Duterte Ingin Tiru Soeharto Dalam Membantai Komunis di Filipina

Presiden Rodrigo Duterte [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Pemerintah Filipina di bawah Presiden Rodrigo Duterte rupanya sangat terkesan dengan sikap rezim fasis militer Soeharto di Indonesia ketika berkuasa. Terutama terkesan dengan sikap Soeharto yang mampu membantai ratusan ribu hingga jutaan rakyat dan kader Partai Komunis Indonesia (PKI) pada 1965 hingga 1966.

Karena itu, seperti yang dilaporkan inquirer.net pada Senin (24/12), Duterte ingin meniru Soeharto dalam membantai kaum komunis itu. Duterte mengungkapkannya ketika mengunjungi markas Divisi Infanteri ke-10, Angkatan Darat Filipina di Mawab, Compostela Valley.

Kata Duterte, harus ada perubahan taktik dalam memerangi komunis di daerah itu dengan meniru kampanye Soeharto ketika menghancurkan PKI pada 1965 hingga 1966. Kampanye Soeharto pada tahun itu mengkampanyekan “Orde Baru” dengan tindakan membunuhi rakyat, anggota PKI, kaum nasionalis radikal dan kaum tionghoa.

Setelah pembantaian itu dan Soeharto mendapat kekuasaan, maka PKI yang ketika itu menjadi salah satu partai komunis terbesar di dunia dilarang selama lebih dari 30 tahun. Pejabat Indonesia selalu berdalih dan membenarkan pembantaian itu sebagai sesuatu yang diperlukan untuk menghadapi PKI.

Akan tetapi, berdasarkan penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Indonesia menemukan telah terjadi pelanggaran berat hak asasi manusia dalam peristiwa 1965 hingga 1966. Kembali pada sikap Duterte. Ia dalam kunjungannya itu mengingatkan tentara untuk “menghancurkan” komunis di Filipina.

Caranya bukan dengan melawan melainkan menghancurkan dan membunuhi mereka, kata Duterte. Terlebih Duterte sama sekali tidang menganggap deklarasi gencatan senjata yang diumumkan Tentara Rakyat Baru (NPA), sayap militer Partai Komunis Filipina. Deklarasi gencatan senjata itu berkaitan dengan hari libur Natal 2018.

“Kami siap untuk apa pun. Hancurkan Kiri,” kata Duterte sambil menambahkan juga tak lupa untuk menghancurkan kelompok Abu Sayyaf tanpa belas kasihan.

Dikatakan Duterte, pihaknya akan bertanggung jawab atas pembantaian itu. Tentara Filipina harus berani membunuh mereka, bukan untuk ditangkap. Itu sebabnya, tentara diberikan senjata. Ia juga menyinggung tentang perpanjangan darurat militer di Mindanao. Itu sebagai cara untuk menjaga pengaruh NPA terhadap masyarakat adat.

Kebijakan AS
Apa yang diumumkan Duterte itu mengingatkan kita pada kebijakan Amerika Serikat dalam menghadang komunis setelah Perang Dunia II. Suar Suroso dalam Akar dan Dalang menjelaskan, imperialis AS membuat kebijakan menghadang laju komunis yang pertama-tama ditujukan di Eropa dan Jepang. Tetapi, segera meluas ke negara-negara lainnya termasuk Indonesia dan juga Vietnam.

Kebijakan penghadangan laju komunisme itu disebut sebagai the policy of containment yang diterbitkan pemerintah AS pada 1946. Khusus soal pembantaian kaum komunis Indonesia pada 1965 hingga 1966, Suar menyinggung peran CIA, lembaga intelijen AS.

Mengutip perkataan bekas pejabat CIA, Ralph Mcghee, penulis buku Deadly Deceits-My 25 Years in the CIA yang menulis sejumlah artikel pada 1980 hingga awal 1990, Suar menyebutkan, CIA dan Kementerian Luar Negeri AS terlibat dalam menyusun nama-nama orang PKI yang diserahkan kepada tentara. Itu kemudian dipergunakan dalam pembantaian 1965 hingga 1966.

Akan tetapi, tentu saja berbeda pula hasil yang dicapai AS ketika menerapkan kebijakan serupa di Vietnam periode 1950 hingga 1960. Ketika itu, pemerintah AS dan Vietnam Selatan mengisolasi penduduk pedesaan agar terlepas dari pengaruh komunis. Persis seperti yang dilakukan Duterte di Mindanao saat ini.

Namun, strategi AS itu terbukti gagal, ditambah lagi Presiden Vietnam Selatan berhasil digulingkan pada 1963. Peristiwa ini pula yang memicu AS menggunakan kekuatan militernya secara langsung dalam menghadapi kaum komunis di Vietnam.

Karena itu, Duterte bisa dipastikan akan kesulitan menghadapi kaum komunis Filipina jika merujuk pengalaman Soeharto di Indonesia. Terlebih PKI waktu itu sama sekali tidak mengobarkan perang rakyat tahan lama karena tidak memiliki sayap militer. Berbeda dengan Vietnam dan Filipina saat ini yang meniru perang rakyat tahan lama ketika revolusi di bawah Ma Tse Tung sedang berkobar di Tiongkok. Pertanyaannya: mampukah Duterte? [KRG]