Ekonomi Indonesia Belum Overheating, tapi Defisit Transaksi Berjalan Melebar

Ilustrasi

Koran Sulindo – Meski harus diwaspadai, ekonomi Indonesia masih belum overheating. Namun, memang, defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) Indonesia diperkirakan akan melebar pada kuartal kedua tahun 2018 ini.

Dijelaskan Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo, neraca perdagangan pada Juni 2018 akan mencatat surplus kurang-lebih US$ 900 juta. Dengan begitu, neraca perdagangan kuartal kedua 2018 akan defisit US$ 790 juta, lebih tinggi dari kuartal pertama yang hanya sebesar US$ 450 juta. Inilah yang membuat defisit transaksi berjalan melebar.

Toh, kata Perry bilang, melebarnya CAD Indonesia tak perlu terlalu dikhawatirkan. “Kuartal kedua secara musiman defisit transaksi berjalan agak lebih tinggi dari triwulan pertama, tapi secara tahunan, triwulan tiga dan empat, akan menurun sehingga keseluruhan tahun akan di bawah 2,5 persen dari Produk Domestik Bruto, PDB,” ujarnya, Senin (9/7).

Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara juga mengatakan, membesarnya defisit transaksi berjalan dan neraca perdagangan bukanlah cerminan dari overheating. “Karena pertumbuhan kredit masih berada di kisaran 10,2 persen-10.3 persen, year on year, dan 2,9 persen-3 persen, year to date,” kata Mirza, 3 Juli 2018.

BI melihat, defisit pada neraca perdagangan pada Januari-Mei 2018 yang mencapai US$ 1,52 miliar lebih disebabkan impor kebutuhan pembangunan infrastruktur, yang nilainya kurang-lebih US$ 4,1 miliar. Juga impor alat pertahanan tercatat sebesar US$ 1,1 miliar dan impor beras kurang-lebih US$ 400 juta.

Dari angka-angka itu, BI menilai defisit yang terjadi masih berada di kisaran yang sehat. Malah, BI memandang neraca perdagangan sebenarnya berada di posisi surplus. “Jadi sebenarnya neraca perdagangan Januari-Mei yang defisit, kalau dikeluarkan kebutuhan impor pembangunan infrastruktur, di mana untuk kebutuhan pembangunan kapasitas ekonomi jangka panjang, neraca perdagangan Indonesia itu surplus,” tutur Mirza.

Jauh sebelum itu, ekonom Universitas Indonesia, Faisal Basri, telah mengingatkan, pemerintah harus mengupayakan mengerem utang, baik terhadap asing atau utang dalam negeri sendiri. Dengan demikian, defisit transaksi berjalan (CAD) dapat ditekan, yang akan membuat stabilitas ekonomi nasional membaik.

“Semakin pemerintah menggenjot investasi dan belanja pemerintah melebihi kemampuannya, CAD akan memburuk. CAD yang memburuk berdampak pada rupiah, yang akan melemah,” tutur Faisal dalam sebuah diskusi pada 21 Maret 2018 lampau.

Cara-cara pemerintah menggaet dana segar dengan berutang, lanjutnya, sudah kelewat batas. Dengan dalih utang untuk pembiayaan sektor produktif, kata Faisal lagi, justru utang yang ada adalah untuk meningkatkan belanja pegawai dan tidak cukup kuat mendorong pertumbuhan ekonomi nasional.

“Sepanjang investasi lebih besar dari tabungan kita dan sepanjang belanja pemerintah lebih besar dari penerimaan pemerintah, CAD juga naik,” katanya

Yang juga perlu diwaspadai juga adalah kecenderungan tren pertumbuhan utang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang melebihi pertumbuhan ekonomi nasional. Karena, rasio utang BUMN terhadap aset sekarang ini sudah mencapai 67%.

Diprediksi, utang BUMN akan sangat meningkat karena gencarnya ekspansi. Menurut Kementerian BUMN, kenaikan utang BUMN akan menembus angka Rp 5.253 triliun atau naik 8,87% dari utang tahun 2017 lalu.

Tambahan pula, sebagian besar utang BUMN bertenor jangka pendek dan kurang-lebih 60% utangnya berdenominasi valuta asing. Kalau nilai tukar rupiah terus melemah seperti sekarang, tentunya beban utang BUMN saat jatuh tempo akan semakin menggelembung.

Investasi memang sangat diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Namun, jika porsi investasi berlebihan, itu justru yang akan berefek negatif. Karena itu, upaya meningkatkan minat investor, menurut Faisal Basri, harus dibarengi dengan upaya menaikkan pendapatan negara, baik dari sektor pajak maupun nonpajak. [RAF]