Eduard Douwes Dekker, Kisah Multatuli Sebelum di Lebak

Ilustrasi

AMSTERDAM, 2 Maret 1820. Dari sebuah rumah di salah satu jalan sempit di kota itu, Korsjespoortsteeg 20—yang merupakan salah satu jalan penghubung antara kanal-kanal kota—lahirlah anak kelima pasangan Engel Douwes Dekker dan Sytske Eeltjes Klein. Kedua orangtuanya memberi nama jabang bayi itu: Eduard.

Engel Douwes Dekker adalah seorang kapten kapal dari Ameland. Meski profesi itu cukup prestise di masyarakat Belanda masa itu, keluarga ini tidak tergolong kaya. Hanya masuk golongan menengah kecil. Engel dan istrinya penganut Kristen doopsgezind, yang puritan dan teguh berpegang pada ajaran-ajaran agama. Mereka pada prinsipnya toleran, anti kekerasan. Mereka lebih taat kepada Tuhan daripada patuh kepada negara. Mereka berani memikul sendiri tanggungjawab dan bertindak dengan sadar.

Setelah menamatkan sekolah dasar, Eduard melanjutkan ke Sekolah Latin di Singel, Amsterdam. Prestasinya di sekolah sedang-sedang saja, tapi kemampuannya untuk menguasai berbagai kepandaian dalam waktu singkat cukup mengagumkan. Sesudah belajar dua atau tiga tahun di Sekolah Latin, ia pun meninggalkan sekolah itu tanpa diploma. Setelah meninggalkan sekolahnya, ia kemudian mengikuti les privat. Pengetahuannya tentang bahasa Perancis, Jerman, dan Inggris mendapat nilai baik. Di masa inilah, ia menuliskan sajak-sajaknya yang pertama.

Ia kemudian bekerja sebagai pegawai kecil di firma tekstil Van de Velde. Meski hidup lumayan berkecukupan di usia muda, tapi sebagai bawahan ia mengalami penghinaan penghinaan, yang tak pernah dilupakannya.

Di kota pelabuhan inilah Eduard menjalani masa kecil dan remajanya. “Kita bisa percaya bahwa Eduard sudah sejak dini secara impulsif bisa jatuh kasihan kepada orang yang lemah dan orang cacat, bahwa ia berani melawan ketidakadilan, bahwa hatinya mudah terbakar dan bahwa ia cenderung terlibat dalam kesulitan-kesulitan keuangan,” tulis William Frederik Hermans dalam kitab Multatuli Yang Penuh Teka-Teki. (Djambatan, 1988)

Ketika ayahnya pulang dari perjalanannya, dilihatnya perubahan kehidupan dan keadaan dalam diri Eduard. Sang ayah kemudian mengajaknya berlayar menuju Hindia-Belanda. Eduard pun menyambutnya dengan antusias. Saat itu, di Hindia-Belanda terdapat kesempatan untuk mencari kekayaan dan jabatan, juga bagi kalangan orang-orang Belanda yang tidak berpendidikan atau berpendidikan rendah.

Maka, tanggal 23 September 1838, di usia 18 tahun, Eduard berangkat ke Hindia-Belanda dengan kapal Dorothea yang dinakhodai ayahnya, dan saudaranya, Jan, sebagai juru-mudi. Perjalanan memakan waktu tiga belas minggu, dan kapal Dorothea berlabuh di Batavia, awal tahun 1839.

Hanya sebulan setelah tiba di Batavia, Eduard diterima bekerja di Algemene Regenkamer, Dewan Pengawas Keuangan. Gajinya 80 gulden sebulan, terbilang lumayan besar untuk seorang bujangan di Hindia-Belanda. Namun cara hidupnya yang “menggebu-gebu” uang segitu tidaklah cukup. Untunglah, atasannya yang puas dengan hasil kerja Eduard, segera menaikkan jabatannya, dan otomatis juga gajinya.

Di Batavia, Eduard segera jatuh cinta kepada seorang gadis, Caroline Versteegh, yang beragama Katolik. Demi cintanya, Eduard beralih agama menjadi Katolik, dan dibaptis Agustus 1839. Tapi, kisah cinta itu kandas ditengah jalan. Ayah Caroline tak mengijinkan putrinya menikah dengan Eduard.

Baca juga : Tanam Paksa, Membangun dari Darah dan Keringat Petani

Percintaannya yang gagal itu membuat Eduard mengalami depresi. Ia pun berniat meninggalkan Batavia, dan melamar jabatan kontrolir di Sumatra Barat. Lamaran itu pun segera diterima.

Ilustrasi/catawiki.nl

Bertugas di Natal, Manado, Ambon

Awal tahun 1842, Eduard yang berusia 22 tahun, tiba di Padang. Ia langsung menghadap Gubernur Sumatra Barat, Kolonel Andreas Victor Michiels. Sang gubernur yang telah medengar reputasi buruknya dalam soal berjudi dan menempeleng orang, mengirimkan Eduard ke Natal– sebuah kota kecil di Pantai Barat Sumatra yang terpencil. Ia ditugaskan sebagai kontrolir di kota terpencil itu.

