E-Money Potensi Baru Politik Uang Pemilu 2024

(foto: istimewa)

Penggunaan uang elektronik digital seperti mata uang kripto, e-money, e-wallet saat ini bertumbuh pesat. Uang digital ini jadi pilihan karena kemudahan bertransaksi dan kecepatan dalam pemindahan dana. Penggunaan uang digital juga berpotensi disalahgunakan termasuk dalam pemilu 2024 nanti.

Menurut Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terdapat potensi politik uang atau money politic dengan menggunakan e-money dan e-wallet di tahun politik 2023 dan 2024. Untuk itu pemerintah perlu mengantisipasi penyalahgunaan teknologi tersebut.

“PPATK menilai bahwa adanya potensi money politic dengan menggunakan e-money dan e-wallet,” ujar ketua PPATK Ivan Yustiavandana, Selasa (7/11).

Bank Indonesia (BI) mencatat, pada April 2023 ada 744,59 juta unit e-money yang tersebar di seluruh Indonesia baik berupa akun digital maupun kartu. Dari jumlah tersebut, sekitar 93,79 juta unit berbasis chip dan 650,8 juta unit berbasis server. Selain itu berbagai sarana transfer dana sepeti GPN dan QRIS semakin menunjang pertumbuhan ekosistem uang digital.

Menurut Ivan, yang menjadi kerentanan penggunaan e-money dan e-wallet adalah diperbolehkannya tidak dilakukannya know your customer atau customer due diligence terhadap transaksi dengan jumlah tertentu. Misalnya e-money untuk open loop dan e-wallet tanpa registrasi.

Dengan tidak adanya informasi profil yang memadai dan terverifikasi pada e-money dan e-wallet tentunya menyulitkan otoritas, pengawas pemilu, intelijen, dan penegak hukum.

Meski rentan penyalahgunaan, pemerintah dinilai tidak harus menekan atau menghambat perkembangan teknologi finansial. Pemerintah diharap bisa selangkah lebih maju atau one step forward dari para pelaku kejahatan melalui pengayaan pengetahuan dan kapabilitas mengenai jasa keuangan berbasis teknologi.

Selain itu pemerintah perlu melakukan upaya mitigasi risiko melalui pembuatan smart regulation dan juga mendorong sektor privat untuk mengembangkan dan memanfaatkan regulatory technology.

“Salah satu kebijakan pemerintah yang responsif dan antisipatif dalam rangka mitigasi risiko terjadinya tindak pidana pencucian uang dan tindak pidana pendanaan terorisme adalah dengan menetapkan Fintech sebagai pihak pelapor,” kata Ivan.

Penetapan pihak-pihak tertentu sebagai pihak pelapor dalam rangka pencegahan dan pemberantasan tindak pidana pencucian uang memiliki konsekuensi pihak-pihak dimaksud akan memiliki dua kewajiban utama, yaitu menerapkan prinsip mengenali pengguna jasa dan menyampaikan laporan ke PPATK.

Apabila dilaksanakan secara patuh, maka akan menjadi bukti iktikad baik dan akan melindungi pihak pelapor dari segala bentuk upaya pencucian uang dan pendanaan terorisme yang dilakukan oleh pelaku kejahatan [PAR]