Koran Sulindo – Setahun setelah mengajukan pengunduran dari PBB, pemerintah Filipina secara resmi menyatakan mundur dari Mahkamah Kriminal Internasional (ICC). Keputusan itu berkaitan dengan penyelidikan yang dilakukan jaksa ICC Fatou Bensouda atas kejahatan kemanusiaan karena kebijakan perang narkoba Presiden Rodrigo Duterte.
Juru bicara badan pemberantasan narkotika Filipina Derrick Carreon mengatakan, keputusan itu karena penyelidikan yang dilakukan ICC atas kebijakan Duterte. Terlebih kebijakan tersebut merenggut sekitar 5 ribu nyawa rakyat miskin Filipina yang sebagian besar ditembak kepolisian tanpa proses hukum dari periode Juli 2016 hingga November 2018.
Akan tetapi, aktivis hak asasi manusia termasuk dari Amerika Serikat (AS) meyakini jumlah korban akibat kebijakan Duterte berkisar 15 ribu hingga 27 ribu jiwa. Penelitian Human Rights Watch (HRW), misalnya, menemukan polisi telah memalsukan bukti untuk membenarkan pembunuhan yang melanggar hukum.
Kendati ada desakan untuk menyelidiki kasus tersebut, Duterte bergeming. Ia justru tetap melanjutkan kebijakannya itu, tulis teleSUR pada Senin (18/3). Pengadilan (ICC), kata Duterte, tidak akan bisa menjeratnya, bahkan dalam 1000 tahun ini. Namun, Duterte perlu mengingat, ketika Filipina menyatakan mundur dari ICC, tidak berarti penyelidikan atas dugaan kejahatan kemanusiaannya akan berhenti.
Untuk menghindari tuduhan ICC itu, pemerintah Duterte selalu berpendapat, Filipinan tidak pernah bergabung secara resmi dengan ICC. Karena itu, pemerintah Filipina meyakini ICC tidak akan mampu menjerat siapapun sehingga tindakan penyelidikan itu hanya sebuah kesia-siaan.
Perwakilan Filipina di PBB Teodoro Locsin Jr. mengatakan, pengajuan mundur dari ICC kepada PBB pada 15 Maret 2018 karena negaranya menentang mereka yang mempolitisasi hak asasi manusia. Filipina mengkritik ICC dan berkeras memiliki dan memastikan sistem peradilan negaranya berfungsi dengan baik.
Atas pengajuan itu, Filipina merupakan negara kedua yang mundur dari ICC setelah Burundi. Pasalnya, ICC bersifat bias terhadap negara-negara di Afrika. Selain Burundi, Zambia, Afrika Selatan, Kenya dan Gambia juga menyatakan hal serupa. [KRG]