Djarot dan Sihar ketika meminta restu dari ke tokoh sepuh Pujakesuma Sumatera Utara, Hj. Chairiah Sudjono Giatmo, 12 Februari 2018.

Koran Sulindo – Paguyuban Keluarga Besar Putra-putri Jawa Kelahiran Sumatera (PKB Pujakesuma) Sumatera Utara sepakat mendukung Djarot Saiful Hidayat dan Sihar Sitorus sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara. Dukungan itu disampaikan Ketua Dewan Pembina Pimpinan Pusat PKB Pujakesuma Prof. Dr. H. Darmono, M.E.D. di Jalan STM-Medan, Jumat (19/4). Dukungan tersebut juga menjadi keputusan resmi, dengan Surat Keputusan Nomor : 001/Kpts/Dewan Pembina/2018 tentang Dukungan terhadap Calon Gubernur Sumut 2018-2023 tertanggal 19 April 2018.

Hadir dalam kesempatan itu Djarot Saiful Hidayat. Djarot mengingatkan bahwa kita semua bersaudara, sebangsa-setanah-air. “Di Sumatera ada banyak suku, banyak agama, banyak adat-istiadat, banyak bahasa, dan banyak kebudayaan. Jika dirangkum, itulah yang disebut Bhinneka Tunggal Ika,” tutur Djarot.

Sebelumnya, pada Kamis kemarin (19/4), Djarot menghadiri konsolidasi dan silaturahmi PKB Pujakesuma. Dalam acara ini, Djarot bertemu dengan beberapa tokoh masyarakat, termasuk dengan Sekretaris PKB Pujakesuma, Abdiyanto.

“Di sini ada Mas Abdiyanto, Rektor Efarina, yang pendirinya Pak J.R. Saragih. Terima kasih. Kemarin, Pak J.R. juga menyampaikan dukungannya kepada kami,” kata Djarot dalam kesempatan itu, sebagaimana dikutip tribunnews.com, Kamis.

Lebih lanjut Djarot mengatakan, kepindahannya dari DKI Jakarta ke Sumatera Utara adalah untuk berjihad. “Saya ingin berjihad melawan kemiskinan, korupsi, kebodohan, narkoba, infrastruktur yang rusak,” ujarnya.

Provinsi Suamtera Utara memang sedang dibelit banyak masalah. Se-Pulau Sumatera, provinsi ini berada di urutan paling atas untuk jumlah penduduk miskinnya. Dari 10 provinsi yang ada di Pulau Sumatera, Provinsi Sumatera Utara-lah yang penduduk miskinnya paling banyak.

Untuk seluruh Indonesia, jumlah orang miskin di provinsi ini menempati posisi 5 besar. Data Badan Pusat Statistik per September 2017 menunjukkan, ada lebih dari 1,3 juta penduduk miskin di Sumatera Utara, tepatnya 1.326.000 orang atau 9,28% dari jumlah penduduknya yang lebih dari 14 juta jiwa.

Karena itu pula, kasus gizi buruk atau kasus anak yang kekurangan gizi sangat banyak di provinsi ini. Pada pertengahan Maret 2018 lalu, misalnya, banyak media massa memberitakan adanya 48 kasus anak di bawah lima tahun yang mengalami kekurangan gizi kronis di Kabupaten Langkat.  Sebelumnya, selama tahun 2016, di Kota Medan saja sebagai ibu kota Provinsi Sumatera Utara ditemukan 120 kasus anak menderita gizi buruk. Setahun sebelumnya, sepanjang tahun 2015, se-Provinsi Sumatera Utara ada 1.152 kasus anak di bawah usia lima tahun kekurangan gizi.

Generasi mudanya juga banyak putus sekolah. Data dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Tahun 2016/2017, di Provinsi Sumatera Utara ada 15.832 anak yang tak bisa melanjutkan sekolahnya, mulai dari sekolah dasar (SD), sekolah menengah pertama (SMP), sekolah menengah atas (SMA), dan sekolah menengah kejuruan (SMK).

Yang putus sekolah di tingkat SD ada 4.075 anak; di tingkat SMP ada 2.284 anak; di tingkat SMA ada 3.319 anak, dan; di tingkat SMK ada 6.154 anak. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di Provinsi Sumatera Utara pada tahun itu adalah 67,92%. Jadi, ada 32,08% anak usia sekolah di Sumatera Utara yang tidak mendapat akses ke jenjang pendidikan formal.

Yang juga memiriskan hati adalah maraknya praktik jual-beli jabatan di Sumatera Utara, yang juga pernah sedikit disinggung Djarot dalam sebuah acara di stasiun televisi swasta nasional, pertengahan April 2018 lalu. Karena praktik haram yang merusak inilah  kemudian akronim Sumatera Utara, yakni Sumut, ada yang memelesetkan kepanjangannya menjadi “Semua Urusan Memakai Uang Tunai”. Menyedihkan, memang. Tapi, itulah yang sebenarnya terjadi dan melanda Sumut dalam berbagai jenjang kehidupan masyarakatnya.

Tak sedikit pemangku kekuasaan atau pejabat di Sumatera Utara yang menganggap jabatan bukan lagi amanah untuk melayani masyarakat atau warga, tapi lebih dimanfaarkan untuk menggemukkan pundi-pundi tabungan mereka. Dan, fenomena ini bukan lagi rahasia.

Pada tahun 2013, misalnya, mencuat berita adanya praktik jual-beli jabatan kepala SKPD (satuan kerja perangkat daerah, yang dulu dikenal dengan istilah “kepala dinas”) dengan nilai mencapai Rp 45 miliar. Soal ini juga mencuat lagi di tahun 2015, meskipun sudah ada mekanisme lelang jabatan. Lalu, pada Januari 2017 lalu, Pemuda Muhammadiyah mengungkapkan hasil penelitiannya tentang praktik jual-beli jabatan di lima pemerintah provinsi, termasuk Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Hasilnya antara lain memperlihatkan masih banyaknya praktik jual-beli jabatan di Sumatera Utara. Bahkan, penelitian itu juga menemukan, jabatan yang juga diperjualbelikan itu adalah jabatan kepala sekolah dan rektor perguruan tinggi negeri.

Sungguh miris. Lembaga pendidikan formal sebagai salah satu pusat keunggulan bangsa sudah dicemari praktik kotor dan jahat itu. Di Provinsi Sumatera Utara, “tarif” yang dikenakan untuk menjadi kepala sekolah atau rektor adalah Rp 50 juta sampai Rp 100 juta. Akan halnya untuk menjadi kepala SKPD dipasang harga Rp 300 juta sampai Rp 400 juta. Transaksi haram yang dilakukan sebelum menjadi pejabat seperti itu tentu akan berdampak pada kehidupan masyarakat banyak di Sumatera Utara, termasuk membuat pelayanan publik semakin buruk. [RAF]