Koran Sulindo – Nasib kartu tanda penduduk elektronik (e-KTP) seperti tak putus dirundung malang, bahkan sejak digagas proyek pengadaannya sekitar sewindu lalu. Kasus korupsi dalam proyek pengadaan e-KTP itu sudah membawa 5 orang menjadi pesakitan. Dan jumlah itu kemungkinan besar bertambah mengingat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus menelusuri jejak-jejak yang tertinggal, baik dari proses penyidikan hingga pengadilan.
Di luar kasus terbesar penggarongan uang negara sepanjang usia republik itu, program untuk menciptakan sistem terpusat dalam pendaftaran penduduk itu juga tampaknya tak pernah terurus secara tertib, terutama administrasinya. Proyek e-KTP sebenarnya bisa dikatakan mangkrak, seperti sebutlah proyek Hambalang atau pembangkit listrik PLN di berbagai daerah warisan pemerintahan lalu, namun dipaksakan terus berjalan.
Hanya sebagai contoh, setahun lalu, 18 Maret 2017, ratusan e-KTP yang masih masih berlaku ditemukan pemulung di tempat sampah bekas Kantor Dinas Kependudukan dan Catatan Sipil (Disdukcapil) Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan. Ratusan e-KTP itu masih aktif hingga 2018, adapula yang berlaku seumur hidup.
Sebelumnya, pada 3 Februari 2017, Bea dan Cukai menahan paket berisi 36 lembar KTP, 32 lembar kartu NPWP, satu buku tabungan, dan sebuah ATM. E-KTP dalam paket itu adalah KTP warga negara indonesia dan bentuknya persis yang dikeluarkan Ditjen Dukcapil, Kementerian Dalam Negteri.
Terakhir pekan lalu, sebanyak 1 dus dan 1/4 seperempat karung, sekitar 6 ribu keping e-KTP, jatuh di Jalan Raya Salabenda Semplak, Kabupaten Bogor. Sebelum ramai di media massa, di media sosial beredar video yang menunjukkan e-KTP yang tercecer itu. Alamat yang tertera di sana e-KTP warga Sumatera Selatan.
“KTP-el yang tercecer tersebut adalah KTP-el rusak atau invalid dan diangkut dari gudang penyimpanan sementara di Pasar Minggu ke Gudang Kemendagri di Semplak Bogor,” kata Dirjen Dukcapil, Kemendagri, Zudan Arief Fakrulloh, di Jakarta, Minggu, (27/5/2018), seperti dikutip kemendagri.go.id.
Namun Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo sudah berang terlebih dahulu. Tjahjo merasa ada unsur kesengajaan dalam kasus tersebut dan mengancam menghukum pejabat Ditjen Dukcapil yang berwenang atas kasus tercecer itu.
“Saya berpendapat sebagai Mendagri ini sudah bukan kelalaian tapi sudah unsur kesengajaan,” kata Tjahjo, di Jakarta, Minggu (27/5/2018), seperti dikutip kemendagri.go.id.
Komisi II DPR RI yang melakukan inspeksi mendadak ke gudang arsip Kemendagri di Bogor, sehari setelahnya, menemukan sebanyak 805 ribu e-KTP rusak sejak 2010 hanya digeletakkan begitu saja tak dimusnahkan. Sedang e-KTP yang tercecer tadi hasil pencetakan 2012-2013.
Kapolres Bogor AKBP Andi M Dicky Pastika memang memastikan belum ada dugaan pelanggaran hukum dalam kasus ini, namun Kemendagri langsung memutasi Kepala Sub Bagian Rumah Tangga Ditjen Dukcapil yang bertanggung jawab atas pemindahan e-KTP rusak itu.
“Pidana tidak ada. Kasusnya sudah selesai. Yang jelas penanggung jawab akan dimutasi, kami belum tentukan ke mana,” kata Dirjen Dukcapil.
Rawan Politisasi
Insiden Semplak itu mungkin berbuntut panjang tapi mungkin juga tidak seperti kasus-kasus sebelumnya. Namun Perludem (Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi) menilai insiden itu bisa merugikan penyelenggara Pemilu karena rawan dipolitisasi.
“KTP elektronik adalah instrumen yang sangat vital dalam penyelenggaraan pemilu dan pilkada, di mana melibatkan aktor politik… ini bisa menimbulkan spekulasi dan politisasi isu oleh aktor politik yang berkepentingan,” kata Direktur Eksekutif Perludem, Titi Anggraini, seusai diskusi 20 Tahun Reformasi Pemilu, di Jakarta, pekan lalu.
e-KTP menjadi basis orang bisa terdaftar sebagai pemilih atau tidak. e-KTP juga berperan sebagai alat untuk menggunakan hak pilih kalau tidak terdaftar dalam daftar pemilih tetap (DPT) di Komisi Penyelenggara Pemilu (KPU).
“Petugas penyelenggaraan pemilu tidak punya alat untuk mevalidasi KTP elektronik yang valid dan invalid. Mereka punya keterbatasan dalam memastikan kecacatan atau ketidakakuratan fisik e-KTP,” kata Titi.
Soal validasi ini, ternyata bukan dialami petugas penyelenggara pemilu di lapangan saja, tapi juga petugas di Pusat e-KTP di Kemendagri.
Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Bob Hardian, mengatakan dari 150 juta keping e-KTP yang sudah jadi, baru 7,4 juta keping yang sudah diverifikasi. Proses verifikasi penting untuk memastikan kebenaran data pada setiap keping yang tertanam di e-KTP itu.
“Proses ini tidak dilakukan,” kata Bob, saat bersaksi untuk terdakwa Setya Novanto, di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 12 Maret 2018 lalu.
Sejak dalam Pikiran
Proyek pengadaan e-KTP ini sebenarnya digagas jauh sebelum Gamawan Fauzi menjadi Mendagri pada 2009. Dari penelusuran Koran Sulindo, pada awalnya proyek ini ingin mencontoh KTP Malaysia yang bisa digunakan sebagai kartu asuransi, kartu perbankan, asuransi, dan hampir apa saja. Karena jumlah penduduk negeri jiran itu kecil dibandingkan Indonesia, proyek e-KTP di sana hanya menghabiskan anggaran sekitar Rp 6o miliar.
Tim studi banding Ditjen Dukcapil beserta Mendagri saat itu, Mohammad Ma`ruf, menghitung dana yang dibutuhkan di sini sekitar 10 kali lipatnya, atau sekitar Rp600 miliar. Karena sakit Ma`ruf diganti Mardiyanto, saat itu Gubernur Jawa Tengah, pada 28 Agustus 2007.
Namun sebelum itu tim sempat melakukan kunjungan kerja ke Jerman dan Jepang, bahkan sudah terpikir dana pengadaan KTP itu kelak bisa diupayakan dari pinjaman luar negeri lunak dari lembaga asal negeri yang dikunjungi tersebut.
Proses itu terus berlanjut, walau lambat, hingga Mendagri dijabat Gamawan pada periode kedua Kepresidenan Susilo Bambang Yudhoyono. Di masa Gamawan inilah proyek e-KTP gol, namun pembiayaan dialihkan ke APBN RI, bukan utang luar negeri, dan secara ajaib jumlah dana yang dibutuhkan menggelembung hingga sekitar 10 kali lipat menjadi Rp 6 triliun.
Dalam sidang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, 1 Februari 2018 lalu kronologi proyek ini diperkuat detilnya oleh pegawai Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP), Setya Budi Arijanta.
Sejak awal Setya sudah meyakini proyek nasional pengadaan e-KTP bakal bermasalah. Ia yang ditugasi lembaganya mendampingi proses lelang proyek e-KTP di Kemendagri pada 2011 sudah bisa meramalkan terjadinya kerugian negara.
Belakangan dalam surat dakwaan Jaksa Penuntut Umum KPK jumlah kerugian negara akibat kasus ini sebesar Rp 2,3 triliun. Angka ini diduga berasal dari penggelembungan (mark up) harga barang dan jasa.
Menurut Setya, LKPP melalui surat resmi telah meminta Gamawan menghentikan proses lelang dalam proyek pengadaan e-KTP. LKPP menemukan fakta Kemendagri hanya menggunakan sistem informasi pengadaan barang dan jasa secara elektronik (e-procurement) pada tahap penawaran. Sementara proses lanjutan lainnya dilakukan secara manual.
Gamawan menolak, malah balik mengatakan sistem LKPP yang buruk.
Menurut LKPP, pemenang lelang e-KTP sudah ditetapkan dan menandatangani kontrak ketika masih ada proses sanggah banding. Ini jelas-jelas melanggar aturan pemerintah soal pengadaan barang dan jasa.
Selain itu, Gamawan tetap menggabungkan paket pekerjaan pengadaan 9 item dalam proyek e-KTP menjadi satu. Padahal LKPP menyarankan masing-masing paket pekerjaan dilakukan terpisah.
Konflik LKPP versus Gamawan itu dibawa ke kantor wakil presiden, saat itu Boediono.
LKPP tetap pada rekomendasi awal bahwa proyek harus dihentikan. Namun Deputi Wapres, Sofyan Djalil, meminta proyek tetap dilaksanakan. LKPP akhirnya menarik diri dari pendampingan karena rekomendasi tidak dijalankan.
“Kalau kami tidak dituruti, biasanya bertemunya di sini, di pengadilan,” kata Setya.
Setya dan Agus Rahardjo (kini Ketua KPK) yang saat itu menjabat sebagai Ketua LKPP dipanggil dan disidang Sofyan Djalil.
Saat ditemui seusai sidang Tipikor, Setya mengatakan perintah untuk menyidang LKPP oleh kantor Wapres itu berdasarkan surat yang berasal dari Presiden SBY, yang meminta Boediono menyelesaikan masalah e-KTP itu. Boediono menunjuk Sofyan Djalil.
“Tapi surat itu tidak boleh saya lihat,” kata Setya.
Akhirnya pemerintahan SBY terus melanjutkan proyek e-KTP itu dan akhirnya memang berakhir di pengadilan. Sejak dalam pikiran, proyek e-KTP ini memang diselenggarakan seperti proyek Hambalang, akan mangkrak kemudian hari. Namun karena tak ada keputusan politik apa-apa dari pemerintahan sekarang, proyek ini tetap diteruskan sebisanya dan apa adanya. [Didit Sidarta]