Fidel

Perangko Kuba tahun 2008 bergambar Bung Karno dan fidel Castro/123rf.com

Koran Sulindo – Pemimpin besar itu, Fidel Castro, telah berpulang, 25 November 2016 lalu dalam usia 90 tahun. Namun, banyak orang di dunia, termasuk di Indonesia, akan selalu mengenang perjuangannya, keberaniannya, serta keberpihakannya yang sangat besar kepada kaum lemah dan tertindas. Wajar jika ada yang menjuluki Fidel sebagai Pejuang sampai Akhir Hayat.

Nama lengkapnya Fidel Alejandro Castro Ruz. Lahir di Birán, Kuba, pada 13 Agustus 1926. Ia dibesarkan di rumah pertanian milik keluarga ibunya.

Semasa kuliah di Universitas Havana, darahnya bergolak melihat penderitaan rakyat Kuba. Ia pun melibatkan diri dalam aksi perlawanan terhadap pemerintah.

Pada tahun 1947, Fidel bahkan ikut dalam upaya menggulingkan diktator Republik Dominika, Rafael Trujillo. Setelah aksi ini, Fidel hijrah ke New York, Amerika Serikat, karena mendapat ancaman pembunuhan. Mengisi waktu pelariannya, Fidel melanjutkan studi dan berhasil meraih gelar doktor di bidang hukum pada tahun 1950.

Periode berikutnya, dia memutuskan untuk kembali ke Kuba. Ia memimpin gerakan bawah tanah untuk pengambilalihan kekuasaan dari Fulgencio Batista pada tahun 1952. Pada 26 Juli 1953, Fidel memimpin serangan ke barak militer Moncada Santiago de Cuba, namun usahanya gagal. Sebanyak 69 orang dari 111 orang yang ambil bagian dalam serbuan itu tewas, sedangkan Fidel ditangkap dan divonis penjara 15 tahun.

Setelah tiga tahun menjalani hukuman penjara, Fidel mendapatkan pengampunan dan dibebaskan pada 15 Mei 1955. Pada 7 Juli 1955, Fidel melarikan diri ke Meksiko dan bertemu dengan pejuang revolusioner Che Guevara. Di sana, Fidel pun membuat gerakan untuk menggulingkan diktator Batista, yang ia beri nama Gerakan 26 Juli, mengenang kegagalannya pada tahun 1953.

Bersama 81 orang lainnya, dia kembali ke Kuba pada 2 Desember 1956 dan melakukan perlawanan gerilya selama 25 bulan di Pegunungan Sierra Maestra. Perjuangannya berhasil. Batista melarikan diri ke Dominika pada 1 Januari 1959, yang kemudian hari itu ditetapkan sebagai Hari Revolusi Kuba. Pemerintahan baru pun dibentuk dan Fidel ditunjuk untuk menjadi perdana menteri pada tahun itu juga.

Tak lama setelah dilantik sebagai perdana menteri, pada tahun 1959 juga, Fidel bersama Che Guevara terbang ke Jakarta untuk menemui guru revolusi mereka: Bung Karno. Setahun kemudian, Bung Karno melakukan kunjungan balasan ke Kuba.

Namun, pembentukan pemerintah baru Kuba langsung menjadikan Kuba sebagai musuh dari Amerika Serikat dan negara-negara kapitalis sekutunya. Karena, sebelum revolusi, Kuba adalah “sapi perahan” mereka dan menjadi wilayah protektorat Amerika Serikat, karena merupakan sebuah perkebunan tebu yang sangat luas di bawah pemerintahan “demokratis” yang dapat disuap silih berganti dengan kediktatoran brutal. Amerika Serikat kemudian memutuskan pula hubungan diplomatik dan mengembargo Kuba.

Amerika Serikat pun berada di belakang Invasi Teluk Babi pada tahun 1961. Invasi ini dilakukan oleh orang-orang Kuba di pembuangan di Kuba barat daya untuk menggulingkan pemerintahan Fidel Castro.

Situasi geopolitik yang seperti itu membuat Kuba menjadi condong ke Blok Timur. Karena itu, meski menjadi salah satu negara pendiri Gerakan Non-blok (GNB) dan satu-satunya dari Amerika Latin, Kuba tidak begitu aktif di dalamnya.

Dalam tiga kali konferensi tingkat tinggi (KTT) dari gerakan yang juga diprakarsai oleh Presiden Republik Indonesia Soekarno itu, Fidel tak datang. Pada KTT pertama di Beograd tahun 1961, Fidel mengutus Presiden Kuba Osvaldo Dorticós. KTT kedua tahun 1962 di Kairo, Fidel mengutus Menteri Luar Negeri Raúl Roa. Begitu juga KTT ketiga di Lusaka tahun 1970, yang hadir adalah Raúl Roa.

Ketika negaranya mulai mandiri secara ekonomi, barulah Fidel hadir pada KTT keempat GNB di Aljazair pada tahun 1973. Dalam pidatonya, ia menyerukan agar GNB memilih jalur yang lebih radikal sebagai gerakan anti-Barat.

Ketika Fidel terpilih menjadi Presiden Kuba pada tahun 1976, negara-negara peserta KTT GNB di Kolombo pada tahun itu pun memilih delegasi Kuba menjadi Ketua GNB untuk priode berikutnya, yakni priode 1979 sampai 1983. KTT keenam GNB pun digelar di Havana, ibu kota Kuba, pada tahun 1979.

Terutama sejak Fidel menjadi presiden, Kuba benar-benar menjadi suatu kekuatan baru yang giat menentang neo-imprealisme dan neo-kolonialisme, sebagaimana diinisiasi Bung Karno pada pertengahan 1961. Pada waktu itu, Bung Karno, selain aktif di GNB, juga menghimpun negara-negara yang baru merdeka di bawah “bendera” New Emerging Forces atau Nefos.

Dalam pemahaman Bung Karno, dunia harus dipetakan dalam dua kubu utama: Nefos dan Old Esthablished Forces (Oldefos). Nefos mewakili kekuatan baru yang sedang tumbuh, yaitu negara-negara Asia, Afrika, dan Amerika Latin yang berusaha bebas dari neo-kolonialisme dan imperialisme serta berusaha membangun tatanan dunia baru tanpa exploitation de nation par nation dan exploitation de l’homme par l’homme. Akan halnya Oldefos mewakili negeri-negeri imperialis dan kekuatan lama yang semakin dekaden.

Dengan membentuk Nefos, Bung Karno ingin menciptakan suatu dunia baru, membentuk suatu persahabatan dunia baru. Nefos, menurut Bung Karno, akan membuat dunia pun masuk ke suatu sistem koeksistensi damai.

Gagasan Bung Karno itu sangat menginspirasi Fidel Castro, apalagi setelah Bung Karno mempertegaskan gagasan tersebut lewat pidatonya di Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 1964, yang bertajuk “To Build the World A New”.

Cita-cita Bung Karno, negara-negara dalam Nefos akan saling membantu untuk segala kegiatan politik, keamanan terutama, dan ekonomi. Juga menjadi kekuatan yang sangat besar sehingga sulit bagi negara-negara Oldefos untuk mengganggu negara-negara Nefos.

Dari sana bisa dilihat Bung Karno dan Fidel Castro memang “satu nadi, satu urat”—meminjam ungkapan penyair Chairil Anwar. Tak mengherankan jika, pada tahun 2008 lampau, Negara Kuba menerbitkan prangko dengan gambar Bung Karno dan Fidel Castro, sebagai bagian perayaan ulang tahun ke-82 Fidel Castro.

Hasta siempre, Comandante Fidel Castro! [Emir Moeis]