Ancaman resesi ekonomi dunia kian mendekati kenyataan, secara global inflasi meningkat dengan tajam bahkan sudah mendekati dua digit. Prediksi akan terjadi resesi sudah disampaikan oleh berbagai negara dan lembaga keuangan internasional beberapa tahun lalu.
Di Amerika Serikat (AS) inflasi kembali melesat di bulan Maret. Inflasi berdasarkan consumer price index (CPI) di Amerika Serikat (AS) kini sudah menembus 8,5% (year-on-year/yoy) di bulan Maret, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 7,9% (yoy). Inflasi tersebut merupakan yang tertinggi sejak Desember 1981. Situasi ini semakin mendesak The Fed (bank sentral AS) untuk menaikkan suku bunga lebih agresif lagi di tahun ini.
Namun, langkah The Fed tersebut diperkirakan akan membuat perekonomian AS kembali mengalami resesi. Tidak hanya satu, tetapi banyak ekonom, analis, taipan, hingga mantan pejabat elit The Fed memberikan prediksi yang sama.
Dalam survei terhadap lebih dari 100 ekonom pada periode 4 – 8 April lalu, hasilnya diprediksi perekonomian Amerika Serikat akan mengalami resesi dalam 24 bulan ke depan, dengan probabilitas sebesar 40%. Sementara survei yang dilakukan Wall Street Journal menunjukkan resesi akan terjadi dalam 12 bulan ke depan dengan probabilitas sebesar 28%.
Inflasi Uni Eropa capai 7,5 persen.
Tak hanya di Amerika Serikat, Inflasi di Eropa juga melonjak memecahkan rekor baru. Harga barang-barang konsumen di 19 negara yang menggunakan mata uang euro naik dengan tingkat tahunan 7,5 persen di bulan Maret, menurut badan statistik Uni Eropa, Eurostat.
Angka inflasi terbaru ini mengalahkan rekor tertinggi bulan lalu ketika mencapai 5,9 persen, bulan kelima berturut-turut inflasi di zona euro mencatat rekor tingkat inflasi. Rekor baru ini membawa inflasi ke level tertinggi sejak pencatatan dalam euro dimulai pada tahun 1997.
Kenaikan harga barang-barang konsumen adalah masalah yang berkembang di seluruh dunia. Akibatnya orang semakin sulit membeli segala sesuatu, mulai dari bahan makanan hingga membayar tagihan listrik.
Melonjaknya biaya energi adalah faktor utama yang mendorong inflasi di Eropa. Harga energi melonjak 44,7 presen bulan lalu, kata Eurostat, naik dari 32 persen di Februari.
Harga minyak dan gas melonjak karena meningkatnya permintaan dari ekonomi yang baru pulih dari kedalaman jurang pandemi Covid-19. Inflasi migas kemudian melonjak lebih tinggi setelah Rusia, produsen minyak dan gas utama mengobarkan perang di Ukraina.
Gejolak ekonomi ini membuat masyarakat di Eropa mengeluhkan kenaikan harga-harga kebutuhan hidup. Contohnya di Jerman, penduduk menyampaikan semua harga barang terus naik, semua kebutuhan menjadi mahal.
Kenaikan harga terjadi hampir di semua jenis kebutuhan. Biaya makanan, alkohol, dan tembakau naik 5 persen, harga barang-barang seperti pakaian, peralatan, mobil, komputer, dan buku naik 3,4 persen dan ongkos layanan naik 2,7 persen.
Gejolak ekonomi Indonesia
Kenaikan harga kebutuhan hidup di Indonesia sudah mulai menajam sejak pertengahan tahun 2021 lalu. Kenaikan itu dipicu naiknya harga bahan pangan seperti minyak goreng, kedelai, telur dan daging. Selain itu harga kebutuhan hidup seperti gas elpiji, bahan bakar kendaraan serta tarif layanan umum juga mengalami kenaikan.
Kebijakan pemerintah menaikkan pungutan pajak dengan menaikkan PPN menjadi 11 persen turut memicu naiknya pengeluaran masyarakat untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Dalam Asian Development Outlook 2022 edisi April 2022, Bank Pembangunan Asia (ADB) memproyeksikan inflasi indeks harga konsumen (IHK) Indonesia akan naik menjadi rata-rata 3,6% sepanjang tahun 2022.
Angka tersebut lebih tinggi dari proyeksi ADB Desember 2021, yang sempat memperkirakan rata-rata inflasi IHK Indonesia tahun ini berada di level 2,7%.
“Tekanan inflasi dapat meningkat lebih lanjut tahun ini di tengah perang (Rusia-Ukraina) yang berkepanjangan,” tulis ADB dalam publikasinya pada tanggal 6 April.
Proyeksi ADB tersebut masih berada dalam kisaran target inflasi Bank Indonesia (BI) tahun 2022 yang ditetapkan sebesar 3%±1%. Secara keseluruhan, inflasi rata-rata di negara berkembang Asia diproyeksikan mencapai 3,7% pada tahun 2022, lebih tinggi 1 poin dari proyeksi sebelumnya.
Selain gejolak perekonomian masyarakat, keuangan negara juga diprediksi defisit pada tahun 2022-2023. Hal itu tertuang dalam rancangan anggaran belanja dan pendapatan negara untuk tahun 2023 yang dirancang defisit hingga 500 triliun rupiah.
Beban lain adalah pembayaran utang luar negeri dalam nominasi dolar AS dan mata uang asing lainnya. Tingginya angka pembayaran utang luar negeri turut melemahkan nilai mata uang rupiah dan dapat meningkatkan laju inflasi ke titik lebih tinggi.
Kondisi ini akan lebih mengkhawatirkan, apalagi beban APBN meningkat dengan pos anggaran untuk persiapan pemilu 2024 dan pembangunan Ibu Kota Negara Nusantara dengan porsi lebih dari 100 triliun rupiah hingga tahun 2023.
Dengan perkiraan pendapatan negara mencapai 1.800 triliun rupiah dan kebutuhan belanja mencapai 2.500 triliun rupiah maka defisit akan semakin besar jika tidak dilakukan pengetatan anggaran secara signifikan.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pentingnya pengalokasian anggaran untuk membuka lapangan kerja baru dengan pembangunan sektor padat karya seperti pertanian, UMKM dan industri manufaktur. Terbukanya lapangan kerja baru menjadi faktor penting mempertahankan daya beli masyarakat dan meningkatnya perekonomian negara.
Jika hal tersebut tidak terjadi maka niscaya mencetak utang baru akan selalu jadi solusi penambal defisit dan semakin membebani masyarakat dengan peningkatan pajak dan biaya layanan publik. [DES]