Koran Sulindo – Fenomena hijrah yang muncul beberapa tahun terakhir bisa berdampak pada persatuan, kesatuan, dan kedaulatan bangsa Indonesia. Selain fenomena tersebut, Indonesia juga menghadapi munculnya generasi milenial yang secara jumlah sangat besar serta tantangan identitas kebangsaan terutama yang terlihat sejak pemilihan kepala daerah (Pilkada) DKI Jakarta pada 2017 dan pemilihan presiden (Pilpres) tahun ini.
Hijrah yang secara harfiah berarti berpindah (migration) juga bisa diartikan secara negatif.
“Misalnya landasan untuk menjalankan aksi terorisme serta memilih jalan hidup berjuang untuk ideologi radikal,” kata Deputi V Kantor Staf Presiden Bidang Politik, Hukum, Pertahanan, Keamanan dan HAM, Jaleswari Pramodhawardani, dalam diskusi ‘Tren Gaya Hidup Hijrah: Peluang atau Ancaman Bagi NKRI’, di Jakarta, Kamis (25/7/2019).
Menurut Jaleswari, hadis riwayat Bukhari menyatakan semua perbuatan tergantung niatnya.
“Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya pada Allah dan Rasul-Nya,” katanya.
“Kata hijrah muncul di surat Al-Baqarah ayat 218 yang artinya, Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itulah yang mengharap rahmat Allah. Dan Allah Maha Pengampun Maha Penyayang,” katanya.
Menurut KSP, Presiden Joko Widodo juga pernah menyerukan hijrah.
“Berulang kali Presiden Joko Widodo mengingatkan bahwa hijrah harus dimaknai dan diisi dengan artikulasi yang bersifat positif. Presiden Joko Widodo pada pidatonya tahun 2018 lalu menegaskan bahwa kita semua harus hijrah dari pesimisme ke optimisme, dari perilaku konsumtif ke produktif, yang marah-marah hijrah jadi sabar-sabar tapi tetap kerja keras, terakhir hijrah dari individualistik ke kolaborasi,” katanya.
Menurut Jaleswari, sejarah pemaknaan hijrah memang mengalami pergumulan dan dinamika terus-menerus dalam hal penguasaan narasi ke publik, terutama di kelompok muda. Secara umum, pemaknaan ini lebih positif sebagai bagian mekanisme masyarakat untuk mengembalikan nilai nilai baik dalam masyarakat.
Ancaman dan potensi tergantung bagaimana pemerintah merebut makna dan menghasilkan implementasi hijrah tersebut.
“Sekarang pilihannya ada pada kita, apakah kita akan menambah kecepatan hijrah negara kita dengan mengisinya lewat kolaborasi sesama generasi muda dan lintas generasi dan karya-karya positifnya, ataukah kita ingin bergerak mundur dengan memaknai hijrah sebagai momentum menyalakan romantisme dengan organisasi radikal dan ideologi transnasional?” kata Jaleswari.
Konsep pemaknaan hijrah harus bisa dihegemoni kelompok yang moderat dan progresif agar fenomena hijrah bisa dimanfaatkan untuk kontra terhadap berbagai permasalahan sosial, khususnya narkoba, tawuran, dan radikalisme. Namun jika tren hijrah ini ditunggangi kelompok radikal maka perpecahan dan konflik akan terus merongrong Indonesia.
Diskusi juga dihadiri pengamat terorisme Ridlwan Habib, Managing Director Paramadina Public Policy Institute Amhad Khoirul Umam, dan Sekretaris PP Pemuda Muhammadiyah David Krisna Alka.
Hijrah bukan Ancaman
Sementara itu Ridwan Habib mengatakan fenomena hijrah bukan ancaman. Fenomena ini sebenarnya positif, karena sebagian besar justru tidak mau mengkotak-kotakan diri pada satu paham tertentu atau berafiliasi dengan organisasi masyarakat yang khusus seperti Nahdlatul Ulama atau Muhamadiyah.
“Jangan menggeneralisir hijrah. Tidak benar kalau yang berhijrah itu ancaman,” kata Ridlwan.
Menurut Ridlwan, untuk memahami fenomena tersebut pemerintah pertama-pertama harus cermat mengidentifikasi karakter dan jenis gerakan Islam yang sedang berkembang di masyarakat. Pemerintah juga harus menyediakan ruang dialog antar umat Islam.
“Pemerintah juga harus memberdayakan figur kunci dari pemerintah yang dekat umat Islam,” katanya.
Tugas ketiga ini sebenarnya tanggung jawab kementerian agama, tapi dalam 5 tahun terakhir menteri agama yang sekarang terlihat keteteran dan tidak siap menghadapi.
“Justru (Gubernur DKI Jakarta) Anies Baswedan yang menyambut fenomena hijrah ini misalnya dengan hadir di Hijrah Fest lalu, walau entah apa latar belakangnya,” katanya.
Menurut Ridlwan, pemerintah harus merangkul komunitas-komunitas hijrah agar tak menjadi gerakan eksklusif dan disusupi paham radikal.
“Sekarang kita lihat dari analisa media sosial dan lapangan sudah ada beberapa kelompok sekarang yang eksklusif. Ini harus segera diredam,” kata Ridlwan.
NU dan Muhammadiyah
Sementara itu Khoirul Umam mengatakan peran sebagai pengayom gerakan hijrah sejatinya bisa dipegang Muhammadiyah dan Nahdatul Ulama (NU) sebagai dua ormas Islam terbesar di Indonesia.
Menurut Khoirul, Muhammadiyah dan NU harus melakukan reorientasi strategi kebangsaan guna mencegah gerakan hijrah menimbulkan ekses negatif di masyarakat.
“Keduanya harus mengkaji ulang keberpihakan mereka dalam konteks politik praktis,” kata Khoirul.
NU dan Muhammadiyah harus mulai gencar melakukan transformasi syiar ke dunia digital, karena fenomena ini sering bermula dari dunia maya dan bergaung keras di media sosial. [Didit Sidarta]