Dua Abad Marx: Mengubah Dunia, Itulah Soalnya!

Patung Karl Marx di Trier, Jerman [Foto: Istimewa]

Koran Sulindo – Karl Marx lahir di Trier pada 5 Mei 1818. Sebuah kota yang berada di sebelah barat Jerman dan disebut sebagai kota tertua di negara itu. Karl Marx berayahkan Heinrich Marx (Yahudi Prusia) dan ibunya bernama Henrietta Pressburg (Yahudi Belanda). Merujuk kepada kitab biografi Karl Marx yang ditulis Franz Mehring, Heinrich merupakan seorang pengacara terkemuka di kota itu.

Akan tetapi, demi mempertahankan posisi borjuisnya, Heinrich terpaksa meninggalkan keyakinan Yahudinya dan pada masa itu diartikan sebagai emansipasi sosial. Istri Marx adalah Jenny von Westphalen yang berasal dari keluarga aristokrat, dan empat tahun lebih tua dari Marx. Dalam pergaulan, Jenny dikagumi karena kecantikan dan juga karakter serta temperamennya. Itu pula yang membuatnya hidup bahagia bersama Marx, kendati harus menghadapi dan mengatasi segala macam tantangan perjuangan dan kesulitan hidup.

Jenny merupakan tokoh perempuan yang memberi contoh keteguhan komitmen kepada perjuangan untuk sosialisme revolusioner. Sebagai istri pemikir besar, Jenny tidak berfungsi sebagai “pelengkap” atau aksesori. Ia adalah kekuatan aktif dalam perjuangan pembebasan kelas proletar dari modal. Jenny mengatur pertemuan komunis, menyediakan tempat tinggal dan bantuan kepada pelarian politik serta membantu Marx menghasilkan karya-karya besar dalam filsafat dan ekonomi.

Pandangan dan ajaran Marx bersumber kepada tiga aliran ideologi yang paling maju di abad ke-19 yakni filsafat klasik Jerman, ekonomi politik klasik Inggris dan sosialisme Prancis. Marx menolak idealismenya Hegel, namun menganggap dialektikanya sebagai doktrin perkembangan yang paling dalam dan menyeluruh. Ia lantas mengambil dan mengembangkan aspek revolusioner dari filsafat Hegel itu.

Inti dari dialektika itu adalah dunia harus dilihat sebagai sebuah kesatuan atau kompleks dari proses di mana hal ihwal yang kelihatannya stabil namun sebenarnya mengalami perubahan terus menerus. Materialisme Feuerbach yang mekanik dan non-historis dikembangkan Marx menjadi materialisme historis, dimana esensi manusia adalah kompleks atau kesatuan dari seluruh hubungan sosial. Materialisme mekanik hanya menginterpretasi dunia, tidak mengerti bahwa masalahnya adalah mengubah dunia, mengubah kenyataan sosial.

Musim semi 1847, Marx dan Engels masuk dan aktif dalam Liga Komunis yang bekerja di bawah tanah. Untuk memenuhi permintaan Liga Komunis, mereka menulis Manifesto Partai Komunis yang terkenal itu. Untuk pertama kalinya diajukan sebuah konsep pandangan dunia baru berdasarkan pada materialisme, dialektika sebagai doktrin perkembangan paling dalam dan menyeluruh, teori perjuangan kelas dan peran revolusioner kelas proletar, pencipta masyarakat komunis.

Dalam suratnya kepada J. Wejdemeyer pada 5 Maret 1852, Marx mengatakan, ia bukan yang pertama menemukan adanya kelas dan perjuangan kelas dalam masyarakat. Sejarawan borjuis sudah menemukannya jauh sebelumnya. Marx menegaskan kembali kebenaran itu dan mengajukan lebih lanjut, perjuangan kelas akan membawa kepada kediktatoran proletariat yang merupakan transisi menuju penghapusan semua kelas dan masyarakat tanpa kelas.

