Suluh Indonesia – Suatu hari, Sukarno mulai membahas keinginannya untuk memasukkan Irian Barat ke dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan karena itu hendak menggelar operasi besar-besaran. “Kami pikir, Sukarno melakukan langkah yang tepat dengan memasukkan daerah itu (Irian Barat) ke dalam wilayah Indonesia,” tulis Nikita Khrushchev dalam memoarnya.
Sengketa panjang dan berlarut-larut dimulai. Sukarno membutuhkan bantuan militer. Uni Soviet kemudian menjual beberapa kapal perusak, kapal selam, kapal torpedo, dan sejumlah kapal yang dipersenjatai misil jelajah (P-15) pada Indonesia. Tak hanya itu, Uni Soviet bahkan menjual kapal jelajah Ordzhonikidze, yang di kemudian hari dinamai KRI Irian 201. Itulah kapal perang Soviet pertama yang dikirim kepada negara asing pasca-Perang Dunia II.
Khrushchev juga menyebutkan bahwa kapal-kapal selam yang dikirim ke Indonesia bukanlah model yang sudah kedaluwarsa, melainkan tak lagi diproduksi. Meski begitu, bukan berarti Uni Soviet tak lagi menggunakannya. Mereka masih memperkuat armada laut Uni Soviet. Saat itu, desain dan teknologi kapal selam Uni Soviet terbilang sudah jauh lebih maju. “Kemudian, kami juga menjual banyak pesawat tempur dan beberapa bomber Tu-16, termasuk 15 pesawat yang dilengkapi dengan misil jelajah,” kata Khrushchev.
Intensitas perjuangan untuk membebaskan Irian Barat terus meningkat. Sukarno bahkan bersiap untuk merebut Irian Barat dengan cara militer. Di saat itulah, Sukarno meminta Uni Soviet untuk mengirimkannya ahli-ahli militer yang dapat melatih rakyatnya mengoperasikan dan memanfaatkan kapal selam, perahu rudal, kapal torpedo, dan kapal perusak secara efektif. Saat itu, Indonesia belum memiliki tenaga ahli yang berkualifikasi, ujar Khrushchev.
Permintaan itu disambut positif oleh Soviet. Khrushchev bahkan secara terbuka menyatakan dukungannya terhadap Sukarno untuk membebaskan seluruh wilayah Indonesia. Karena itu, Uni Soviet mengirimkan sejumlah pakar militer ke Indonesia, “termasuk para perwira yang bahkan mengoperasikan kapal selam, sementara pilot-pilot kami sebetulnya menerbangkan (bomber) Tu-16.”
Kekuatan Diplomasi Indonesia
Perjuangan rakyat Indonesia untuk membebaskan Irian Barat berlangsung alot. Selama masa-masa itu, Menteri Luar Negeri Indonesia Subandrio datang ke Uni Soviet. “Sebelum menjadi menlu, dia menjabat sebagai duta besar di Moskow untuk waktu yang lama. Dia adalah pria yang sangat baik dan menyenangkan. Posisinya sebagai dubes kemudian digantikan oleh Adam Malik,” kenang sang pemimpin Soviet, seraya menyebutkan bahwa Subandrio adalah teman Uni Soviet. Meski bukan seorang komunis, Khrushchev melihat Subandrio bersimpati pada mereka. Apa lagi, dia sangat dekat dengan Sukarno. Istrinya pun tak kalah luar biasa, kenang Khrushchev. Selama resepsi resmi di KBRI, dia kadang-kadang menyanyikan lagu-lagu Rusia dan bahkan menyanyikannya dengan baik. Subandrio sendiri bisa berbahasa Rusia. “Kami semua, pemerintah Uni Soviet, betul-betul menghormati pasangan ini,” tulis Khrushchev.
Pada puncak ketegangan untuk membebaskan Irian Barat, Subandrio bertolak ke Uni Soviet menemui Khrushchev. “Subandrio bisa berbahasa Rusia dan kami berbicara tanpa bantuan penerjemah. Percakapan kami betul-betul rahasia,” kata Khrushchev. Di antara mereka memang terdapat penerjemah, tapi hanya untuk merekam percakapan. Selama pertemuan itu, keduanya membahas mengenai pengiriman ahli militer Soviet ke Indonesia. Pada saat itu, Belanda telah memusatkan pasukan militernya di Irian Barat. Mereka dengan tegas mengatakan tak akan menyerahkan wilayah itu.
