Cuplikan adegan Kapten Raymond Westerling sedang memanggil nama warga untuk ditembak.
Cuplikan adegan Kapten Raymond Westerling sedang memanggil nama warga untuk ditembak.

Koran Sulindo – Ketika mendengar ada film tentang pertempuran, biasanya yang terbayang adalah aksi perang yang penuh dengan kekerasan dan pertumpahan darah. Namun, film De Oost (The East), yang disutradarai oleh Jim Taihuttu, menyajikan pertempuran bukan hanya dalam bentuk fisik tetapi juga perang batin yang dialami para karakternya. Film ini membawa penonton ke sebuah kisah yang kompleks tentang konflik, dilema moral, dan kekejaman kolonialisme dalam latar sejarah Indonesia pasca-kemerdekaan.

Alur Cerita

De Oost mengambil latar belakang di Indonesia setelah Perang Dunia II, ketika Belanda berusaha mempertahankan kekuasaannya atas bekas jajahannya, Hindia Belanda, di tengah semangat kemerdekaan yang menyebar di kalangan rakyat Indonesia.

Film ini berpusat pada tokoh utama Johan de Vries, seorang mantan pejuang partisan Belanda yang pernah melawan Nazi Jerman. Setelah Perang Dunia II, Johan kesulitan menemukan pekerjaan di Belanda yang sedang terpuruk, dan ia akhirnya memutuskan bergabung dengan tentara Kerajaan Belanda yang dikirim ke Indonesia.

Pada awalnya, Johan termakan propaganda Belanda yang mengklaim bahwa banyak rakyat Indonesia telah dipengaruhi oleh Soekarno, kolaborator Jepang, dan menjadi ancaman bagi Sekutu.

Namun, setelah bertugas selama beberapa bulan di daerah Semarang, Johan justru menemukan kebenaran yang berbeda. Bukannya berhadapan dengan pejuang kemerdekaan, Johan malah disambut dengan keramahan oleh penduduk lokal. Ini membingungkan Johan, karena ia mulai meragukan propaganda yang selama ini ia percayai.

Film ini kemudian memperkenalkan sosok Kapten Raymond Westerling, tokoh nyata yang terkenal karena aksi-aksi brutalnya selama operasi militer di Sulawesi Selatan. Westerling, yang digambarkan sebagai pemimpin yang karismatik tetapi kejam, mulai mengajak Johan untuk bergabung dalam berbagai operasi rahasia melawan kelompok yang dianggap pemberontak.

Namun, apa yang Johan pikir adalah upaya untuk menjaga ketertiban, ternyata berubah menjadi serangkaian pembantaian terhadap rakyat sipil yang dilakukan oleh Westerling dan pasukannya.

Tema Perang Batin dan Kolonialisme

De Oost menyuguhkan tema yang jarang diangkat dalam film-film bertema perang kemerdekaan Indonesia, yakni sudut pandang tentara Belanda. Alih-alih menampilkan perjuangan rakyat Indonesia melawan penjajah, film ini berfokus pada konflik batin yang dialami oleh tentara Belanda seperti Johan.

Ia harus berhadapan dengan dilema moral yang semakin menggerogotinya ketika menyadari bahwa misinya di Indonesia bukan sekadar “memulihkan perdamaian,” tetapi turut ambil bagian dalam kekejaman yang dilakukan terhadap rakyat setempat.

Pertarungan batin ini menjadi semakin intens ketika Johan melihat pembantaian sistematis yang dilakukan oleh Kapten Westerling. Westerling, yang menyamakan gerakan kemerdekaan dengan “kanker” yang harus diamputasi, menjalankan misinya dengan brutal.

Dia secara sepihak menjadi aparat keamanan, hakim, dan algojo bagi rakyat Indonesia yang dicurigai sebagai pejuang kemerdekaan. Hal ini membuat Johan, yang awalnya mendukung tugas militernya, merasa terjebak dalam situasi yang tidak dapat ia terima.

Film ini menggambarkan bahwa perang bukan hanya tentang senjata dan kekerasan fisik, tetapi juga tentang pertempuran batin di antara para prajurit. Johan, yang pada dasarnya adalah sosok yang cinta damai, mulai memberontak secara moral terhadap Westerling dan metodenya yang tidak manusiawi.

Namun, ketika Johan mencoba menentang tindakan Westerling, ia malah dianggap sebagai pengkhianat. Konflik batin ini menjadi puncak dari perjalanan emosional Johan di sepanjang film.

Visual dan Atmosfer

Salah satu kekuatan De Oost adalah kemampuannya untuk membangun atmosfer yang kuat melalui visual. Latar belakang film yang menampilkan lingkungan persawahan dan pedesaan di Indonesia pada tahun 1950-an membawa penonton ke dalam suasana yang autentik dan realistis.

Melalui penggambaran alam yang indah, film ini menciptakan kontras yang tajam dengan kekejaman yang terjadi di tengahnya. Penggunaan sinematografi yang efektif semakin memperkuat nuansa kelam dan intens yang menyelimuti keseluruhan cerita.

Pro dan Kontra

Sejak penayangannya perdana di Festival Film Belanda pada 25 September 2020, dan kemudian dirilis di Amazon Prime Video pada 13 Mei 2021, De Oost memicu berbagai pro dan kontra.

Banyak yang memuji film ini karena berani mengambil sudut pandang yang berbeda, yakni dari perspektif tentara Belanda, yang jarang diangkat dalam narasi sejarah pasca-kemerdekaan Indonesia. Namun, tidak sedikit juga yang mengkritik film ini karena dianggap melenceng dari sejarah dan menempatkan pahlawan kemerdekaan Indonesia dalam bayangan sebagai antagonis.

Bagi sebagian kalangan, De Oost seolah menyudutkan pejuang Indonesia dan lebih fokus pada dilema moral tentara Belanda. Di sisi lain, film ini juga dianggap gagal memberikan gambaran yang mendalam tentang penderitaan rakyat Indonesia yang menjadi korban kekejaman kolonial.

Namun, meskipun film ini kontroversial, ia berhasil membuka wacana baru tentang bagaimana sejarah kolonialisme dipahami dan disajikan dalam media populer.

De Oost adalah sebuah film yang penuh dengan dilema moral dan konflik batin, yang berusaha menyajikan kisah tentang agresi militer Belanda di Indonesia dari perspektif yang berbeda.

Dengan latar sejarah yang autentik dan penggambaran visual yang kuat, film ini mengajak penonton untuk merenungkan kompleksitas dari sebuah perang, baik dari segi fisik maupun batin.

Meskipun menuai kontroversi, film ini tetap layak ditonton bagi mereka yang tertarik dengan sejarah kolonialisme, khususnya bagi yang ingin melihat perang kemerdekaan Indonesia dari sudut pandang lain. De Oost adalah kisah tentang kemanusiaan di tengah kekejaman, dan bagaimana perang tidak hanya melukai tubuh, tetapi juga jiwa. [UN]