Dramaturgi: Bersembunyi di Balik Sebuah Citra

Ilustrasi Dramaturgi.( foto: Sulindo/Iqyanut Taufik)

Koran Sulindo – Dalam kehidupan sosial, seseorang seringkali tidak memperlihatkan wajah aslinya untuk ”menipu” orang lain agar tertarik dengan dirinya. Padahal keorisinilan dalam sebuah kehidupan semestinya menjadi hal baik, sebab apabila kehidupan diselimuti kebohongan maka akan menimbulkan sebuah kebohongan lain di depannya untuk menutupi kebohongan yang dilakukan sebelumnya.

Hal ini menjadi wajar bagi sebagian orang yang memerlukan eksistensi dalam kehidupannya. Apabila orang tersebut berani tampil dengan kejujuran dan apa adanya maka simpati dari pihak lain akan menurun. Untuk memperoleh simpati, seseorang biasanya akan memainkan perannya yang bukan peran semestinya. Kejadian ini oleh Erving Goffman disebut Dramaturgi.

Erving Goffman merupakan seorang sosiolog dan dipandang sebagai tokoh “kultus” dalam teori-teori sosiologi. Mendapatkan gelar akademis dari Universitas Chicago dan dikenal sebagai anggota aliran Chicago dan sebagai teoretis interaksionisme simbolis.

Erving Goffman mencetuskan teori Dramaturgi ini pada tahun 1959 dalam karyanya yang berjudul “Presentation of Self in Everyday Life”. Dalam pengertiannya, Dramaturgi merupakan teori yang mengemukakan bahwa teater dan drama mempunyai makna yang sama dengan interaksi sosial dalam kehidupan manusia.

Dramaturgi seringkali digunakan seseorang dengan tujuan tertentu dalam interaksi sosial. Seperti halnya politikus yang akan memperlihatkan kehidupan sederhananya untuk menarik simpati masyarakat ketika akan mencalonkan diri dalam sebuah kontestasi politik. Istilah dramaturgi di era sekarang lebih sering disebut ”pencitraan” dimana seseorang akan memperlihatkan sisi yang berbeda dari kehidupan sesungguhnya.

Masyarakat Indonesia sangat akrab dengan kejadian dimana seorang pemimpin suatu daerah rela turun kedalam gorong – gorong yang notabene adalah tempat yang kotor. Sangat jarang seorang pemimpin mau melakukan hal yang dianggap sebagai tindakan luar biasa kala itu. Namun seiring berjalannya waktu masyarakat mulai memahami bahwa tindakannya kala itu hanyalah sebuah pencitraan agar dianggap peduli dengan masyarakat dan akan membela hak-hak masyarakat. Padahal dalam kenyataannya semua itu hanyalah agenda drama yang sudah dipersiapkan untuk menarik perhatian belaka.

Masyarakat mulai menyadari bahwa selama ini mereka telah dibodohi dengan hal – hal yang dahulu mereka anggap sebuah aksi heroik. Kesadaran tersebut timbul akibat keserakahan yang dipertontonkan ahir – ahir ini, dimana pemimpin tersebut seperti akan membuat sebuah dinasti yang diisi oleh anak keturunannya. Seakan ingin membuat kerajaan baru di dalam sebuah negara yang katanya demokratis.

Dramaturgi ini menjadi senjata untuk menutupi hal yang sebenarnya dan mempertontonkan hal – hal yang tidak sebenarnya. Meskipun setiap manusia pasti mempunyai alter ego nya masing – masing tetapi apabila yang diperlihatkan menjadikan sebuah kemakmuran dan kesejahteraan, maka itu akan menjadi hal yang dianggap baik juga oleh masyarakat.

Dalam sebuah drama teater, seorang aktor akan bertingkah sesuai dengan perannya ketika berada di panggung dan menjadi sebuah hiburan untuk audiens yang menyaksikan pertunjukannya. Namun aktor tersebut juga akan bertingkah dan berperilaku berbeda ketika berada dibalik panggung (back stage) dan backstage ini menjadi tempat dimana aktor menjalani kehidupan aslinya yang tidak diketahui oleh audiens yang menontonnya di atas panggung. [IQT]