Marx sempat menyaksikan perebutan kekuasaan borjuis oleh kelas proletar Paris dan pendirian Komune Paris pada 18 Maret 1871. Salah satu pelajaran yang disimpulkan Marx dari kekalahan Komune Paris adalah kekuasaan proletar tidak dapat berfungsi dengan menggunakan mesin birokrasi dan militer negara borjuis. Diperlukan kediktatoran proletariat untuk menghancurkan mesin kekuasaan borjuis dan perlawanan sekaratnya. Mereka tidak akan menyerahkan kekuasaan dan semua hak istimewanya dengan sukarela.

Kaum reformis dan revisionis memungkiri teori perjuangan kelas. Mereka menggantikannya dengan kolaborasi kelas. Dalam Manifesto Partai Komunis, Marx menyatakan, sejarah semua masyarakat adalah sejarah perjuangan kelas. Engels menambahkan, kecuali dalam masyarakat primitif yang tidak berkelas. Mao Tse Tung mewarisi dan mengembangkan Marxisme-Leninisme dengan antara lain, menegaskan adanya perjuangan kelas bahkan dalam periode transisi panjang menuju komunisme.

Kemenangan revolusi sosialis dan pembangunan sosialisme masih belum merupakan kemenangan definif kaum proletar dan kelas pekerja lainnya. Tesis ini sudah terbukti kebenarannya oleh restorasi kapitalisme di Uni Soviet dan Tiongkok.

Marx dan Engels dalam film The Young Marx [Foto: Istimewa]
Perjuangan Kelas
Dengan dipungkirinya perjuangan kelas, logislah kalau kaum revisionis dan reformis juga memungkiri kediktatoran proletariat. Salah satu argumentasi yang mereka ajukan adalah kediktatoran proletariat bertentangan dengan demokrasi dan langsung mereka menunjuk Stalin dengan Gulag sebagai contoh. Sumber terbesar dari kebohongan dan pemalsuan fakta sejarah pembangunan sosialisme dan Partai Komunis Uni Soviet, tak diragukan lagi, datang dari dedengkot revisionisme modern Khrushchov.

Besar sekali kemungkinan para pembenci Stalin tidak akan percaya dalam proses pembuatan Konstitusi Baru 1936, justru Stalin yang mengusulkan sistim pemungutan suara yang universal, sama derajat, langsung dan rahasia. Untuk jabatan di lembaga-lembaga negara, wakil Partai Komunis harus berhadapan dan berkompetisi dengan wakil dari segala macam organisasi yang dibentuk warga Soviet. Usul itu mendapat tentangan keras dari para Sekretaris Partai Pertama di berbagai daerah Soviet. Mereka takut kehilangan posisinya. Khrushchov, ketika itu, menjabat Sekretaris Partai di Ukraina.

Absurdnya tuduhan kediktatoran proletariat bertentangan dengan demokrasi juga telah dibuktikan Revolusi Besar Kebudayaan Proletar (RBKP) yang dipimpin Mao. “Kekacauan” RBKP yang dilihat para pemantau berwawasan sempit justru mencerminkan demokrasi seluas-luasnya di Tiongkok sosialis. Rakyat diimbau untuk menunjukkan dan membongkar borok, ketidakadilan dan hal-hal buruk lainnya yang merugikan mereka yang dilakukan para pejabat Partai dan pemerintah, tak peduli apapun kedudukannya.

Rakyat berani mempertahankan pendapatnya hingga baku pukul, justru karena tahu kekuasaan ada di tangan mereka. Tentara Pembebasan Rakyat atau Polisi tidak akan menangkap mereka yang mengkritik atau mengecam pejabat melalui koran dinding berhuruf besar. Karena itu Deng Xiao Ping, dedengkot revisionis Tiongkok sangat benci dan takut pada massa selama berkobar RBKP. Begitu kaum revisionis berkuasa melalui kudeta 1976, demonstrasi di Tiananmen 1989, mendapat penindasan kejam oleh Tentara.

Lebih absurd lagi orang yang melihat kediktatoran proletariat sebagai sebab dari keruntuhan Uni Soviet dan negeri-negeri Eropa Timur. Itu karena tidak mengerti hakikat dan isi perjuangan kaum Marxis-Leninis melawan revisionisme modern dan tak bisa diharapkan akan mengerti dan menerima pengkhianatan kaum revisionis modern telah melemahkan dan akhirnya mengubah watak kelas kekuasaan negara. Kediktatoran proletariat sudah menjadi kediktatoran kaum kapitalis birokrat yang menggunakan Partai Komunis sebagai selubung dan kedoknya.

