Koran Sulindo – Perang saudara yang berkecamuk di Aleppo, Suriah, sejak 2012 akhirnya reda juga. Para pihak yang bertikai sepakat untuk gencatan senjata pada 15 Desember 2016. Kota terbesar di Suriah itu kini dikuasai tentara yang loyal kepada pemerintah di bawah Presiden Bashar Al-Assad. Perang bertahun-tahun itu menyisakan duka kemanusiaan. Ribuan orang tewas.
Kota ini rusak parah. Kota ini dulu adalah daerah tujuan wisata, warisan dunia versi Unesco, tak berbekas sama sekali. Tak ada lagi masjid berusia ratusan tahun. Tak ada lagi benteng yang berdiri pada abad ke-13 itu. Perang menyisakan “kengerian”. Hanya ada debu dan kesepian. Aleppo kini adalah kota mati.
Sebelum perang, populasi pusat industri dan keuangan itu 2,3 juta jiwa. Ketika pemberontakan terhadap Assad meletus pada 2011, tidak ada protes dan kekerasan di Aleppo. Tidak seperti kota-kota lainnya. Namun mendadak ia menjadi area pertempuran utama pada 2012. Pasukan pemberontak berhasil mengusir pasukan pemerintah. Dan serangan menjadi tanda: perang saudara baru saja dimulai.
Semenjak menjadi medan pertempuran utama, kota ini terbelah. Di bagian timur, dikuasai pasukan pemberontak. Bagian barat dikuasai pasukan pemerintah. Selang empat tahun, Aleppo benar-benar jadi ajang perang.
Terakhir, pasukan pemerintah meningkatkan serangannya ke kota ini sejak November lalu. Pasukan pemberontak terpojok. Pasukan pemerintah berhasil menguasai Aleppo pertengahan Desember 2016.
Assad mendapat dukungan dari Rusia, milisi Syiah, termasuk dari pejuang Iran, Irak, Afghanistan, Lebanon, dan Pakistan. Sementara pasukan pemberontak mendapat dukungan dari Amerika Serikat, Arab Saudi, dan Turki. Kelompok garis keras seperti Jabhat Al-Nusra atau Front Al-Nusra juga ikut di barisan kaum pemberontak.
Barat Munafik
Assad menyebut perebutan kota itu dari tangan teroris sebagai keberhasilan. Di sisi lain pemimpin dan media Barat mengatakan itu sebagai sebuah kekhawatiran bagi warga sipil. Assad heran ketika pemimpin dan media Barat tidak melihat sebaliknya ketika para teroris itu membunuhi warga sipil dan menghancurkan berbagai warisan-warisan kebudayaan yang ada di Suriah. Assad karena itu mengecam kemunafikan yang ditunjukkan pemimpin dan media Barat itu.
Kendati kedua belah pihak sepakat gencatan senjata, sebagian kalangan meragukan kesepakatan itu akan langgeng. Tak lain karena dalam pelaksanaannya terlalu banyak pihak yang terlibat baik di dalam negeri maupun luar negeri. Padahal kelompok-kelompok yang terlibat ini mungkin saling membenci dan ingin membunuh antara satu dengan yang lain. Mereka memiliki agenda sendiri-sendiri.
Selanjutnya dari kesepakatan gencatan senjata itu adalah mengevakuasi warga sipil dari Aleppo. Rencananya akan melewati Turki dan Rusia. Seharusnya itu berlangsung pada 14 Desember lalu. Namun gagal. Pertempuran kedua belah pihak kembali terjadi, dan nampaknya sulit dihentikan lagi.
Laporan BBC menyebutkan, evakuasi warga sipil gagal karena pemberontak dituduh gagal menghormati kesepakatan gencatan senjata. Setidaknya enam ribu warga sipil dan kelompok pemberontak disebut telah meninggalkan Aleppo sejak pasukan pemerintah berhasil menduduki kota tersebut. Namun, PBB meyakini sekitar 50 ribu orang masih terjebak di kota itu.
