Koran Sulindo – Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil hari-hari ini masih lebih memilih naik kereta api jika harus menghadiri rapat dengan pemerintah pusat di Jakarta. Alasannya? Semua orang yang pernah melintasi jalan tol Cikampek atau Cipularang tahu, betapa absurdnya kemacetan di lintasan yang menghubungkan ibu kota dengan beberapa kota di Jabar itu. Jam-jam kapan macet bahkan sudah tak bisa diprediksi lagi.
Pada awal Oktober 2018 lalu Ridwan menghadiri rapat di Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman, Jakarta. Salah satu bahasannya adalah pembangunan kanal Cikarang Bekasi Laut (CBL). Menurut Emil, kebutuhan CBL sudah sangat mendesak karena pertama, khusus untuk mengangkut barang-barang logistik. Dan kedua, jelas akan mengurai kemacetan yang di jalan tol Jakarta menuju Bandung atau Cikampek, yang semestinya bebas hambatan itu.
“Dengan CBL tadi mudah-mudahan membuat kawasan penyangga ibu kota jauh lebih lancar. Kasihan lah, stress, saya aja sekarang pergi pulang naik kereta karena lewat situ macetnya luar biasa,” kata Emil. Seperti dikutip kompas.com.
Pemprov Jabar segera mengagendakan pertemuan-pertemuan berikutnya dengan Kemenko Kemaritiman dan PT Pelabuhan Indonesia II (Pelindo II). “Anggarannya hampir Rp 3 triliun dari Pelindo II,” kata Emil.
Namun masalah yang dihadapi gubernur yang menjabat belum seumur jagung itu hanya potongan dari teka-teki besar yang harus dipecahkan Pelindo II, atau yang juga populer dengan nama Indonesian Port Corporation (IPC) itu, badan hukum yang hendak mengeluarkan uang untuk pembangunan kanal air khusus kargo itu. Setelah barang-barang logistik lancar masuk ke pelabuhan Tanjung Priok, dan menumpuk misalnya, apa yang harus dilakukan?
Sekadar catatan: pelabuhan ini menangani sekitar 70 persen aktivitas impor ekspor di Indonesia. Ekonomi riil republik ini sebagian terbesar bergantung pada pelabuhan di ujung utara Jakarta tersebut. Pada 2017, pelabuhan ini melayani sebanyak 11,5 juta TEUs per tahun. TEUs (twenty-foot equivalent unit) adalah satuan yang menggambarkan ukuran sebesar kontainer 20 feet, sedang kontainer 40 feet didefinisikan sebagai 2 TEU. Satuan ini digunakan dalam menjelaskan kapasitas cargo, misalnya kapasitas muatan kapal, kapasitas terminal muatan peti kemas, maupun hal-hal lain yang menggunakan satuan container.
Hambatan pertama yang masih terus menghantui Tanjung Priok adalah jalur distribusi dari dan menuju pelabuhan. Kemacetan yang makin parah di tol Cikampek, sebagaimana diceritakan di atas, sedang coba diatasi. Dan kita boleh agak optimistis dalam soal ini.
Hambatan kedua adalah kapasitas Tanjung Priok jika seluruh barang logistik masuk dengan lancar. Pelindo II sebenarnya sudah memanfaatkan teknologi informasi untuk membangun kantong parkir truk (buffer area) di bekas lahan pabrik Pacific Paint, di Jalan R.E. Martadinata, Jakarta Utara, seluas 2 hektare. Buffer area tersebut bisa menampung hingga 1.100 unit truk dan sepenuhnya bersistem digital.
Kanal air bebas hambatan, penataan parkir, dan penggunaan buffer area berteknologi digital, arus barang di Tanjung Priok diharapkan lancar jaya.
CBL Inland Waterway
Sekarang sedikit lebih detil tentang proyek Cikarang Bekasi Laut (CBL) Inland Waterway tadi. Proyek menautkan Tanjung Priok dengan hinterland sepanjang 25 km itu bisa menjadi moda transportasi alternatif dari dan menuju pelabuhan tersibuk di Indonesia itu.
Hingga kini koneksi Pelabuhan Tanjung Priok dengan kawasan industri di Cikarang, misalnya, masih terbatas pada jalan tol dan kereta api. Jalan tol memegang peran dominan, sedang pangsa kereta api tak sampai 5 persen.
Pelindo II berharap proyek itu, juga pengembangan 200 hektare area terminal transportasi sungai di dekat zona industri Cikarang, bisa mengurangi dominasi jalan tol.
Pada tahap pertama, CBL Inland Waterway akan menggunakan kanal existing yang dibangun Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat melewati Marunda, Jakarta Utara. Tahap selanjutnya, PT Pelindo II akan menambahkan rute kanal dari CBL hingga Cikampek, Karawang. Dengan perpanjangan itu, angkutan barang berbasis kanal itu akan menghubungkan arus logistik dari Tanjung Priok hingga kawasan industri Cibitung-Cikarang di Bekasi dan Cikampek.
Paling gampang terbayang adalah, jika kanal selesai dibangun, maka kapal tongkang pengangkut kontainer dari Tanjung Priok bisa dilayarkan hingga ke kawasan industri Cikarang dan sebaliknya. Bila itu terjadi, CBL itu meniadakan aktivitas 4.000 truk kontainer tiap hari yang masuk jalan tol.
Digitalisasi
Sekarang hambatan kedua, bagaimana jika truk kargo lancar masuk pelabuhan, apakah harus berputar-putar di situ sambil menghitung hari?
