Presiden Erdogan bersama Presiden Trump [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Amerika Serikat dituduh menjadi penyebab utama anjloknya nilai mata uang lira. Karena itu, kata Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan, AS sesungguhnya ingin menikam mereka dari belakang. Mengapa demikian?

Pasalnya, Turki merupakan sekutu AS dalam hal kemiliteran. Turki merupakan anggota Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) yang didirikan AS bersama sekutunya dari negara-negara Eropa pada 1949. Aliansi militer ini bertujuan untuk saling bantu apabila diserang. Bentuk dukungan tidak ditetapkan dan negara anggota bebas menentukan sendiri.

Krisis diplomatik antara AS dan Turki semakin parah ketika negara itu menahan Pendeta AS Andrew Brunson sejak Oktober 2016. Karena “pertikaian” itu, Erdogan menuduh AS membuat nilai tukar lira terhadap dolar AS anjlok parah.

“Tindakan AS di satu sisi menjadi mitra strategis, tapi di sisi lain AS ‘menembakkan’ peluru ke kaki mitra strategis,” kata Erdogan dalam pidatonya di Ankara, Ibu Kota Turki seperti dikutip AFP pada Senin (13/8).

Dikatakan Erdogan, tindakan AS yang menikam dari belakang itu agak sulit diterima. Karena bagaimanapun AS dan Turki bermitra dan sama-sama anggota NATO.

Hubungan diplomatik antara Turki dan AS mengalami pasang-surut. Dan pertikaian keduanya semakin parah ketika Turki menahan seorang pendeta yang dituduh terlibat terorisme dalam perang Suriah. Krisis hubungan kedua negara diduga menjadi penyebab jatuhnya mata uang lira sejak Jumat pekan lalu.

Krisis mata uang lira disebut Erdogan sebagai pengepungan terhadap ekonomi Turki. Itu sebagai serangan terhadap Turki. Kepada masyarakat, Erdogan mengimbau agar tak perlu khawatir. Turki tidak akan bangkrut dan tenggelam karena anjlok nilai mata uang lira itu.

“Ekonomi kita kuat dan sehat. Dan akan terus begitu,” katanya.

Ia juga mengecam adanya “teror ekonomi” yang menyebar di media sosial. Mereka yang melakukan itu akan ditangkap dan dibawa ke pengadilan untuk dihukum. Kementerian Dalam Negeri Turki kini sedang menyelidiki 346 akun media sosial yang dinilai memprovokasi. [KRG]