Front Al-Nusra salah satu kelompok yang berada di barisan pemberontak setuju agar orang-orang yang terluka diungsikan dari Foua dan Kefraya. Jumlah populasi di kedua kota ini mencapai 20 ribu jiwa. Sebagian pihak bingung ketika evakuasi terhadap warga sipil dari Aleppo itu berhenti pada 16 Desember lalu. Rusia, sekutu terdekat Assad, menyebutkan evakuasi telah selesai. Semua warga sipil dan pemberontak telah dievakuasi dan total berjumlah 9.500 jiwa.
Pejabat militer Rusia Sergey Rudskoy mengatakan, beberapa gudang di Aleppo timur kini telah diisi dengan makanan dan perlengkapan lainnya. Dengan demikian, pembebasan Aleppo timur sudah selesai. Semua anak-anak dan perempuan telah dievakuasi. Hanya kelompok jihadis saja yang masih tinggal. Bahkan pasukan pemberontak yang masih tinggal di kota itu tetap melakukan perlawanan dengan menembaki pasukan pemerintah.
Pernyataan Rusia itu berbeda dengan yang disampaikan pemerintah Turki, bahwa masih banyak warga sipil yang belum dievakuasi dari Aleppo. Situasi demikian menjadi berbahaya bagi kelompok pemberontak karena jumlahnya jauh berkurang setelah dievakuasi. Ditambah lagi PBB mengaku memiliki bukti bahwa pasukan pemerintah telah menembak mati 82 warga sipil. Duta Besar AS untuk PBB Samantha Power lalu menggambarkan kejadian tersebut mirip dengan genosida yang terjadi di Rwanda pada 1994. Sebuah perbandingan yang disebut tidak masuk akal.
Evakuasi Ditangguhkan
Sementara itu, kantor berita AFP melaporkan, penangguhan evakuasi lantaran kelompok pemberontak melanggar kesepakatan gencatan bersenjata. Bahkan media milik pemerintah Suriah menyebutkan pemberontak mencoba menyelundupkan tawanan dan senjata ketika mereka meninggalkan Aleppo.
“Masih banyak perempuan, anak-anak dan bayi yang perlu dievakuasi dari Aleppo. Masih tingginya jumlah perempuan dan bayi – balita – yang perlu keluar,” kata pejabat resmi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) Hoff seperti dikutip BBC pada Jumat (16/12). “Dengan pembatalan evakuasi itu, warga sipil harus kembali ke rumah mereka dan ini menjadi perhatian kami. Kami mengerti warga menjadi putus asa karena itu.”
Utusan PBB untuk Suriah Staffan de Mistura pada Kamis (15/12) mengatakan, ada sekitar 50 ribu orang termasuk 40 ribu warga sipil yang tinggal di Aleppo timur dalam keadaan menderita.
Apa yang terjadi di Suriah mendapat kecaman dari seluruh dunia. Menteri Luar Negeri AS John Kerry, misalnya, menuduh pemerintah Suriah melakukan pembantaian di Aleppo. Malaysia dan Turki juga menyampaikan protes yang sama tentang kekerasan terhadap warga sipil di Suriah. Kedua negara ini mengutuk pembantaian warga sipil itu. Mereka mendukung kaum oposisi di Suriah.
Suriah dan Rusia tentu menolak tuduhan tersebut. Apalagi mereka tidak pernah menargetkan warga sipil ketika menyerang Aleppo timur. Presiden Rusia Vladimir Putin menyerukan semua pihak menghormati gencatan senjata yang telah disepakati. “Akan ada putaran perundingan damai baru antara pemerintah Suriah dan pemberontak di Kazakhstan,” kata Putin.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, pertanyaannya kini, mungkinkah ada perdamaian di Suriah? Dengan bantuan Rusia, pasukan pemerintah kini hampir menguasai seluruh wilayah yang dulu dikuasai pemberontak di Aleppo timur. Namun perdamaian untuk Suriah nampaknya masih jauh panggang dari api. [Kristian Ginting]