Catatan Cak AT:
Jika ada satu hal yang bisa kita pelajari dari wawancara Ilan Pappe dengan Al Jazeera, itu adalah: sejarah, ternyata, tidak hanya berulang, tetapi juga bisa menjadi komedi tragis. Pappe, seorang sejarawan yang menyebut dirinya persona non grata di tanah kelahirannya sendiri, telah dengan tajam dan nyeleneh menggambarkan apa yang ia sebut sebagai “fase terakhir Zionisme.”
Bayangkan sebuah film blockbuster. Episode pertama, “Zionisme Klasik,” adalah kisah tentang nasionalisme Yahudi yang bermimpi memiliki negara di Palestina. Ambisi ini penuh dengan narasi romantis, petani yang bekerja keras, dan pemuda idealis yang menanam pohon zaitun sambil mengabaikan kenyataan bahwa mereka sedang menggusur pemilik asli tanah tersebut.
Episode kedua, “Zionisme Modern,” adalah genre aksi: eksodus massal, pendudukan, dan militerisasi besar-besaran. Dengan pemeran utama bersenjata lengkap, Israel tampil sebagai kekuatan regional yang gemilang. Namun, drama ini mulai tercium amisnya ketika cerita-cerita pembantaian dan pembersihan etnis tahun 1948 terungkap.
Kini kita sampai di episode terakhir: “Neo-Zionisme.” Dalam sekuel ini, Pappe menyebut para pemain utama sudah mengganti senjata berat dengan bulldozer dan drone. Zionisme di era ini tidak lagi malu-malu atau bermain simbolisme: tujuannya jelas dan brutal – menyelesaikan apa yang mereka mulai pada tahun 1948.
Neo-Zionisme, menurut Pappe, adalah versi Zionisme yang tidak hanya lebih agresif, tetapi juga lebih putus asa. Ibarat seorang penjahat yang tahu waktunya hampir habis, ia bertindak semakin brutal, berusaha meraih kemenangan terakhir sebelum pintu sejarah tertutup rapat. Dalam dunia Neo-Zionisme, genosida terhadap rakyat Palestina tidak lagi dianggap sebagai collateral damage; itu adalah inti dari agendanya.
Namun, inilah komedi tragis itu. Dalam narasi besar sejarah, Pappe percaya bahwa ini mungkin “tarian terakhir” Zionisme. Ia membandingkannya dengan imperium-imperium yang runtuh di masa lalu, yang biasanya mencapai puncak kegilaan mereka sebelum akhirnya ambruk. Seperti pemerintahan Romawi yang menggali lubang sendiri melalui kelebihan ambisi dan korupsi, Neo-Zionisme tampaknya berjalan ke arah yang sama.
Di tengah konflik yang menegangkan ini, masuklah dua karakter yang tidak kalah absurd: Donald Trump dan Elon Musk. Menurut Pappe, pasangan ini semacam duo komedi gelap global. Trump, dengan retorika populisnya, dan Musk, dengan tweets-nya yang lebih cocok untuk meme daripada kebijakan, menciptakan ilusi bahwa mereka kekuatan besar. Namun, dalam pandangan Pappe, mereka lebih mirip badut yang tanpa sadar membantu Zionisme menggali kuburnya sendiri.
Trump mungkin memimpin sorak-sorai untuk Israel, tetapi kebijakan impulsifnya berpotensi melemahkan Amerika Serikat dalam jangka panjang. Musk, dengan klaim dukungan terhadap Israel, mungkin lebih sibuk mengelola rebranding Twitter daripada memahami geopolitik Timur Tengah.
Bagi Pappe, kehadiran mereka adalah paradoks: sementara mereka memperkuat tangan Israel dalam jangka pendek, mereka juga menjadi simbol kegagalan Amerika untuk memimpin dunia. Dan ketika Amerika jatuh, Zionisme kehilangan sekutu terkuatnya.
Namun, jika ini komedi tragis, siapa pahlawannya? Dalam narasi Pappe, jawabannya adalah generasi muda, khususnya di luar Israel. Di Amerika Serikat, generasi muda Yahudi mulai menyadari kontradiksi moral antara ajaran etika yang mereka terima dan kenyataan politik Israel. Mereka melihat fakta di media sosial, dari TikTok hingga laporan investigasi, dan mulai mempertanyakan dogma yang diwariskan keluarga mereka.
Ironisnya, hal ini tidak terjadi di Israel sendiri. Di sana, sistem pendidikan yang sangat terideologisasi telah menciptakan generasi yang, dalam kata-kata Pappe, “fanatik rasis.” Pikirkan saja: sebuah masyarakat yang bisa melihat gambar bayi Palestina yang tewas dan mereka berkata, “Bagus.” Ini bukan hanya tragedi; ini satire tentang bagaimana indoktrinasi dapat menciptakan kebutaan moral yang kolektif.
Pappe tidak memberikan solusi cepat. Ia tahu bahwa “fase terakhir” ini bisa berlangsung lama dan penuh kekerasan. Namun, ia juga percaya bahwa akhirnya, Zionisme akan runtuh seperti kekaisaran-kekaisaran lain yang mencoba mempertahankan kolonialisme dengan kekerasan.
Bagi Pappe, harapan itu ada, tetapi ia terletak pada pembentukan aliansi global yang berakar pada perjuangan melawan ketidakadilan, baik itu soal Palestina, perubahan iklim, atau kemiskinan global. Jika aliansi ini bisa terorganisasi dan bekerja sama meski berbeda pandangan, mereka mungkin dapat mengakhiri kisah tragis ini dengan catatan kemenangan kecil untuk kemanusiaan.
Dan di sinilah letak ironi terbesar: Neo-Zionisme, dengan semua kekejaman dan ambisinya, mungkin akan menjadi aktor utama dalam menjamin kehancurannya sendiri. Sejarah, ternyata, memang sutradara yang gemar menyisipkan lelucon di tengah drama manusia.
Cak AT – Ahmadie Thaha | Kolumnis