Koran Sulindo – Tak lama setelah vonis persidangan yang dijatuhkan terhadap dirinya, Emir Moeis menemukan sejumlah fakta menarik. Berikut tulisan Emir Moeis yang mengungkapkan fakta-fakta tersebut.
Setelah lebih dari dua tahun sejak kasus saya mulai disidangkan, terbukalah secara rinci-fakta-fakta yang selama ini tidak digubris oleh penegak hukum.
Sedikit pengulangan, bahwa satu-satunya kesaksian dan bukti yang memberatkan saya adalah laporan dari FBI atas kesaksian Sdr. Pirooz Sharavi, yang merupakan teman sekolah serta mitra bisnis saya, yang mengatakan bahwa saya membantu dia untuk memenangkan Alsthom Inc. dalam tender proyek PLTU Tarahan di Lampung. Dan juga adanya transfer dana dari Pirooz kepada saya.
Pirooz menunjukkan sebuah dokumen kontrak kerja sama antara Pacific Resourcesik Incorporated (PRI) dengan PT Anugrah Nusantara Utama (ANU). Dokumen inilah yang dianggap sebagai bukti saya membantu untuk pemenangan Alsthom. Saat pemeriksaan saksi atas saudara Juliansyah Putra Zulkarnain, kepada penyidik telah disampaikan bahwa dokumen tersebut palsu, yaitu paraf Sdr. Juliansyah atas lima lembar dokumen (dari enam lembar yang ada) dipalsukan. Halaman satu sampai dengan halaman lima diubah isinya oleh Pirooz: sebelumnya berisikan kerjasama di bidang batu bara, menjadi bantuan teknis untuk pemenangan proyek PLTU Tarahan oleh Alsthom. Pada Maret 2015 Sdr. Juliansyah telah mengadukan pemalsuan tandatangannya atas lima lembar dokumen tersebut kepada pihak yang berwajib, yaitu Polri. Dan selanjutnya, Polri menyatakan bahwa paraf tersebut memang berbeda.
Baca juga : Emir Moeis: Setiap Perubahan Zaman Selalu Ada Peluang bagi UMKM
Namun, tatkala diminta dokumen aslinya, Sdr. Juliansyah hanya mempunyai copy yang sudah dilegalisir oleh KBRI di Washington DC, USA. Pihak Polri pun menyurati Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Jawaban dari KPK: pihak KPK pun hanya mempunyai foto-copy saja. Menurut KPK, dokumen aslinya ada pada FBI di Amerika Serikat. Jadi, saya diadili dengan bukti foto copy dokumen saja.
Selanjutnya, dana yang dikirim Pirooz kepada saya sesungguhnya adalah untuk membangun stasiun pengisian dan pengangkutan bahan bakar elpiji di desa Tabanan Bali. Hal inipun sudah diperiksa kebenarannya oleh Polri. Pirooz Sharavi telah dipanggil oleh Polri untuk mempertanggungjawabkan pemalsuan dan kebohongannya. Namun, sebagaimana yang terjadi di Pengadilan Tipikor, saksi tersebut juga tidak mau datang, dan pihak aparat– baik KPK maupun Pengadilan Tipikor– tidak dapat berbuat apa-apa?
Sampai sekarang pun stasiun pengisian dan pengangkutan elpiji itu masih beroperasi, dan Pirooz sebagai pemilik saham masih menerima keuntungan. Dengan pemalsuan paraf dan tanda tangan yang dilakukannya, saham Pirooz di perusahaan itu seharusnya disita oleh KPK. Tapi, kenyataannya tidak disita.
Saya bertanya: apakah adil bilamana seorang anak bangsa yang terhormat dikorbankan, dipidanakan, dan dihukum atas dasar kesaksian sepihak seorang asing tanpa menghadirkannya? Dimana letak pembelaan negara terhadap warga negaranya? Lebih mendalam dan memprihatinkan lagi: dimana letak kedaulatan hukum negara dan bangsa ini? Hanya karena saksi dan laporan tersebut dari negara super power, aparat kita ewuh pakewuh terhadap tuan-tuan asing tersebut? Padahal, kita sudah 70 tahun MERDEKA!!! Seperti dalam pledoi, saya katakan ini akan menjadi catatan sejarah buruk sistem peradilan kita.
Nasi memang sudah menjadi bubur. Saya hanya berharap cukup pada diri saya saja penzaliman ini terjadi, jangan sampai terjadi lagi pada anak bangsa yang lain.
Sesungguhnya bila saja sebelum saya ditetapkan sebagai tersangka, saya sempat dimintakan keterangan, tentunya saya bisa memberikan “bantahan serta menunjukkan fakta-fakta yang sesungguhnya, sehingga proses ini tidak perlu sampai kepada penyidikan”. Semua keterangan dari saksi-saksi di dalam negeri dipanggil dan dimintakan keterangan.
Bagaimanapun, saya tidak menyimpan dendam. Saya juga tidak ingin mencerca peradilan, ataupun KPK. Khusus untuk KPK, saya tetap berkeyakinan bahwa lembaga ini tetap diperlukan, namun pasal-pasal dalam Undang-undang tentang KPK yang harus direvisi. KPK harus dapat diperkuat, dengan jalan tidak memberikan kesempatan kepada pimpinannya untuk bertindak seperti Tuhan– dimana tidak satupun keinginan dan pendapat para pimpinannya bisa diperdebatkan.
Saat saya dihukum, seorang kawan baik saya (sekarang dia menjadi seorang menteri) menyampaikan pesan yang isinya begini: “Pak Emir sabar ya, Gusti Allah ora sare”. Seorang kawan lain mengatakan, bahwa siapapun yang bersikap seperti Tuhan—seperti layaknya Firaun– akan kena hukuman pada akhirnya. Wallahualam bisawab, hanya selang setahun kemudian, kita saksikan sendiri bahwa mereka (beberapa pimpinan KPK) akhirnya terjeblos oleh perbuatan mereka sendiri yang sangat nista. Saya katakana sangat nista, karena kedudukan super power mereka seperti pemegang kebenaran dunia dicederai oleh perbuatan mereka sendiri.