Khruschev kemudian bertanya pada Subandrio, “Berapa peluang tercapainya kesepakatan (dengan Belanda)?”
“Sangat kecil,” jawab Subandrio.
“Jika Belanda tak mau berpikiran terbuka dan memilih terlibat dalam operasi militer, ini akan menjadi perang yang bisa menjadi medan uji coba bagi pilot-pilot kami yang menerbangkan pesawat-pesawat bermisil. Kita akan melihat sehebat apa misil-misil Soviet,” kata Khrushchev menanggapi.
Dalam memoarnya, Khrushchev mengaku bisa berkata begitu pada Subandrio karena percakapan itu sangat rahasia. Uni Soviet memang terang-terangan menyatakan dukungannya terhadap Indonesia dalam melawan penjajah. Apa lagi, Uni Soviet memang selalu menentang kolonialisme. Menurut Khrushchev, negaranya akan terus memegang teguh prinsip itu sampai penjajahan di seluruh dunia, baik yang terang-terangan maupun yang sembunyi-sembunyi, sepenuhnya sirna. “Kata-kata itu mengalir secara otomatis berdasarkan keyakinan kami. Saya tak mengungkapkan rahasia khusus apa pun di sini. Satu hal yang saya ingat, bahkan ketika mengucapkan pernyataan paling tajam, Subandrio selalu memiliki senyuman yang menawan di wajahnya,” tulis Khrushchev.
Kejutan Subandrio
Dari Moskow, Subandrio terbang ke Amerika Serikat. Ternyata, ia menceritakan seluruh percakapannya dengan pemimpin Soviet pada Departemen Luar Negeri AS. Mengetahui hal ini, Khrushchev, tentu saja, tercengang. “Sukarno percaya bahwa Subandrio adalah orang kepercayaannya, tetapi ternyata dia adalah antek Amerika! Ketika kami mengetahui hal ini, kami langsung melaporkannya pada Sukarno, tetapi seperti kasus Nasution, presiden tidak bereaksi. Dia tetap tidak terganggu. Dia justru mengatakan sesuatu yang menenangkan dan menentramkan, dan meminta saya untuk tidak menganggap ada kepentingan khusus dalam masalah ini,” kata Khrushchev.
Mendengar jawaban Sukarno, Khrushchev menduga bahwa menlu Indonesia memang sengaja memberikan informasi kepada pemimpin AS atas persetujuan dan mungkin saran Sukarno sendiri. Itulah yang diyakini Khrushchev sampai akhir hayatnya. “Lagi pula, Sukarno adalah seorang yang bijaksana dan hati-hati dalam membuat keputusan. Apa yang sebetulnya ia rencanakan? Mungkin dia ingin menekan Belanda melalui AS. Mungkinkah begitu? Meski Amerika tak terang-terangan bersimpati pada Belanda (atas sengketa Irian Barat) karena tak ingin merusak reputasi internasionalnya, keduanya sama-sama sekutu NATO.”
Sementara itu, Sukarno, melalui duta besarnya di Moskow (Adam Malik), meminta Soviet untuk mengirimkan staf-staf militer yang berwawasan untuk membantunya menyusun rencana operasi militer jika terjadi kontak senjata. Khrushchev menyetujui permintaan Sukarno dan mengirimkan orang-orangnya ke Indonesia. Sang pemimpin Soviet paham bahwa Sukarno sebetulnya sedang berusaha menyeimbangkan perhatiannya antara Uni Soviet dan AS. Presiden Indonesia mencoba memanfaatkan kedua negara untuk mencapai tujuannya, tulis Khrushchev.
“Ini menunjukkan bahwa Sukarno mampu membangun strategi dan terlibat dalam manuver-manuver yang rumit. Meski begitu, tindakannya itu membuat kami tersinggung. Apa lagi, dia tidak memberitahu kami semua rencananya, dan ada banyak yang belum kami ketahui,” kata Khrushchev kecewa.
