Koran Sulindo – Peneliti Center for Indonesian Policy Studies Ira Aprilianti mengungkapkan, penurunan ekspor dan impor pada bulan Mei 2020 mengindikasikan pelemahan ekonomi Indonesia.
Apalagi berdasarkan data Badan Pusat Statistik pada Mei 2020, neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar 2,09 miliar dolar AS atau Rp29,72 triliun.
Surplus ini,kata Ira didorong oleh kontribusi ekspor sektor nonmigas sebesar 9,88 miliar dolar AS. Sementara itu, sektor migas mengalami defisit sebesar 650 juta dolar AS.
“Kendati surplus, Indonesia mengalami penurunan ekspor maupun impor dan hal ini mengindikasikan pelemahan ekonomi,” kata Ira dalam keterangannya di Jakarta, Selasa (16/6).
Nilai total ekspor tercatat sebesar 10,53 miliar dolar AS mengalami penurunan sebesar 13,40 persen dibandingkan dengan April 2020. Nilai ekspor nonmigas senilai 9,88 miliar dolar AS juga turun sebesar 14,81 persen.
“Penurunan nilai ekspor, salah satunya, disebabkan oleh pandemi Covid-19 yang memaksa pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan pembatasan, seperti physical distancing dan PSBB, yang menyebabkan berkurangnya kegiatan industri, menurunnya pendapatan dan berkurangnya tenaga kerja yang dipekerjakan,” kata Ira.
Sementara, nilai impor senilai 8,44 miliar dolar AS turun sebesar 32,65 persen dibandingkan dengan April 2020. Impor nonmigas senilai 7,78 miliar dolar AS turun sebesar 33,36 persen dibanding April 2020. Sedangkan, impor migas senilai 0,66 miliar dolar AS turun sebesar 23,04 persen.
“Berkurangnya impor juga merupakan salah satu dampak pandemi Covid-19 dimana industri mengurangi jumlah tenaga kerja dan juga produksinya. Berkurangnya jumlah tenaga kerja dan produksi tentu juga mengurangi jumlah perdagangan, baik ekspor maupun impor,” kata Ira.
Ira juga menyebut adanya surplus neraca perdagangan bukanlah ukuran performa ekonomi sedang berjalan dengan baik. Namun, hal itu harus dilihat secara detail ekspor-impor pada komoditas.
Lebih lanjut, Ira menjelaskan penurunan pada impor migas sebesar 23,04 persen dan golongan mesin mekanis sebesar 30,56 persen pada April-Mei 2020 menunjukkan kurangnya permintaan industri terhadap input produksi.
Pemerintah dinilainya tidak boleh mengartikan surplus neraca sebagai hal positif. Terlebih jika melihat penurunan impor terjadi pada bahan baku industri, dan bukan akibat tambahan pasokan secara domestik.
“Pemerintah harus berfokus pada orientasi perdagangan terbuka dengan tidak melupakan kepentingan kelancaran rantai pasok dalam negeri yang dapat mendukung perekonomian di daerah,” tutur Ira.
Ira juga merekomendasikan pemerintah untuk mempermudah proses impor pada bahan baku untuk menggerakkan industri. Untuk itu, penurunan nilai impor, terutama pada bahan baku industri, seharusnya dilihat sebagai sebuah peringatan. [WIS]