Ketika membicarakan tokoh-tokoh yang memberikan dampak besar pada dunia pendidikan dan filsafat di Indonesia, nama Driyarkara tak bisa diabaikan. Ia bukan hanya seorang pastur, tetapi juga seorang pemikir yang gagasan-gagasannya tetap relevan hingga kini.
Melalui perjalanannya yang panjang, mulai dari desa kecil di Jawa Tengah hingga panggung akademik internasional, Driyarkara mengajarkan bahwa pendidikan adalah jalan menuju kemanusiaan yang sejati.
Bagaimana sosok yang sederhana ini mampu menjadi pelita dalam dunia intelektual bangsa? Artikel ini akan menelusuri kiprah, pemikiran, dan warisan Driyarkara yang terus hidup di hati masyarakat Indonesia.
Pendidikan Awal dan Perjalanan Menjadi Imam Katolik
Dilansir dari laman kemdikbud, Driyarkara, atau yang memiliki nama asli Nicolaus Djentoe Soehirman, adalah salah satu tokoh filsafat dan pendidikan terkemuka di Indonesia. Lahir di Desa Kedunggubah pada 13 Juni 1913, ia merupakan anak bungsu dari keluarga Adamsendjaja.
Sejak kecil, ia akrab dipanggil “Djenthu” karena tubuhnya yang kekar. Nama “Driyarkara” mulai ia gunakan saat masuk ke Girisonta pada 1935, saat memulai hidup dalam Serikat Jesus (SJ). Pada 22 Desember 1925 ia dibaptis dengan nama Nicolaus Djentoe Soehirman.
Djenthu memulai pendidikannya di Volkschool, Vervolgschool Cangkrep, dan Hollandsch Inlandsche School di Purworejo dan Malang. Pada 1929, ia memutuskan masuk Seminari Menengah, memulai perjalanan panjangnya sebagai calon imam Katolik.
Setelah lulus, ia bergabung dengan Serikat Jesus dan menjalani pendidikan rohani serta humaniora di Girisonta sebelum melanjutkan studi filsafat di Ignatius College, Yogyakarta, pada 1935-1941.
Setelah menyelesaikan studi filsafat, ia mengajar bahasa Latin di Girisonta selama satu tahun, lalu melanjutkan studi teologi di Kolose Muntilan. Namun, pada 1943, Kolose tersebut ditutup oleh Jepang.
Kondisi perang memaksa Driyarkara mengajar filsafat di Seminari Tinggi Yogyakarta hingga 1947, meskipun para misionaris Belanda yang sebelumnya mengajar di sana ditahan oleh Jepang.
Pada 6 Januari 1947, Driyarkara ditahbiskan sebagai imam Katolik oleh Mgr. Soegijapranata. Ia kemudian melanjutkan studi teologi di Maastricht, Belanda, dan menyelesaikan program doktoral filsafat di Universitas Gregoriana, Roma, pada 1952.
Dedikasi dalam Dunia Pendidikan
Setelah kembali ke Indonesia, Driyarkara aktif sebagai pengajar filsafat di Ignatius College. Pada tahun 1955, ia diangkat menjadi dekan dan kemudian rektor di Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) Sanata Dharma, tempat ia mengabdikan hidupnya hingga wafat.
Driyarkara juga menjadi Guru Besar Luar Biasa di Fakultas Psikologi Universitas Indonesia (1960-1967) dan dosen di Universitas Hasanuddin (1961-1967). Bahkan, ia sempat menjadi guru besar tamu di St. Louis University, Amerika Serikat, pada 1965-1966.
Pemikiran dan Aktivitas Sosial
Pemikiran utama Driyarkara adalah bahwa “manusia adalah kawan bagi sesama.” Prinsip ini ia terapkan dalam bidang pendidikan, di mana ia memperjuangkan sistem pendidikan yang adil dan bebas diskriminasi.
Selain mengajar, ia juga aktif menulis. Tulisan-tulisannya, yang diterbitkan di berbagai media seperti majalah Praba dan Basis, menjadikan pemikiran filsafatnya dikenal luas.
Driyarkara juga terlibat dalam pemerintahan, menjadi anggota MPRS (1962-1967) dan Dewan Pertimbangan Agung (1965-1967). Ia berperan aktif dalam forum-forum penting, termasuk simposium “Kebangkitan Angkatan 66” dan diskusi tentang Pancasila.
Driyarkara wafat pada 11 Februari 1967 di Girisonta. Dua tahun setelah kepergiannya, sahabat-sahabatnya, Prof. Dr. Fuad Hassan dan Prof. Dr. Slamet Iman Santosa, mendirikan Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara untuk mengenang kontribusinya dalam pendidikan filsafat.
Driyarkara adalah teladan seorang pemimpin, pendidik, dan filsuf yang memadukan intelektualitas dan kemanusiaan. Karyanya terus menginspirasi dunia pendidikan Indonesia, menjadikannya salah satu tokoh yang berperan penting dalam perjalanan sejarah intelektual bangsa. [UN]