Ternyata, Belanda diberitahu mengenai sumber daya militer apa saja yang diterima Indonesia. Sukarno menunjukkan bahwa dia memiliki senjata yang dapat diandalkan dan digunakan secara efektif. AS bahkan menasihati Belanda untuk menyetujui negosiasi.
Di bawah tekanan Amerika, pada Agustus 1962, Belanda akhirnya setuju untuk menyerahkan Irian Barat ke Otoritas PBB (UNTEA). Pada 1963, wilayah Irian Barat diserahkan kepada Indonesia. Setelah itu, tak ada lagi kontak senjata. Uni Soviet pun puas dengan hasil yang diraih. “Sementara, warga-warga kami yang bertanggung jawab melatih militer di Indonesia pun pulang dengan selamat,” tulis Khrushchev.
Mengapa AS justru menekan sekutunya? Jika Amerika membantu Belanda (memerangi Indonesia), mereka akan terlihat seperti agresor. AS tak menginginkan itu. Mereka tak ingin mencemari reputasi mereka dengan terang-terangan mendukung kebijakan kolonialis. “Sementara, citra kami di mata orang Indonesia meningkat. Sekali lagi, kami telah menunjukkan bahwa kami adalah sahabat sejati negara-negara yang memperjuangkan kemerdekaannya. Kami telah membantu Indonesia bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata,” tulis Khrushchev.
Setelah referendum tahun 1969, atau yang dikenal sebagai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera), rakyat Irian Barat dengan suara bulat memilih bergabung dengan Indonesia. Meskipun dibantah oleh beberapa pengamat Barat, hasil referendum diterima oleh Amerika Serikat, Uni Soviet, Australia, serta 81 anggota PBB lainnya.
Dihukum
“Izinkan saya mengatakan beberapa kata lagi tentang Subandrio yang bermuka dua dan kecenderungannya dalam bermanuver. Ketika terjadi peristiwa dramatis di Indonesia pada 1965 (G30S -red.), Subandrio ditangkap. Dia diadili dan dijatuhi hukuman mati. Saya tidak tahu apakah mereka membunuhnya, tetapi saya tidak suka saat mengetahui caranya yang tidak terhormat demi mendapat pengampunan. Selama persidangan, ia mengaku bahwa sebagai menteri luar negeri ia telah membocorkan keputusan-keputusan rahasia pemerintah pada partai Islam oposisi. Jadi, dugaan bahwa menteri luar negeri Indonesia mengadopsi kebijakan dua wajah terbukti benar.”
Pasca-G30S, Subandrio divonis hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa. Ia didakwa terlibat dalam gerakan tersebut meski tak ada bukti nyata yang menunjukkan keterlibatannya. Apa lagi, Subandrio sedang berada di Sumatra saat perisitiwa itu terjadi. Akan tetapi, vonis itu selanjutnya dikurangi menjadi hukuman seumur hidup.
Subandrio terdiam begitu divonis hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa dengan dakwaan terlibat dalam Gerakan 30 September.
Subandrio terdiam begitu divonis hukuman mati oleh Mahkamah Militer Luar Biasa dengan dakwaan terlibat dalam Gerakan 30 September.
Setelah menghabiskan 29 tahun di penjara, ia dibebaskan karena alasan kesehatan pada 1995. Subandrio mengembuskan napas terakhirnya pada 2004. Subandrio (lahir di Kepanjen, Jawa Timur, 15 September 1914, meninggal di Jakarta, 3 Juli 2004 pada umur 89 tahun) adalah politikus Indonesia yang sangat berpengaruh pada masa pemerintahan Presiden Sukarno.[Fauzan Al-Rasyid]
Artikel ini diterjemahkan dan diolah dari buku “Memoirs of Nikita Khrushchev. Volume 3, Statesman (1953 – 1964)”, seri ketiga dan terakhir dari satu-satunya memoar berbahasa Inggris terlengkap Pemimpin Uni Soviet Nikita Khrushchev.
(Tulisan ini pernah dimuat pada tanggal 24 Agustus 2018)