Koran Sulindo – Kasus dugaan korupsi pengadaan helikopter angkut berat AgustaWestland AW-101 Merlin, yang diduga menyebabkan kerugian negara sekitar Rp220 miliar, menjadi kasus pertama di lingkungan TNI yang ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
“Sama-sama kita mengetahui pengadaan ini menjadi trending topic dan saya dipanggil presiden. Presiden menanyakan: Kenapa terjadi seperti ini?” kata Panglima TNI Gatot Nurmantyo, dalam konferensi pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat (26/5), seperti dikutip Antaranews.com.
Jumpa pers juga dihadiri Kepala Staf TNI AU Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal TNI Wuryanto, dan Ketua KPK, Agus Rahardjo.
Unit helikopter AW-101 Merlin dengan cat loreng kamuflase TNI AU juga ternyata diam-diam sudah dihadirkan di Pangkalan Udara Utama TNI AU Halim Perdanakusuma, Jakarta, beberapa bulan lalu, yang kemudian dipasangi garis polisi. Wartawan hanya diberi satu kali kesempatan melihat dari dekat helikopter itu.
Sejak hadir hingga kini, helikopter AW-101 Merlin itu tidak pernah dipertunjukkan kepada publik, termasuk tidak juga diterbangkan saat fly pass seusai upacara HUT ke-71 TNI AU, pada 9 April lalu. Biasanya, arsenal baru TNI dari matra manapun langsung dipamerkan kepada publik segera setelah serah-terima formal dari Kementerian Pertahanan.
Menurut Gatot, pada rapat terbatas bersama Presiden Joko Widodo pada 3 Desember 2015, Sekretaris Kabinet, Pramono Anung, menyimpulkan isi rapat itu bahwa “kondisi ekonomi saat ini belum benar-benar normal…jadi untuk saat ini jangan beli dulu.”
Setelah kasus ini, Presiden Jokowi memberikan arahan, intinya seluruh kementerian dan lembaga menggunakan produk dalam negeri.
Namun ternyata muncul perjanjian kontrak Nomor KJP/3000/1192/DA/RM/2016/AU tertanggal 29 Juli 2016 antara Markas Besar TNI AU dengan PT Diratama Jaya Mandiri tentang pengadaan heli angkut AW-101. Saat itu kepala staf TNI AU adalah Marsekal TNI Agus Supriatna.
Kemudian Gatot menerbitkan surat kepada TNI AU, Nomor B4091/ix/2016 tertanggal 14 September 2016 tentang pembatalan pembelian helikopter AW-101 Merlin.
“Setelah itu presiden bertanya, kira-kira kerugian negara berapa Bapak Panglima? Saya sampaikan ke presiden, kira-kira minimal Rp150 miliar. Presiden menjawab, menurut saya lebih dari Rp200 miliar. Bayangkan panglima menyampaikan (angka) seperti itu tapi presiden lebih tahu, kan malu saya,” kata Gatot.
Presiden langsung memerintahkan untuk mengejar terus pelaku pengadaan helikopter AW-101 Merlin itu.
“Kejar terus panglima. Kita sedang mengejar tax amnesty,” kata Gatot mengutip Presiden.
Gatot lalu membuat Surat Panglima TNI Nomor Sprint 3000/XII/2016 tertanggal 29 Desember 2016 tentang perintah membentuk Tim Investigasi Pengadaan Pembelian Heli AW 101.
Gatot lalu menyerahkan investigasi awal ke pejabat baru Kepala Staf TNI AU, Marsekal TNI Hadi Tjahjanto, yang dilantik pada 18 Januari 2017. Pada 24 Februari 2017, Hadi mengirimkan hasil investigasi.
“Dari hasil investigasi KSAU semakin jelas, tetapi ada pelaku-pelaku bukan dari TNI, karena korupsi konspirasi.”
Panglima TNI lalu bekerja sama dengan Polri, BPK, PPATK, dan KPK untuk melakukan penyelidikan intensif.
