Ilustrasi kemungkinan perang nuklir di Eropa [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Stabilitas dan perdamaian di Eropa tampaknya akan segera berakhir. Dua dekade yang lalu ditandatangani sebuah perjanjian untuk menghapuskan persenjataan nuklir yang disebut sebagai Traktat Angkatan Nuklir Jangka Menengah (INF). Sekilas, pertemuan di Washington pada 1987 itu memberi optimisme tentang perdamaian di Eropa.

Keberadaan traktat itu menandai berakhirnya Perang Dingin. Dan itu menjadi syarat utama untuk mengakhiri panas-dingin hubungan antara Uni Soviet dengan Amerika Serikat (AS) serta sekutunya pada waktu itu. Namun, traktat itu tidak berlaku untuk selamanya. Pada akhir Oktober lalu, Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump menarik diri dari traktat tersebut.

Keputusan Trump itu lantas mengembalikan situasi terkini kepada era Perang Dingin. Bahkan analisis yang mendalam menyebutkan, AS bersama dengan sekutunya yang tergabung di dalam NATO justru sangat aktif terlibat di Ukraina. Negara yang sedang bersengketa dengan Rusia itu seolah-olah diperlakukan sebagai anggota NATO. Itu sebabnya, dua kapal perang dikirimkan ke Ukraina pada akhir September lalu untuk digunakan melawan Rusia.

Tampaknya itu menjadi pertanda terbaru AS beralih ke Ukraina dan menjadikannya sebagai tempat untuk memulai Perang Dunia III dan mencetuskan perang nuklir terhadap Rusia yang berbatasan langsung dengan Ukraina. Boleh jadi ini menjadi jawaban mengapa Trump kemudian menarik diri dari traktat penghapusan senjata nuklir. Dan mungkin menjadi jawaban: Suriah bukan lagi pilihan menjadi tempat memulai Perang Dunia III.

Situasi terbaru itu, menurut Presiden Prancis Emmanuel Macron, mirip dengan situasi menjelang Perang Dunia II. Ia karena itu mengingatkan semua pihak terutama media massa tentang bangkitnya ideologi nasionalisme model Trump di Eropa. Ideologi demikian dinilai hanya akan memecah Eropa ditambah lagi karena campur tangan asing sehingga akan melucuti kedaulatannya.

Penyebaran ideologi nasionalisme sempit itu, kata Macron, akan menjerumuskan Eropa ke situasi yang mirip dan pernah hadir pada era 1930-an. “Saya dikejutkan dengan situasi hari ini yang mirip dengan situasi menjelang Perang Dunia II,” kata Macron ketika mengunjungi kantor redaksi koran Quest-France seperti dikutip sputniknews.com pada awal November 2018.

Ia menuturkan, bangkitnya ideologi nasionalisme justru membayangi Eropa dengan perasaan takut. Terlebih situasi ini terjadi karena menjadi konsekuensi atas krisis ekonomi sehingga sungguh-sungguh situasinya secara sistematis mirip Eropa antara akhir Perang Dunia I dan krisis ekonomi 1929.

Pengaruh ideologi nasionalisme dan intervensi pihak asing menjadi ancaman yang serius terhadap kedaulatan Eropa. Ia karena itu berupaya untuk mengkampanyekan Eropa yang lebih berdaulat dan mendukung pendekatan multilateralisme serta dialog.

Eropa berisiko hancur karena kekuatan ideologi nasionalis ditambah intervensi kekuatan asing. Karena itu, Eropa kelak, kata Macron, akan kehilangan kedaulatannya. [KRG]