan aktivitas populer untuk merasa diterima oleh teman sebaya.

Dengan adanya rasa ingin mendapat validasi biasanya mereka akan mengikuti apapun yang sedang tren hanya untuk diakui atau di validasi.

Sejarah dan Perkembangan Istilah FOMO

Istilah FOMO sudah ada sejak tahun 1990-an. Ahli strategi pemasaran Dr. Dan Herman menulis tentang “Fear of Missing Out” dalam makalahnya pada tahun 1996. Pada awal 2000-an, para psikolog mulai menggunakan istilah ini untuk menggambarkan fenomena terkait penggunaan media sosial.

Natalie Christine Dattilo, pendiri Priority Wellness Group dan instruktur psikologi di Harvard, menyatakan bahwa media sosial adalah salah satu pemicu utama FOMO.

Media Sosial sebagai Pemicu FOMO

Media sosial memainkan peran besar dalam memicu FOMO. Platform seperti Instagram, TikTok, dan Twitter memungkinkan pengguna untuk melihat apa yang dilakukan teman-teman mereka.

Hal ini menciptakan tekanan bagi remaja maupun dewasa untuk selalu mengikuti tren terbaru dan terlibat dalam kegiatan yang populer. FOMO juga membuat standar hidup seseorang menjadi bergantung pada kehidupan yang terlihat di sosial media ataupun kehidupan yang mereka inginkan.

Contohnya, ketika Coldplay mengumumkan konser mereka di Indonesia, tiketnya langsung terjual habis dalam hitungan menit. Banyak orang membeli tiket tersebut bukan hanya karena mereka adalah penggemar, tetapi juga karena tidak ingin ketinggalan euforia konser yang ramai dibicarakan di media sosial.

Dengan harapan mendapat validasi jika mengupload story atau postingan tentang konser Coldplay agar semua orang tahu bahwa mereka menonton konser yang sedang menjadi perbincangan.

Fenomena serupa terjadi dengan tren makanan seperti Kue Odading Mang Oleh yang viral di TikTok, membuat banyak orang rela antre untuk membeli dan mengunggahnya ke media sosial.

Hal ini juga dimanfaatkan untuk menambah followers dan keuntungan komersial lain. Apalagi di zaman sekarang bermodalkan viral bisa menjadi lahan penghasilan, tidak perlu prestasi untuk viral tetapi sensasi hingga kontroversi juga bisa membawa kita pada titik viral.

Maka dari itu tidak sedikit banyak oknum yang memang memanfaatkan hal tersebut untuk menaikkan popularitas dan mendapatkan endorse bahkan diundang ke acara televisi hanya karena viral.

Dampak FOMO pada Kesehatan Mental

FOMO biasanya berkaitan dengan harga diri seseorang dan secara tidak langsung berkaitan dengan kondisi mental. Ketika remaja merasa bahwa mereka tidak bisa berpartisipasi dalam suatu tren tertentu, mereka mungkin merasa tertinggal dan tidak berharga. Ini dapat menyebabkan perasaan cemas, stres, dan depresi.

Mengatasi FOMO

Untuk mengatasi FOMO, penting bagi remaja dan masyarakat pada umumnya untuk menyadari pengaruh media sosial dan mengatur batasan penggunaannya.
FOMO adalah fenomena yang semakin mendominasi utamanya kehidupan remaja di era digital ini.

Pengaruh media sosial sangat besar dalam memicu perasaan ketinggalan dan tekanan untuk selalu mengikuti tren terbaru. Untuk mengatasi dampak negatif FOMO, penting bagi remaja dan masyarakat untuk lebih sadar akan pengaruh media sosial dan fokus pada kegiatan yang bermakna serta kesehatan mental mereka. Dengan demikian, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih sehat dan seimbang bagi generasi muda. [UN]