Kemudian datang lagi fakta baru dari media di Amerika Serikat, yang saya baca lewat internet: bahwa atas dasar kesalahan saya, Alsthom menjadi terbukti bersalah. Dua personelnya dipenjara, dan Alsthom dikenanakan denda sebesar $ 700,000,000 oleh pengadilan Amerika Serikat. Tapi, tidak lama kemudian muncul berita bahwa Perdana Menteri Perancis meradang terhadap Menteri Perdagangan Amerika Serikat, karena General Electric (GE) akan mengakuisisi Alsthom. Pemerintah Perancis menyatakan keberatannya, dan lebih ingin bila Alsthom dibeli oleh Siemens GMBH sesama perusahaan dari Eropa. Kita tahu bahwa selama ini dalam tender-tender di dunia, GE dan perusahaan-perusahaan dari Amerika Serikat selalu dikalahkan oleh perusahaan-perusahaan dari Eropa. Hal ini yang membuat saya bertanya-tanya apa kaitan dengan semua ini?
Kasus Saya Dijadikan Komoditi
Belum lagi selesai dengan masalah ini, timbul lagi kasus “rumah kaca”. Dalam insiden itu Plt. Sekjen PDI Perjuangan menyatakan bahwa Ketua KPK Abraham Samad mengakui telah meringankan hukuman saya, dan sebagai kompensasi Abraham Samad meminta agar direkomendasikan menjadi Wakil Presiden RI dalam Pilpres 2014, mendampingi Joko Widodo.
Kalau hal ini benar adanya, lengkaplah sudah bahwa kasus saya telah dijadikan komoditi oleh komisioner KPK untuk bargaining politik. Pertanyaannya, sejak kapan bargaining ini dilakukan? Apakah kasus saya sekedar diada-adakan? Saya akan menunggu hasil penyelidikan dan penyidikan kasus “rumah kaca” itu. Kalaupun di kemudian hari kasus ini didiamkan, saya tetap akan mengejarnya hingga tuntas.
Baru saja saya ingin mengakhiri tulisan ini, muncul lagi berita,fakta, atau bahkan novum atas perkara saya. Kebetulan saya bertemu dengan seorang sahabat, yang mantan Direksi PLN. Sahabat saya itu menyampaikan, tatkala menjadi anggota Direksi PLN, ia didatangi Direktur Utama Alsthom Indonesia yang menanyakan apakah ada intervensi Pak Emir Moeis dan atasannya di PDI Perjuangan dalam proyek-proyek di PLN?
Tatkala dijawab tidak ada, maka dengan nada setengah menekan Dirut Alstom Indonesia itu, Eko Sulianto, menyatakan bahwa ia ditugaskan oleh kakaknya yang menjadi staf khusus di Istana, yang pernah terkenal karena kasus “blue energy”, untuk menyelidiki dan mencari keterlibatan PDI Perjuangan dalam proyek-proyek di PLN. Memang Eko Sulianto, selaku Dirut Alsthom Indonesia, termasuk yang menjadi saksi dalam perkara saya. Ia di BAP dan juga dijadikan saksi dalam persidangan perkara saya. Tapi, ada beberapa keterangan bohong yang diucapkan dalam kesaksiannya. Misalnya, ia mengatakan saya berjanji akan membantunya dengan membicarakan soal (keterlibatan Alstom dalam proyek-proyek PLN) kepada Dirut PLN dan Menteri ESDM. Dan ternyata di pengadilan justru keterangan tersebut tidak diterima. Disinilah saya meyakini bahwa keterangannya memang direkayasa untuk menjatuhkan saya.
Namun, yang lebih membuat saya bertanya- tanya, apa urusannya seorang staf kepresidenan masuk dan bermain seperti itu? Kesimpulan saya: memang benar benar ada tujuan dan maksud politik untuk menjatuhkan dan menghancurkan saya, baik dari luar negeri maupun dalam negeri, termsuk dari aparat KPK.
Kini saya sudah bebas, meski harus menjalani hukuman untuk hal yang tidak saya lakukan. beberapa kawan dan pengacara saya mengusulkan untuk melakukan peninjauan kembali atau PK, karena sudah ada beberapa novum. Saya sendiri masih memikirkan tindakan saya ke depan, karena sesungguhnya saya sudah skeptis, tidak lagi ingin mencari keadilan. Toh saya sudah menjalankan hukuman saya, lantas apa yang saya harapkan? Ganti rugi? Tidak sesenpun saya inginkan.
Kebenaran yang saya cari, dan harus saya tunjukan kepada keluarga saya, terutama kepada cucu saya. Karenanya, sampai kapanpun dan dimanapun, fakta dan bukti-bukti harus ditemukan, biar sampai ke ujung dunia sekalipun.
Beberapa kawan lain menanyakan apakah saya akan kembali lagi ke dunia politik? Saya katakan bahwa tanpa saya sadari sejak kecil politik sudah mengalir dalam darah saya, sehingga tidak mungkin untuk meninggalkannya. Namun, mungkin bukan lagi dunia politik praktis, tapi saya ingin memikirakan soal ideologi politik dan menyampaikannya kepada generasi muda. Semoga saja Tuhan meridhoi. Karena, saat ini adalah masa yang memprihatinkan buat partai politik dan kehidupan demokrasi. Setelah mengalami masa keemasannya di masa awal reformasi, kini partai politik dihujat kembali seperti di masa Orde Baru.