“Kita sedang memasuki era baru pelabuhan, di mana semuanya serba digital dan realtime,” kata Direktur Operasional dan Sistem Informasi IPC, Prasetyadi, belum lama ini, melalui rilis media.
Menurut Prasetyadi, setelah masuk kawasan pelabuhan, sopir truk tidak hanya diarahkan untuk parkir di buffer area, melainkan juga bisa melihat langsung antrean bongkar muat barang di terminal yang dituju. Dengan begitu ia bisa mengatur waktu masuk area parkir sehingga waktu menunggu lebih efisien.
“Ada sistem yang terpasang dapat memanggil truk ke terminal, jadi tak perlu menunggu lama di dalam. Dengan ketepatan waktu, sopir bisa lebih cepat,” katanya.
Selain membangun area parkir buffer di Martadinata, IPC juga sedang membebaskan lahan di wilayah Kalibaru, Jakarta Utara, yang akan digunakan untuk kantong parkir tambahan seluas 4 hektare, dua kali lipat dari yang kini sudah ada.
“Di timur lagi dibangun Kalibaru. Nanti truk yang masuk dari terminal sisi barat dan sekarang, terus ke buffer area di timur semuanya tersambung, jadi truk tak perlu keluar jalan raya lagi. Sehingga makin efisien truk hanya melintas di dalam,” kata Prasetyadi.
Untuk ketertiban alur keluar masuk kendaraan sudah dibuat driver identification data (DID) yang terpadu dengan sistem digital yang sudah berlalu. “Setiap nomor kendaraan, nama perusahaan, dan nama sopir ikut tercatat dalam layar yang selalu diawasi petugas pelabuhan,” katanya.
Semua data yang ada dalam sistem IPC terkoneksi langsung dengan asosiasi perusahaan truk. Petugas di lapangan tidak perlu lagi memeriksa sopir satu per satu karena sudah ada database perusahaan. Sekarang setiap truk mempunyai kartu sendiri untuk persiapan bongkar muat yang dibikin di Tanjung Priok dan semua pelabuhan di bawah IPC.
Ujung dari pelayanan yang efektif dan tepat waktu itu berimbas positif bagi pengusaha angkutan truk. Mereka bisa datang ke Priok sesuai jadwal yang sudah tertera dan waktu tunggu yang lebih singkat. Ujung selanjutnya, pelaku usaha bisa menekan ongkos pengeluaran.
“Daripada parkir di luar dan antrean lama seperti sebelumnya terus mesin menyala lama dan boros BBM, sekarang antre sebentar dan bongkar muat pergi,” kata Prasetyadi.
Sekadar catatan, dalam sehari terdapat sekitar 10 ribu truk keluar masuk Tanjung Priok.
Jauh sebelumnya, IPC juga telah menerapkan akses pintu masuk otomatis (gate pass system) di seluruh pos gerbang Pelabuhan Tanjung Priok. Penerapan akses tersebut bagian dari digitalisasi layanan di pelabuhan, yang juga mencakup buffer area.
Untuk yang ini IPC menggandeng beberapa bank BUMN menyediakan kartu bernama IPC Smart Card untuk dapat digunakan transaksi di gerbang pelabuhan maupun pintu tol. Di setiap pintu masuk pelabuhan dipasang program Vehicle Information System (VIS) yang berfungsi membaca kontainer yang masuk.
Pengemudi truk cukup hanya menggunakan satu kartu saja untuk bepergian masuk tol dan masuk pelabuhan. Kartu ini juga bisa dipakai di pelabuhan di Banten dan pelabuhan di bawah IPC lainnya.
Sistem Baru Pembayaran
Yang terbaru, IPC menerapkan sistem baru berupa fasilitas dan layanan pembiayaan jasa kepelabuhan (port service financing/PSF) di Tanjung Priok, Jakarta, mulai akhir Oktober lalu. PSF adalah skema pembiayaan yang disediakan untuk pengguna jasa kepelabuhanan di IPC yang terintegrasi dengan sistem penerimaan jasa kepelabuhanan.
“Layanan PSF memberikan kepastian pembayaran oleh pengguna jasa pelabuhan,” kata Direktur Utama IPC, Elvyn G Masassya, di Jakarta, 28 Oktober 2018 lalu.
PSF juga menjamin kepastian transaksi atas jasa kepelabuhanan di pelabuhan yang dikelola IPC selama 24 jam sehari dan 7 hari seminggu, tanpa tergantung lagi pada ketersediaan uang tunai pengguna jasa.
“Dengan layanan PSF, proses kegiatan sandar, bongkar muat, atau pelayanan jasa pandu kapal tidak terganggu lagi dengan masalah ketidaktersediaan uang tunai yang kadang-kadang dialami konsumen di pelabuhan,” katanya.
Menurut Elvyn, IPC berkomitmen memberikan kemudahan bagi pengguna jasa, baik dalam pelayanan operasional dengan modernisasi alat-alat bongkar muat, maupun kemudahan dalam transaksi keuangan.
“Kita ingin semua layanan IPC jadi lebih cepat, lebih mudah dan lebih murah,” kata Elvyn.
Setelah kanal air Cikarang-Bekasi rampung nanti, kantong parkir di Priok bertambah luas, dan digitalisasi sistem di pelabuhan sudah berjalan lancar, barangkali kita mulai bisa berbicara mengurangi waktu proses bongkar muat barang (dwelling time) di Tanjung Priok. Kali ini bisa lebih akurat dengan membaca data-data yang tersimpan dalam sistem yang terdigital di IPC. [DAS]