Koran Sulindo – Pada suatu sore Maret 1883. Tibalah sebuah hari yang tak seorang pun menduganya. Pria berusia sekitar 63 tahun yang berjanggut lebat itu terjatuh pelan di kursi goyangnya tanpa merasakan sakit. Setelah dipastikan, pria itu rupanya tidur untuk selamanya.
Itulah kisah akhir hidup Karl Marx, pemikir besar yang menciptakan “hantu” bergentayangan di Eropa dan segera menyebar ke berbagai penjuru dunia. Hantu yang tidak pernah mati dan membuat penguasa serta pengusaha bergidik. Karena itu pula, Marx dan “hantu” ciptaannya itu dicitrakan sebagai “iblis” yang mesti dimusnahkan dari muka bumi.
Pada tahun terakhir kehidupannya, Marx menderita karena terpukul dengan kematian istrinya Jenny von Westphalen. Juga putrinya: Jenny. Kesehatan Marx mengalami penurunan sejak ditinggal istrinya yang meninggal beberapa tahun sebelum ia menyusulnya. Tahun-tahun terakhir kehidupannya ditandai dengan berbagai penderitaan itu.
Menurut Franz Mehring, penulis biografi Marx, tahun-tahun terakhir hidup Marx itu bisa disebut sebagai “kematian secara perlahan”. Perpisahan Marx dan Engels serta korespondensi mereka merupakan bagian dari episode pendek sebelum ajal menjemput Marx. Sebuah persahabatan yang mengharukan. Karena dalam periode itu pula digambarkan bagaimana kedua orang ini tidak mampu melawan “takdir” walau memiliki semangat yang sama tentang mengubah dunia.
Dari semua penderitaan itu, hanya hasrat dan semangat yang membara yang membuat Marx bertahan hidup. Itu semua demi tujuan besar yang telah ia curahkan sepanjang hidupnya. Selain menderita karena kematian istrinya, kesehatan Marx yang sempat memburuk mulai sedikit membaik setelah berendam air panas belerang di Enghien, Prancis. Setelah berendam, Marx merasakan lebih sehat terutama untuk bronkitis kronisnya.
Setelah itu, Marx sempat tinggal bersama putrinya Laura selama enam pekan di Vevey, Jenewa, Swiss. Sewaktu tinggal bersama putrinya itu, ia gunakan untuk meningkatkan kesehatannya. Setelah itu, Marx pun kembali ke London. Ia tampak sehat karena sering berjalan kaki dari rumahnya ke Hampstead Heath yang berjarak lebih dari 300 kaki. Dan ia tak menunjukkan tanda-tanda kelelahan.
Di tahun terakhir kehidupannya itu, Marx juga menunjukkan rasa kecewa yang luar biasa kepada menantunya Paul Lafargue, terutama karena gagasan yang diusung menantunya itu. Di Partai Buruh Prancis, Lafargue acap mengatasnamakan marxisme, padahal sesungguhnya sama sekali berlainan dengan gagasan yang diperjuangkan Marx dan Engels. Karena itu, dalam sebuah suratnya Marx menuliskan: “Lafargue sebagai Bakuninis terakhir.”
Itulah hari-hari terakhir Marx selama hidup. Penderitaan dan penyakit tak mampu mengalahkan hasrat dan semangatnya yang membara untuk mewujudkan cita-cita yang ia perjuangkan sepanjang hidupnya: masyarakat komunis, “hantu” yang tidak pernah mati itu! [KRG]