Natal masa itu masih termasuk wilayah Sumatra Barat. Situasi keamanan belum lagi pulih sepenuhnya, karena Perang Paderi (1803-1838) belum lama berakhir. Begitupun, dengan penuh semangat Eduard segera berlayar ke Natal. Di dekat pantai kapal yang membawanya karam. Ia pun terpaksa berenang untuk mencapai tempat tugasnya yang baru.

Segera saja, sang kontrolir menjadi terkenal di Natal. Di kota yang masih tergolong “wild west khatulistiwa” itu ia menjalankan tugasnya dengan antusias. Ia melakukan perjalan inspeksi yang jauh dengan berkuda, mengerjakan administrasi, dan mengadili perkara. Eduard ia juga pernah menyelamatkan seekor anjing dari laut yang penuh ikan hiu. Ia memihak dua kepala dusun bumiputera melawan pemerintah kolonial Hindia-Belanda yang lebih tinggi, memulai menegakkan hukum terhadap seorang lintah darat bernama Spiess. Bahkan, ia berani menentang atasannya: Gubernur Michiels.

Di Natal pula, Eduard Douwes Dekker mulai menulis karangan pertamanya yang terkenal, dan memperlihatakan gaya multatulian, berjudul Losse Bladen uit het Dogbock van een Oud Man (Halaman-halaman Lepas dari Buku Harian Seorang Lelaki Tua).

Karya kuasi-otobiografis ini sangat menarik perhatian. Dari karya tulisnya ini bisa dilihat sikap dan karakter merdeka sang penulis. Dalam salah satu paragraf buku ini, Eduard menulis: “Bertahun-tahun aku harus meringkuk di bawah perbudakan; aku, yang lahir untuk berkuasa, sebagai permulaan harus menurut dengan patuh….biarlah!”

Di paragraf lain, Eduard menulis: “Aku menyatakan diri bebas merdeka dari segala ikatan lembaga kemasyarakatan; aku menjadi jahat, tapi kejahatan padaku berhenti jadi kejahatan. Kejahatanku terbit dari keyakinan, dari prinsip-prinsip. Jika prinsip-prinsip itu tidak murni dan keyakinanku tidak beralasan, maka kejahatan itu paling-paling… suatu kekeliruan.”

Gaya hidupnya yang aristokratis  dan bringasan, membuat ia segera mendapat julukan “Sang Lord yang eksentrik”. Menurut catatan William Frederik Hermans dalam bukunya, menjadi pejabat pemerintah di usia sangat muda (waktu itu orang baru dianggap dewasa kalau sudah mencapai usia 23 tahun), membawa hal-hal yang tidak pernah dipelajarinya di negeri Belanda. “Ia mengambil seorang gadis bumiputera untuk menemaninya di rumah dan di tempat tidur. Si Upi Keteh (nama gadis bumiputera tersebut) masih berusia 13 tahun,” tulis Hermans.

Kecenderungannya sejak di negeri Belanda terkadang kambuh lagi: menghabiskan uang di meja judi, menempeleng orang seenaknya dan berduel, tapi juga memiliki kecakapan yang tidak dimiliki pejabat lain. Bagi seorang lajang yang eksentrik dan suka berpetualang, kehidupan di Natal sebenarnya cukup mengasyikkan bagi Eduard.

Tapi, karena keceroban administrasi yang dilakukannya—kekurangan uang sebesar 2.000 gulden di kas kantor kontrolir— Eduard dipanggil menghadap Gubernur Michiels di Padang. Eduard tidak bisa mempertanggungjawabkan kekurangan dana tersebut. Akibatnya, Gubernur Micheils memberi sanksi: gajinya ditahan dan dipecat sementara. Eduard tidak boleh meninggalkan kota Padang, dan selama setahun hidup tanpa penghasilan. Sebuah pemeriksaan hukum pidana pun digelar atas kasusnya itu.

Tapi, perkara pengadilan itu berakhir tanpa hasil yang jelas. Setelah setahun lebih, pemerintah pusat Hindia Belanda memerintahkannya ke Batavia. Ia berangkat ke ibukota Hindia-Belanda dalam keadaan miskin. Ia hanya membawa beberapa barang, diantaranya: naskah dramanya yang pertama De Eerloze (Orang Tidak Terhormat) dan naskah Losse Bladen uit het Dogbock van een Oud Man, serta beberapa contoh huruf percetakan.

Di Batavia, atas bantuannya mantan atasannya, Ruloffs, ia kembali bekerja di Dinas Keuangan Hindia-Belanda. Pada masa ini pula, ia bertunangan dan kemudian menikah di Cianjur, April 1846, dengan Everdine Huberta, Barones van Wijnbergen. Meski memiliki gelar bangsawan, Everdina tidak memiliki cukup banyak kekayaan, ia hanya mempunyai “modal kecil”. Frederik Hermans mencatat sosok Everdina memiliki “Jiwa luar biasa: dia mempunya kewibawaan alamiah; dia toleran dan berhati mulia….”

