Elie Wiesel, seorang penyintas Holocaust dan penulis memoar
Elie Wiesel, seorang penyintas Holocaust dan penulis memoar "Malam", memenangkan Penghargaan Nobel Perdamaian pada 10 Desember 1986. (Sumber: Sulindo/Benedict Pietersz)

Pada tanggal 10 Desember 1986, penyintas Holocaust Elie Wiesel menerima Penghargaan Nobel Perdamaian atas perannya sebagai juru bicara utama dalam menangani Holocaust. Dia terutama dikenal sebagai penulis buku berjudul “Malam” (Night), sebuah memoar yang menceritakan pengalaman pahitnya selama menjadi tawanan kamp konsentrasi Auschwitz dan Buchenwald.

Sebelum menjadi korban keganasan Nazi, Wiesel menekuni agama Yahudi di Rumania, negara asalnya. Namun selama menyaksikan segala kebrutalan di Auschwitz, dia mulai mempertanyakan Tuhan.

Setelah Perang Dunia 2, Wiesel tanpa lelah mengkampanyekan perlindungan hak asasi manusia, menganjurkan orang-orang di seluruh dunia untuk terus mengingat dan belajar dari Holocaust. Dia menjadi penggerak di balik pembentukan Museum Peringatan Holocaust Amerika Serikat.

Biografi Elie Wiesel

Elie Wiesel lahir dengan nama Eliezer Wiesel pada tanggal 30 September 1928, di Sighet, Rumania, dari pasangan Shlomo dan Sarah Wiesel. Shlomo adalah seorang anggota komunitas Yahudi yang dihormati di Sighet dan bekerja sebagai pemilik toko. Sarah adalah ibu rumah tangga, putri dari Dodye Feig yang merupakan seorang pengikut dinasti Vizhnitz Hasid sekaligus petani dari desa terdekat Bocskó.

Shlomo menanamkan rasa kemanusiaan yang kuat pada Wiesel, mendorongnya untuk belajar bahasa Ibrani dan membaca literatur, sedangkan ibunya mempromosikan iman dengan memotivasinya untuk mempelajari kitab Taurat.

Wiesel memiliki dua kakak perempuan, Beatrice dan Hilda, dan seorang adik perempuan bernama Tzipora. Dia tumbuh bersama mereka dan menekuni studi agama Yahudi di yeshiva terdekat. Yeshiva adalah lembaga pendidikan tradisional Yahudi yang berfokus pada studi literatur Rabbinik, terutama Talmud dan halacha.

Pada tahun 1940, Hungaria mencaplok Sighet dan keluarga Wiesel termasuk di antara keluarga Yahudi yang dipaksa tinggal di ghetto, yaitu wilayah perkotaan miskin yang sebagian besar dihuni oleh kelompok atau beberapa kelompok minoritas.

Pada bulan Maret 1944, Nazi Jerman menduduki Hungaria. Antara tanggal 15 Mei dan 9 Juli 1944, pejabat Hungaria bekerja sama dengan otoritas Jerman untuk mendeportasi hampir 440.000 orang Yahudi ke kamp-kamp konsentrasi, khususnya ke Auschwitz-Birkenau di Polandia yang telah diduduki. Auschwitz merupakan kamp konsentrasi sekaligus pusat pembantaian orang-orang Yahudi.

Orang-orang Yahudi dari Sighet menjadi bagian dari yang pertama dideportasi ke Auschwitz pada bulan Mei 1944. Wiesel, yang berumur 15 tahun, orang tuanya, dan tiga saudara perempuannya dikirim ke Auschwitz dengan gerbong barang sebagai bagian dari Holocaust.

Di jalur seleksi Birkenau, Wiesel terpisah dari ibunya dan Tzipora, sebab para laki-laki harus berjalan ke kiri dan para perempuan pergi ke kanan. Itulah terakhir kalinya dia melihat ibu dan adik perempuannya: mereka terpilih untuk dibunuh di kamar gas.

Seorang tahanan Yahudi tua menyuruh Wiesel memberi tahu Nazi bahwa dia berusia 18 tahun, cukup umur untuk bekerja. Menuruti nasihat itu, Wiesel berbohong tentang usianya dan selamat dari kematian.

Setelah ditahan selama beberapa waktu di Auschwitz I, Wiesel dan ayahnya dipindahkan ke Buna, pabrik karet sintetis di Auschwitz III Monowitz. Di pabrik tersebut, dia menjadi seorang pekerja budak. Kehilangan ibu dan saudara perempuannya serta kebrutalan kamp konsentrasi Nazi yang dialaminya setiap hari membuat Wiesel mempertanyakan keyakinannya.

Saat tentara Rusia maju melewati Polandia pada awal tahun 1945, Nazi Jerman mengevakuasi para penghuni Auschwitz-Birkenau. Wiesel dan ayahnya berjalan kaki sejauh bermil-mil sebelum diangkut ke kamp konsentrasi Buchenwald. Di sana, ayahnya meninggal setelah dipukuli oleh seorang tentara Nazi, hanya tiga bulan sebelum kamp tersebut dibebaskan.

Wiesel dibebaskan dari Buchenwald pada tahun 1945. Dia bertemu lagi dengan kakak perempuannya, Beatrice dan Hilda, di panti asuhan Prancis.

Menulis “Malam”

Elie Wiesel melanjutkan studi di Sorbonne di Prancis dari tahun 1948-51 dan menjadi jurnalis, menulis untuk penerbitan Prancis dan Israel.

