Koran Sulindo – Ahli pasar keuangan memprediksi krisis ekonomi global akan semakin mendalam pada 2018. Pasalnya, tingkat pengangguran kian meningkat, juga karena inflasi dan tingkat suku bunga yang menyebabkan stagflasi global.
Merujuk kepada Wikipedia, stagflasi adalah periode ketika inflasi bertahan lama dan pada saat bersamaan pertumbuhan ekonomi menurun serta tingkat pengangguran meningkat. Dan acap kali terjadi pada masa resesi atau krisis.
Ciri-ciri stagflasi itu semakin terlihat ketika utang pemerintah di seluruh dunia melonjak tidak terkendali, kebijakan ekonomi yang tidak jelas, cadangan minyak yang sama sekali tidak bergerak, ketegangan global meningkat terutama menyangkut Republik Demokratik Rakyat Korea atau Korea Utara.
“Setiap orang karena itu perlu mewaspadai prediksi tersebut atas apa yang mungkin terjadi di masa depan,” tulis Peter Reagan, pengamat strategi pasar keuangan dari Birch Gold Group yang dimuat newsmax.com beberapa waktu lalu.
Tulisannya yang berjudul Experts Predict Global Stagflation in 2018, Reagan menuturkan, karena tertarik dengan suku bunga yang rendah, baik negara maju maupun negara berkembang dengan mudah menumpuk utang. Total utang pemerintahan seluruh dunia diperkirakan mencapai US$ 63 triliun.
Dari fakta itu, rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) global meningkat. Dengan kata lain, lebih besar pinjaman ketimbang kemampuan untuk membayar utang.
Untuk utang pemerintah federal Amerika Serikat (AS) pada 2001, misalnya, mencapai US$ 6,9 triliun. Jumlahnya terus meningkat dan mencapai lebih dari US$ 20 triliun hingga akhir 2017. Jumlah ini menyumbang 31,8% dari total utang global. Meningkat dua kali lipat dari 54% menjadi 107% terhadap PDB AS dalam periode yang sama.
Celakanya, data ekonomi serupa juga diperlihatkan negara lain. Tiongkok, misalnya, Dana Moneter Internasional (IMF) melaporkan peningkatan utang pemerintah negara tersebut meningkat sejak Agustus tahun lalu sehingga bisa memicu krisis global selanjutnya.
Data IMF akhir Desember lalu menunjukkan kredit ke sektor non-keuangan Tiongkok tidak terkendali. Karena itu, rasio kredit terhadap PDB meningkat menjadi 230% dibanding tahun sebelumnya. Itu berarti dua kali lipat dalam lima tahun terakhir.
Reagan lantas membandingkan Tiongkok dengan negara lain dalam hal peningkatan utang secara agresif untuk mendorong pertumbuhan ekonominya. Merujuk kepada catatan IMF itu, ia lantas menyimpulkan ekonomi Tiongkok berada pada jalur yang “berbahaya”. Lantas, apakah kesimpulan itu juga berlaku untuk negara-negara lain? [KRG]