Contoh lebih aktual bisa dilihat pada Partai Komunis dan negara Tiongkok sekarang. Dapatkah kita berkata di Tiongkok sekarang ada kediktatoran proletariat, sementara kaum buruhnya bekerja 12 jam sehari, enam hari seminggu, tanpa jaminan sosial dan upah pun kadang-kadang lambat atau tak dibayar? Sementara itu banyak orang-orang superkaya merangkap sebagai anggota Partai Komunis?

Lenin menjelaskan, kediktatoran proletariat adalah perjuangan yang konsisten di bidang militer, ekonomi, pendidikan dan administratif, berdarah atau tak berdarah, tanpa atau dengan kekerasan, melawan kekuatan dan tradisi masyarakat lama. Lenin melihat adat kebiasaan puluhan juta orang sebagai kekuatan paling dahsyat dan buruk. Justru itulah juga yang menjadi salah satu sasaran RBKP yang dilancarkan Mao.

Lenin menganggap seribu kali lebih mudah menaklukkan kaum borjuasi besar yang terkonsentrasi ketimbang “menundukkan” berjuta-juta kaum pemilik kecil. Melalui kegiatan sehari-hari yang tak kelihatan dan sulit ditangkap, tapi menghilangkan semangat, mereka mencapai hasil yang dibutuhkan kaum borjuasi dan cenderung merestorasi kedudukan kaum borjuasi.

Kepemilikan Pribadi
Orang komunis sering diserang karena programnya yang bertujuan menghapuskan kepemilikan pribadi. Alasannya, hak mendapatkan kekayaan pribadi sebagai hasil dari kerjanya sendiri merupakan dasar dari kebebasan semua individu.

Marx menjelaskan, kalau yang dimaksud adalah kepemilikan petani dan perajin kecil atas kekayaan yang didapat dari kerja kerasnya sendiri, sistim komunis tidak perlu menghapuskannya. Karena kepemilikan itu sudah dihancurkan oleh perkembangan industri kapitalis. Buruh tidak melahirkan kekayaan untuk dirinya sendiri dari hasil kerja upahnya. Upah minimum buruh hanya cukup untuk bertahan hidup dan bertahan agar bisa terus bekerja.

Sebaliknya buruh menciptakan modal, satu jenis kekayaan yang mengisap tenaga kerja manusia. Modal tidak akan bertambah tanpa pasokan baru kerja upah untuk dieksplotasi lagi. Modal adalah produk dari sebuah kolektif yang dapat digerakkan oleh tindakan semua anggota kolektif tersebut. Oleh karena itu modal tidak semata-mata bersifat personal, tapi merupakan kekuatan sosial. Modal bukan uang simpanan pribadi yang tidak ‘digerakkan’ dalam usaha yang melahirkan nilai lebih.

Dalam masyarakat kapitalis, menurut Marx, kepemilikan pribadi menyingkirkan 90 persen penduduk. Kepemilikan pribadi segelintir manusia bisa eksis karena 90 persen penduduk tidak memiliki apa-apa!

Kenyataan di abad ke-21 ini membuktikan validitas dari apa yang dikatakan Marx. Lembaga Oxfam menyatakan satu persen penduduk dunia menguasai 82 persen total kekayaan dunia pada 2017. Sementara 50 persen penduduk termiskin di dunia tidak mendapat apa-apa. Para pimpinan perusahaan atau CEO merek fashion terkenal hanya perlu empat hari untuk memperoleh upah yang setara dengan pendapatan seumur hidup buruh pabrik garmen di Bangladesh. Sedangkan di Indonesia, kekayaan empat orang terkaya setara dengan apa yang dimiliki 100 juta rakyat termiskin.

Kenyataan dunia yang menunjukkan bagaimana modal menguasai dan menentukan kehidupan manusia di bumi ini, hanya kaum reformis dan revisionis yang terus membela sepak terjang para pemilik modal besar. [Tatiana Lukman]