Jakarta – Senior PDI Perjuangan dan mantan Ketua DPP PDI Perjuangan dua periode, Emir Moeis, menyampaikan keprihatinan mendalam atas vonis terhadap Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto, dalam kasus suap PAW dan perintangan penyidikan.
Emir menyebut bahwa proses hukum yang menjerat Hasto sarat muatan politis dan mencerminkan kekacauan dalam sistem hukum di Indonesia.
“Saya merasa sedih, kecewa, dan prihatin sekali. Ternyata hukum serta ketatanegaraan di republik ini sudah demikian kacaunya,” ujar Emir melalui pesan suara pada (25/07/2025).
Menurutnya, hukum kini telah menjadi alat kekuasaan yang digunakan untuk menghukum atas dasar perbedaan pandangan politik.
“Seseorang bisa dihukum atas dasar persaingan politik. Inilah yang saya sebut sebagai politisasi hukum,” tambahnya.
Emir mencontohkan kasus Hasto, yang menurutnya tidak menyebabkan kerugian keuangan negara, namun justru dikaitkan dengan tindak pidana korupsi. Ia juga menyoroti KPK yang dinilainya kerap hanya menyasar kasus kecil dan terkesan menjadi alat politik.
“KPK hanya cari yang kecil-kecil sehingga nyata betul ini menjadi organ politik. Ini jauh lebih buruk dibandingkan masa Orde Baru,” kritiknya.
Lebih lanjut, ia menilai bahwa vonis 3,5 tahun terhadap Hasto mencederai prinsip keadilan.
“Vonis itu katanya berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Astaghfirullah. Kok berani-beraninya membawa nama Allah untuk menghukum orang atas dasar persaingan politik?” cetusnya.
Emir juga menyebut bahwa beberapa menteri belakangan ini tersandung kasus hukum yang dicurigai bermuatan politis. Ia mendesak DPR untuk lebih proaktif dalam membenahi penegakan hukum di Indonesia.
“Sudah saatnya DPR turun tangan. KPK sebagai lembaga ad hoc cukup baik, tapi ‘pengemudinya’ yang seringkali menjalankan kepentingan politik,” ujar Emir. Ia menambahkan, “Kalau begini terus, mungkin memang sudah waktunya mengevaluasi keberadaan lembaga-lembaga penegak hukum yang justru melemahkan demokrasi.”
Hasto Kristiyanto terbukti melanggar Pasal 5 Ayat (1) huruf a Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang RI No. 20 Tahun 2001 tentang perubahan atas Undang-Undang RI No. 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, juncto Pasal 55 Ayat 1 Ke-1 KUHP, juncto Pasal 64 Ayat 1 Ke-1 KUHP.
Akibat perbuatannya, Hasto divonis 3,5 tahun penjara dan denda Rp 250 juta yang apabila tidak sanggup dibayarkan maka diganti hukuman kurungan penjara selama 3 bulan.
Sebelumnya Hasto juga didakwa atas kasus perintangan penyidikan namun Hakim menyatakan, perintangan penyidikan tersebut tidak terbukti dalam persidangan sehingga Hasto terbebas dari dakwaan tersebut. [IQT]