Atas bantuan Ruloffs pula, Eduard bisa membayar uang yang hilang di Natal. Begitu “utangnya” lunas, Eduard menghadap Gubernur Jenderal Hindia Belanda yang baru, Jan Jacob Rochussen. Mula-mula ia ditugaskan di Purwakarta, yang termasuk wilayah Residensi Krawang. Tak lama kemudian, Mei 1846, Eduard mendapat promosi, tapi sekaligus semacam pembuangan, sebagai komis di kantor residensi Bagelen, Purworejo, sebuah tempat yang sangat terpencil di masa itu.

Dua tahun lebih, Eduard dan istrinya tinggal di Purworejo, miskin tapi jujur. Ketika Gubernur Jenderal Rochussen berkunjung ke Purworejo, ia mendapati bahwa Eduard satu-satunya pejabat yang tidak menerangi rumahnya karena tidak punya uang untuk itu. Atasannya, Residen Bagelen Von Schmidt menyebutkan dalam daftar kecakapannya bahwa kelakukan dan cara hidup Eduard baik, ia banyak kepandaiannya, rajin, hormat, tapi bebas dalam sikapnya.

Bisa jadi penilaian itu mengesankan Rochussen. Tak lama kemudian, Eduard dipromosi menjadi Sekretaris Residen Manado. Dari segi jabatan, ini jelas sebuah kemajuan besar. Tidak ada lagi kesulitan keuangan. Kehidupan dalam pergaulan kecil Eropa di Manado menyenangkan dan penuh sopan santun.

Hubungannya dengan Residen Manado, Scherius, baik sekali. Sang residen sangat senang dengan pekerjaan Eduard. Bahkan, Scherius mengusulkan kepada pemerintah kolonial Hindia-Belanda agar Eduard Douwes Dekker lah yang menggantikan posisinya sebagai Residen Manado.

Tapi, Gubernur Jenderal Hindia-Belanda yang baru, Albertus Jacobus Duymaer van Twist, menolak usulan Scherius itu, malah menunjuk C.P. Brest van Kempen sebagai Residen Manado. Sedangkan Eduard ditunjuk sebagai asisten residen di Ambon.

Awalnya, Eduard Douwes Dekker sangat puas dengan kepindahannya ke Ambon. Tapi, lambat laun, ia merasa kecewa dalam beberapa hal. Memang di masa itu, pemerintah kolonial Hindia-Belanda mendapat banyak kesulitan menghadapi berbagai pembakangan penduduk Ambon, serta merebak berbagai penyakit. Meski hubungannya dengan pejabat-pejabat lain baik sekali, tapi sikap takut dan segan sesama pejabat justru membuat tegang Eduard. Kesehatannya mundur drastis. Hanya lima bulan di Ambon, ia minta cuti untuk pulang ke Eropa, dan diluluskan pemerintah.

Lebak dan Max Havelaar

Setelah sepuluh tahun lebih berdinas di Hindia-Belanda, Eduard dan Everdine berangkat dengan kapal layar kecil dari Ambon ke negeri Belanda, Juli 1852. Kira-kira Natal tahun itu juga mereka berlabuh di Amsterdam. Dalam perjalanan itu, Eduard sempat singgah di Sint Helena, mengunjungi rumah dimana Napoleon—tokoh yang dikaguminya—menghembuskan nafas terakhir.

Di Amsterdam, Eduard dan istrinya hidup cukup mewah. Akibatnya gaji cuti lambat laun menipis. Ambisinya hidup sebagai sebagai seniman kurang membuahkan hasil. Gaya hidup Eduard yang eksentrik, suka berjudi dan pesta, membuat utang makin menumpuk. Sedangkan kebutuhan hidup makin bertambah sejak kelahiran putra mereka, Pieter Jan Constant Eduard. Utang Eduard selama masa cuti, hampir tiga tahun, ditaksir 35.000 gulden (sebagai perbandingan sekilo roti waktu itu seharga 0,10 gulden, dan gaji seorang pendeta/domine 500 gulden setahun).

Kesusahan ini memaksa Eduard memutuskan kembali bekerja di Hindia-Belanda. Tanggal 1855 Eduard dan keluarganya berlabuh di Batavia. Ia segera menghadap Gubernur Jenderal  Duymaer van Twist, di Istana Buitenzorg. “Saya sering mengundang (Eduard D. Dekker) dan berbicara dengannya. Saya merasa simpati dengannya karena kecintaannya kepada orang bumiputera. Ketika Lebak terbuka dan saya tahu keadaan penduduk di tempat itu buruk, saya berpikir bahwa ialah orang yang pantas ditugaskan di sana. Meski Dewan Hindia tidak mengusulkannya, saya mengangkatnya menjadi asisten Residen di Lebak,” kenang Duymaer van Twist.

Baca juga : Cultuurstelsel, Cara Kolonial Merampok Jawa

Sejarah kemudian mencatat, dari pengalamannya saat bertugas sebagai Asisten Residen Lebak itulah, Eduard Douwes Dekker alias Multatuli kemudian melahirkan mahakarya sastra Max Havelaar yang terkenal di seantero dunia. [Satyadarma]

*Tulisan ini pertama dimuat Juli 2017