Dalam kasus ini, Polisi Militer TNI sudah menetapkan tiga tersangka, yaitu Marsekal Madya TNI FA yang saat itu pejabat pembuat komitmen dalam pengadaan barang dan jasa di lingkungan TNI AU; Letnan Kolonel Admisitrasi BW selaku pejabat pemegang kas; dan Pembantu Letnan Dua SS, staf BW, yang menyalurkan dana ke pihak-pihak tertentu.
Total anggaran pengadaan heli AW-101 Merlin adalah Rp738 miliar yang masuk dalam APBN 2016 dengan nilai kerugian negara sekitar Rp220 miliar.
Alasan Pembatalan
Menurut Panglima TNI, helikopter angkut berat AgustaWestland AW-101 Merlin yang didatangkan dari pabrikan Inggris-Italia itu tidak sesuai dengan spesifikasi yang diperlukan.
“Heli itu pintunya bukan ramp door, padahal harusnya ramp door dan PT Dirgantara Indonesia harusnya bisa membuat heli seperti ini dan sudah dipakai juga,” kata Gatot.
Ramp door adalah pintu untuk keluar-masuk personel, kendaraan, barang ke dalam kabin. Posisi ramp door selalu di buritan fuselage. Adapun spesifikasi teknis yang dikehendaki pengguna (TNI AU) pada pengadaan helikopter angkut berat ini adalah helikopter transport pasukan dan SAR tempur.
Semula, AW-101 Merlin digadang-gadang akan dibeli sebagai helikopter VIP kepresidenan, dengan konfigurasi sesuai hakikat tugas utamanya, yaitu membawa presiden-wakil presiden dan VIP. Jika mengacu ke sini maka ramp door tidak diperlukan, karena fokusnya pada keamanan-keselamatan dan kenyamanan VIP.
Saat ini TNI AU memiliki skuadron udara helikopter khusus VIP, yaitu Skuadron Udara 45 VIP yang bermarkas di Pangkalan Udara Utama Halim Perdanakusuma, Jakarta. Skuadron udara ini bermaterialkan NAS-332 Super Puma. Helikopter ini biasanya dipakai sebagai pesawat kepresidenan.
“Desember 2015 memang sudah ada perintah untuk menghentikan pengadaan helikopter, 1 buah. Kemudian awal 2016 helikopter VVIP diubah menjadi heli angkut dan juga hanya 1 buah. Memang betul TNI AU belum memiliki helikopter ramp door itu,” kata Gatot.
“Helinya belum diterima sebagai inventaris TNI masih di Halim, ada garis polisi. Belum diterima sebagai kekuatan TNI,” kata Rahardjo, kemudian.
KPK Segera Tetapkan Tersangka
KPK segera menetapkan tersangka dari pihak sipil dalam kasus dugaan korupsi ini.
“Salah satu yang kami tangkap laporan-laporan ini adalah semacam mark up, harusnya nilainya tidak sebesar itu tapi dalam kontrak melebihi dari yang dibeli,” kata Ketua KPK Agus Rahardjo di gedung KPK Jakarta, Jumat (26/5).
Namun pengumuman tersangka masih menunggu pendalaman dari sejumlah penggeledahan yang dilakukan KPK di PT Diratama Jaya Mandiri selaku penyedia barang. PT Diratama Jaya Mandiri adalah perusahaan yang bergerak di bidang jasa peralatan militer non-senjata yang juga memegang lisensi dari Amerika Serikat untuk terlibat dalam bisnis di bawah Peraturan Kontrol Ekspor peralatan militer dari AS dan Lisensi (Big Trade Business Licence “SIUP”).
KPK telah menggeledah kantor PT Diratama Jaya Mandiri di Sentul, kantor PT Diratama Jaya Mandiri di gedung Bidakara, rumah saksi dari pihak swasta di Bogor dan rumah seorang swasta di Sentul City. [DAS]