Koran Sulindo – Setiap tanggal 7 November Amerika Serikat memperingati Hari Nasional bagi Korban Komunisme (National Day of Victims of Communism). Jika dibandingkan dengan di Indonesia, ini mirip dengan Hari Kesaktian Pancasila karena tujuannya sama, yaitu mengenang mereka yang telah menderita dan tewas di tangan rezim komunis di masa lalu.
Melansir dari situs resmi Victims of Communism Memorial Foundation, sejak 2017 Presiden AS Donald Trump telah mengeluarkan proklamasi tahunan yang menyatakan tanggal 7 November sebagai Hari Nasional bagi Korban Komunisme.
Pada tanggal 7 November 2019, Presiden Trump mengadakan acara di Ruang Oval untuk memperingati Hari Nasional bagi Korban Komunisme. Delegasi tersebut menghadirkan saksi-saksi kekejaman komunisme, termasuk Sirley Ávila León, Daniel Di Martino, Grace Jo, Nguyễn Ngọc Như Quỳnh, dan Dubes Aldona Wos.
Kemudian pada Maret 2018, Virginia menjadi negara bagian pertama yang secara resmi mengakui tanggal 7 November sebagai hari peringatan korban komunisme setelah mengeluarkan resolusi yang dipelopori oleh Delegasi Virginia Mark Cole.
Hingga saat ini, Alabama, Idaho, Florida, Texas, Utah, Virginia, Georgia, dan Wisconsin telah mengeluarkan resolusi untuk secara resmi mengakui tanggal 7 November sebagai hari peringatan korban komunisme. Tujuh negara bagian lainnya, yakni Arizona, Arkansas, Illinois, Missouri, New Jersey, Pennsylvania, dan Carolina Selatan sedang bergerak untuk melakukan hal yang sama.
Itu artinya Hari Nasional bagi Korban Komunisme belum diakui secara menyeluruh di AS. Yayasan Peringatan Korban Komunisme (VOC) berkomitmen untuk melihat resolusi-resolusi disahkan di semua 50 negara bagian AS sehingga lebih banyak orang menyadari penderitaan yang disebabkan oleh rezim komunisme.
Upaya AS Memberantas Komunisme
Meski Hari Nasional bagi Korban Komunisme belum diakui secara menyeluruh, AS memiliki banyak upaya untuk memberantas komunisme, salah satunya adalah melalui pendidikan.
Yayasan Peringatan Korban Komunisme (VOC) secara khusus didirikan untuk mewujudkan upaya tersebut. Yayasan ini memiliki kurikulum khusus yang membahas ideologi dan sejarah komunisme, dampaknya bagi agama, kebrutalan Stalin, Perang Dunia II, dan Perang Dingin.
Yayasan ini juga mengeluarkan kursus komprehensif bersertifikat yang memungkinkan para guru untuk mengajarkan siswa tentang sejarah komunisme dan warisannya yang mematikan.
Selain mengajarkan murid dan guru, Yayasan Peringatan Korban Komunisme (VOC) menawarkan magang penuh dan paruh waktu bagi para pemuda AS yang ingin memperingatkan dunia akan bahaya komunisme.
Bidang yang tersedia dalam program ini adalah Program Akademik, Komunikasi, Pengembangan, Acara dan Museum, Hubungan Pemerintah, Studi Amerika Latin, Public Affairs, Riset, dan Media Digital. Program magang ini bahkan memungkinkan semua pesertanya bertemu dengan para pembuat kebijakan, pejabat pemerintah, anggota parlemen, serta para pembangkang dan pembelot yang anti-komunis.
Adapun yayasan ini secara berkala mengadakan riset dan studi tentang China, Amerika Latin, dan Polandia untuk mengkaji dampak komunisme pada berbagai aspek kehidupan. Pemahaman yang mereka peroleh dari riset ini dapat membantu mereka untuk mengusulkan atau membuat kebijakan yang mempromosikan kebebasan individu, menghormati hak asasi manusia, dan demokrasi di masa mendatang.
Terakhir, Yayasan Peringatan Korban Komunisme (VOC) memiliki Museum Korban Komunisme (The Victims of Communism Museum), yang didedikasikan untuk mengenang lebih dari 100 juta orang yang tewas karena komunisme di seluruh dunia dan bagi mereka yang mengejar kebebasan dari rezim totaliter.
Museum yang berlokasi di Washington DC ini memiliki pameran eksklusif yang menampilkan kebangkitan komunisme, teror Lenin dan Stalin, pertumbuhan sistem Gulag yang tragis, perluasan komunisme ke arah timur, dan kisah inspiratif dari mereka yang berjuang melawan ideologi tersebut. Setiap tema memiliki galeri khusus yang menampilkan foto, peta, artefak, dan keterangan historis.
Upaya-upaya tersebut menunjukkan bahwa AS melindungi warganya dari ancaman komunisme dengan cara yang rasional. Ini sangat berbeda dengan di Indonesia, yang cenderung takut dan menghindari segala hal berbau komunisme.
Padahal Mohammad Nasir (Menristekdikti pada Kabinet Kerja 2014–2019), pernah mengatakan pada April 2018 bahwa mempelajari komunisme tidak salah selama para pemuda Indonesia tetap berpegang teguh pada Pancasila.
Ini merupakan salah satu upaya bela negara. Jika nilai-nilai Pancasila sudah tertanam kuat sejak dini, maka seseorang tidak akan terpengaruh komunisme atau ideologi lainnya. [BP]