Peluang Indonesia mendapat pemasukan dari penjualan energi baru dan terbarukan (EBT) ke luar negeri sepertinya tidak dapat terealisasi. Hal itu dikarenakan kebijakan pemerintah melarang ekspor EBT ke luar negeri.

Sebelumnya, perusahaan energi Singapura Quantum Power Asia Pte telah setuju untuk berinvestasi sebesar 5 miliar USD. Investasi itu memproduksi tenaga surya ke Singapura demi mempercepat penggunaan energi terbarukan. Quantum dan mitranya Ib Vogt GmbH mengatakan akan membangun fasilitas tenaga surya 3,5 gigawatt dan fasilitas penyimpanan baterai 12 gigawatt-jam di area seluas 4.000 hektar di Kepulauan Riau. Proyek ini akan terhubung ke wilayah Singapura melalui kabel bawah laut sepanjang 50 km.

Salah satu alasan pemerintah melarang ekspor energi baru terbarukan atau EBT ke luar negeri adalah untuk mengutamakan kebutuhan domestik. Karena bauran listrik dari energi bersih secara nasional masih berada pada angka 11,7 persen.

Menteri Badan Usaha Milik Negara (menteri BUMN) Erick Thohir menegaskan larangan ekspor EBT sama seperti kebijakan Domestic Market Obligation (DMO) batu bara dan minyak goreng yang mengharuskan badan usaha memenuhi kebutuhan dalam negeri terlebih dahulu.

“Kita sebagai negara yang mandiri harus memprioritaskan kebutuhan dalam negeri daripada kebutuhan negara lain, tapi bukan berarti kita anti asing. Tetap kita lakukan seperti yang kita lakukan kepada batu bara dan minyak sawit,” kata Erick Thohir Jumat, (3/6).

Erick juga menyampaikan keputusan pemerintah untuk melarang ekspor merupakan kebijakan yang lumrah karena negara membutuhkan energi baru terbarukan. Apalagi pemerintah kini aktif mendorong pembangunan dan pengembangan industri hijau di dalam negeri.

“Ketika negara membutuhkan energi terbarukan diprioritaskan ke dalam negeri sebelum keluar negeri, itu mah sah-sah saja,” ujar Erick.

Sebelumnya, Pemerintah Indonesia dalam KTT ASEAN – Amerika Serikat menyampaikan akan melarang ekspor energi baru terbarukan ke negara lain dan aturan terkait hal itu akan segera dibuat untuk memperkuat landasan dari kebijakan tersebut.

Pemerintah mempersilakan perusahaan-perusahaan asing untuk masuk ke Indonesia dan membangun proyek energi baru terbarukan, namun energi bersihnya tidak untuk disalurkan ke luar Indonesia.

Kontradiktif

Kebijakan ini terkesan kontradiktif dengan kondisi sektor energi Indonesia khususnya listrik. Sebagaimana diketahui bahwa saat ini perusahaan listrik negara mengalami over suplai atau kelebihan pasokan listrik. Bahkan kondisi over suplai ini ditenggarai menjadi penyebab sulitnya pengembangan EBT.

Dengan adanya larangan ekspor EBT tentunya akan meningkatkan kelebihan pasokan listrik yang semakin besar. Masalah over suplai tentunya bisa teratasi dengan mengurangi pembelian listrik dari perusahaan swasta atau IPP oleh PLN, namun hal itu sangat bergantung pada kebijakan energi pemerintah.

Sebelumnya Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) juga mengakui bahwa pengembangan energi hijau atau EBT memiliki tantangan yang berat. Salah satunya mengenai adanya over suplai listrik yang sedang dialami oleh PT PLN (Persero).

Pemerintah memiliki target bauran Energi Baru dan Terbarukan (EBT) sebanyak 23% di tahun 2025 sedangkan hingga Mei 2022 realisasi bauran EBT baru mencapai sekitar 12%

Bahkan demi pemenuhan target EBT pemerintah berencana membeli EBT dari pihak swasta melalui Power Purchasement Agreement (PPA) listrik oleh perusahaan listrik swasta/IPP kepada wilayah usaha (wilus) lain di luar dari wilayah usaha milik LN.

Anggaran perusahaan listrik negara (PLN) tentunya akan semakin terbebani untuk membeli listrik swasta dalam skema transisi menuju EBT. Dampak lain adalah meningkatnya harga listrik akibat beban pengadaan yang semakin besar.

Persoalan ini sangat bertentangan dengan logika dan hukum pasar sekalipun. Semestinya ketika ada kondisi over suplai maka akan ada penurunan harga karena jumlah barang atau jasa melebihi permintaan pasar. Itulah uniknya kebijakan energi di Indonesia. [PTM]