Usmar Ismail merupakan sosok yang memiliki peran kuat dibalik peringatan Hari FIlm Nasional. Sutradara dan produser ini dijuluki bapak film nasional. Ia dinobatkan sebagai orang yang mempelopori kebangkitan film Indonesia lewat karyanya, Darah dan Doa.
Darah dan Doa menjadi film nasional pertama yang secara resmi diproduksi setelah Indonesia merdeka lewat Pusat Film Nasional Indonesia (Perfini) yang didirikan oleh Usmar Ismail. Di kemudian waktu hari pertama pengambilan gambar dan peresmian Perfini, yakni 30 Maret 1950 ditetapkan sebagai hari film nasional.
Hari Film Nasional baru ditetapkan oleh Presiden Soeharto lewat Keputusan Presiden RI Nomor 25 tahun 1999. Hari Film Nasional ini dicanangkan untuk mendorong lahirnya film-film dengan nilai pendidikan dan budaya yang beragam. Film sebagai media baru juga diharapkan mampu memperkokoh nilai-nilai luhur budaya bangsa.
Usmar Ismail sebagai Bapak Film Nasional
Usmar Ismail yang lahir di Bukittinggi, 20 Maret 1921 itu kemudian mendirikan Akademi Teater Nasional Indonesia (ATNI). Tutup usia pada 2 Januari 1971, pada usia 50 tahun, namanya kemudian diabadikan sebagai sebuah gedung perfilman Pusat Perfilman Usmar Ismail di kawasan Kuningan, Jakarta Selatan.
Sedari kecil darah seni yang mengalir di tubuh Usmar telah terlihat. Ia gemar menulis cerpen dan sajak yang pada akhirnya menjadi bekal baginya untuk mempunyai karir sebagai penulis skenario dan sutradara.
Selain menjadi pelopor film, Usmar juga berperan dalam lahirnya teater modern di Indonesia melalui dibentuknya kelompok sandiwara Maya pada tahun 1943. Namun hidupnya pun tidak tanpa cobaan, karena ketika ia beralih profesi sebagai wartawan ia sempat dipenjara selama 1 tahun karena tuduhan subversi.
Untungnya Usmar mampu bangkit melalui Perfini (Persatuan film Nasional Indonesia) yang dibentuknya bersama seniman lain di tahun 1950. Pada tahun 1952, pria asal Bukittinggi ini meneruskan studinya di Universitas California, Los Angeles, melalui beasiswa Rockefeller. Usmar kembali ke Indonesia dengan gelar Bachelor of Arts.
Sejarah Film Indonesia
Sejarah film Indonesia sebenarnya bisa ditilik jauh sebelum masa kemerdekaan. Jejak sinema Indonesia dimulai sejak masa kolonialisme yang ditandai dengan berdirinya bioskop pertama di Jalan Kebon Jahe, Tanah Abang. Riwayat perfilman berlanjut dengan banyaknya impor film Hollywood, Jerman, dan Tiongkok.
Perfilman Indonesia memiliki sejarah yang panjang dan kaya. Hal ini ditandai dengan kehadiran bioskop pertama di Indonesia pada tanggal 5 Desember 1900.
Lebih dari dua dekade setelahnya pada tahun 1926 film lokal pertama yang bertajuk Loetoeng Kasaroeng dirilis. Film bisu ini disutradarai oleh Sutradara Belanda G. Kruger dan L. Hueveldorp. Pada tahun 1928 pekerja film dari Shanghai datang ke Indonesia untuk menggarap film Lily Van Shanghai.
Meski menggunakan banyak aktor lokal, kedua film pertama tersebut mencerminkan adanya dominasi Belanda dan Cina dalam sejarah perkembangan film Tanah Air. Tidak berhenti di situ, pada tahun 1940-an, perfilman Indonesia dijadikan propaganda politik Jepang selama kurang lebih 7 tahun lamanya.
Pada masa ini film Indonesia tidak memiliki izin produksi karena hanya film politik Jepang dan film Indonesia lama yang diperbolehkan tayang.
Titik terang kebangkitan film nasional akhirnya terlihat. Sutradara Indonesia Usmar Ismail berhasil memproduksi sebuah film berjudul Darah dan Doa atau Long March of Siliwangi melalui perusahaan film miliknya sendiri, Perfini.
The Long March atau Darah dan Doa adalah film hitam putih produksi 1950 oleh Usmar Ismail selaku sutradara sekaligus sebagai produser (Perfini). Film ini mengisahkan perjalanan panjang (long march) prajurit Republik Indonesia yang diperintahkan kembali ke pangkalan semula dari Yogyakarta ke Jawa Barat. Di balik kisah heroik para prajurit, Darah dan Doa juga berkisah tentang Kapten Sudarto sebagai manusia biasa. Selama perjalanan dia jatuh cinta pada perempuan lain meski sudah memiliki istri dan anak.
Industri Film Tanah Air
Perkembangan zaman dan teknologi, terus berkembang dan berinovasi dari masa ke masa. Dua momentum penting dalam pembabakan sejarah sinema Indonesia adalah periode era keemasan tahun 1970-1980-an dan era kebangkitan sinema tahun 2000-an. Pada era keemasan tahun 1970-1980-an, karya film secara produktif banyak dihasilkan, dan beberapa diantaranya dianggap sebagai karya masterpiece. Beberapa sutradara kawakan yang muncul pada era ini diantaranya, seperti Wim Umboh, Sjumandjaja, serta Teguh Karya.
Selanjutnya, era kebangkitan sinema tahun 2000-an, memunculkan film-film roman remaja dan horor dengan formula baru, yang dianggap sebagai sebuah angin segar bagi industri kala itu.
Perkembangan film nasional, bisa ditinjau dari genre-genre populer yang didominasi oleh horor, komedi, roman, juga genre religi. Keempat genre ini menjadi yang paling sering diproduksi dan diminati oleh penonton beserta genre lainnya seperti biografi, aksi, dan drama.
Sedangkan Genre horor masih menjadi primadona. Sama halnya dengan genre horor, genre roman remaja seakan merupakan sebuah genre yang digemari.
Genre komedi beberapa tahun pernah didominasi oleh kemunculan para komika panggung yang beralih menjadi aktor/aktris maupun sutradaranya. Seperti Raditya Dika dan Ernest Prakasa yang beberapa tahun terakhir sangat aktif memproduksi film komedi.
Begitu juga dengan genre religi yang tidak pernah absen di bioskop. Dimulai sejak Ayat-Ayat Cinta pada tahun 2007 muncul sebagai sebuah tonggak awal film religi yang bermunculan setelahnya.
Kemudian ternyata munculnya film reboot dan remake menjadi satu formula baru untuk menggaet pasar. Beberapa franchise yang sukses adalah film reboot, Warkop DKI Reborn: Jangkrik Boss (2016 & 2017) dan Benyamin Biang Kerok (2017), serta remake film Pengabdi Setan (2017). Reboot atau remake film lawas, mempunyai kelebihan tersendiri yaitu memperkenalkan film-film jaman dulu kepada penonton kini, namun dengan dibungkus dengan cara dan pendekatan yang baru.[S21]