Selama satu dekade setelah Holocaust, Wiesel tetap bungkam tentang pengalamannya di kamp konsentrasi Nazi. Namun teman sekaligus koleganya, François Mauriac, seorang peraih Nobel Sastra Prancis, mendorongnya untuk menulis pengalamannya tersebut.

Wiesel akhirnya menerbitkan memoar berjudul And the World Would Remain Silent dalam bahasa Yiddish pada tahun 1956, ketika dia berusia 28 tahun. Buku tersebut dipersingkat dan diterbitkan di Prancis dengan judul La Nuit, yang kemudian diterjemahkan menjadi Night atau “Malam” untuk pembaca bahasa Inggris pada tahun 1960.

Memoar tersebut menjadi buku terlaris dan dianggap sebagai karya penting tentang kengerian Holocaust. Jutaan orang tersentuh oleh “Malam” karena Wiesel dengan jujur menjelaskan tentang apa yang dia alami secara fisik, emosional, dan spiritual.

“Malam” diikuti oleh dua novel, “Fajar” (1961) dan “Siang” (1962), untuk membentuk trilogi yang mencermati perlakuan destruktif manusia terhadap satu sama lain. Wiesel kemudian menulis lebih dari 60 buku bergenre fiksi dan non-fiksi.

Menjadi Warga Negara Amerika

Sebagai seorang penyintas Holocaust, Wiesel pindah ke New York pada tahun 1955 dan menjadi warga negara Amerika Serikat pada tahun 1963.

Dia lalu bertemu Marion Rose, seorang penyintas Holocaust asal Austria, di New York. Mereka menikah di Yerusalem pada tahun 1969. Putra mereka, Elisha, lahir pada 6 Juni 1972.

Pada pertengahan 1970-an, Wiesel ditunjuk sebagai Profesor Andrew W. Mellon bidang Humaniora di Universitas Boston. Orang-orang yang terpilih sebagai Profesor Mellon dapat menjabat selama dua tahun akademik berturut-turut dan bebas melakukan penelitian independen.

Selagi menjabat sebagai Profesor Mellon, Wiesel juga mengajar studi Yahudi di City University of New York, dan menjadi peneliti tamu di Universitas Yale.

Pada tahun 1978, Wiesel ditunjuk sebagai ketua Komisi Presiden tentang Holocaust oleh Presiden AS Jimmy Carter. Dia menulis laporan Komisi yang merekomendasikan agar pemerintah AS mendirikan tugu peringatan dan museum Holocaust di Washington DC. Dia percaya bahwa Museum Peringatan Holocaust Amerika Serikat akan terus mengingatkan dan menginspirasi generasi di masa depan untuk melawan kebencian, mencegah genosida, dan meningkatkan martabat manusia.

Wiesel juga memprakarsai Days of Remembrance, hari peringatan tahunan Amerika Serikat terhadap Holocaust.

Wiesel kembali ke Auschwitz-Birkenau untuk pertama kalinya pada 28 Januari 1985 sebagai bagian dari pekerjaannya dengan Komisi Presiden. Dia menulis tentang kunjungan tersebut dalam memoarnya, And the Sea is Never Full. Di samping karyanya dalam peringatan Holocaust, Wiesel berbicara atas nama orang-orang Yahudi Soviet, korban apartheid, korban kelaparan di Afrika, dan korban genosida di Kamboja, Bosnia, dan Darfur.

Pada tahun 1992, Wiesel menjadi presiden pendiri Universal Academy of Cultures, sebuah organisasi hak asasi manusia yang berpusat di Paris.

Menerima Penghargaan Nobel Perdamaian

Upaya Wiesel untuk membela hak asasi manusia dan perdamaian di seluruh dunia membuatnya memperoleh Presidential Medal of Freedom, United States Congressional Gold Medal, Medal of Liberty Award, dan pangkat Grand-Croix dalam French Legion of Honor. Wiesel juga menerima lebih dari 100 gelar kehormatan dari lembaga pendidikan tinggi.

Pada 10 Desember 1986, Elie Wiesel dianugerahi Penghargaan Nobel Perdamaian atas upayanya dalam memperjuangkan hak asasi manusia pasca Holocaust. Dalam sebuah siaran pers, Komite Nobel menggambarkan Wiesel sebagai “seorang utusan bagi umat manusia; pesannya adalah pesan perdamaian, penebusan dosa dan martabat manusia.”

Dalam pidatonya, Wiesel mengatakan dia merasakan kehadiran puluhan ribu orang yang tewas di Buchenwald, dan menerima Penghargaan Nobel Perdamaian atas nama mereka dan atas nama rekan-rekannya yang selamat.

Tiga bulan setelah menerima Penghargaan Nobel Perdamaian, Wiesel dan istrinya mendirikan Yayasan Elie Wiesel untuk Kemanusiaan (Elie Wiesel Foundation for Humanity). Misi dari yayasan tersebut adalah memajukan hak asasi manusia dan perdamaian di seluruh dunia dengan menciptakan forum baru untuk membahas isu-isu etika mendesak yang dihadapi umat manusia.

Elie Wiesel meninggal pada tanggal 2 Juli 2016 di rumahnya di Manhattan pada usia 87 tahun. Keluarganya mengatakan bahwa dia meninggal dengan tenang setelah sakit lama. [BP]