Koran Sulindo – Wakil Ketua Komisi III DPR Desmon J Mahesa tak sepakat jika Presiden Joko Widodo mengeluarkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk memperpanjang masa jabatan Kapolri Jenderal Polisi Badrodin Haiti, yang memasuki masa pensiun pada Juli mendatang. “Yang saya tanyakan, kalau itu perppu, apakah itu untuk kepentingan umum? Dalam Undang-Undang Kepolisian, kalau pensiun tidak ada alasan untuk diperpanjang, karena batas usia 58 tahun,” kata Desmon di Jakarta, Rabu (18/5).

Menurut dia, kalau itu dilakukan, akan bertentangan dengan Pasal 11 ayat 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Dalam pasal itu disebutkan, calon Kapolri adalah perwira tinggi kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif, dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karir. “Terlebih tidak ada unsur kegentingan untuk dikeluarkannya perppu tersebut,” ujarnya.

Ia menilai, apabila Presiden Jokowi tetap memaksakan untuk menerbitkan perppu, itu akan menghambat jenjang karir para perwira tinggi di kepolisian. “Presiden harus mendudukkan permasalahan tersebut secara tetap agar tidak ada aturan yang dilanggar.

Sementara itu, anggota Komisi III DPR Sufmi Dasco Ahmad menilai, presiden sebelum mengambil langkah membuat perppu lebih baik mendengarkan masukan dari pihak-pihak yang berkompeten. Selain itu, menurut dia, presiden harus mengkaji bersama para pakar dan mendengar masukan DPR sebelum mengambil kebijakan. “Presiden juga harus mempertimbangkan perpanjangan ini kan ada dampaknya, seperti di internal Polri, ini akan sedikit menghambat regenerasi,” ujarnya.

Diungkapkan Sufmi lagi, dirinya belum melihat urgensinya presiden mengeluarkan perppu perpanjangan masa jabatan Kapolri. Tapi, semuanya tergantung pada pola komunikasi yang dijalankan presiden.

Anggota Komisi III DPR dari PDI Perjuangan, Masinton Pasaribu, juga berpandangan sama. Ia menilai, Presiden Joko Widodo tak perlu memperpanjang masa jabatan Kapolri Jendral Polisi Badrodin Haiti. Sebaiknya, menurut dia, regenerasi di tubuh korps Bhayangkara membuat Presiden Jokowi tak perlu merisaukan persoalan penegakan hukum di Indonesia. “‎Perlu proses regenerasi di tubuh Polri dan tidak perlu diperpanjang masa jabatan Kapolri. Karena juga tidak ada urgensinya,” ujar Masinton

Hingga saat ini, lanjutnya, Presiden Jokowi dan Badrodin Haiti juga tak pernah membahas adanya wacana perpanjangan masa jabatan tersebut. “Yang pasti, dalam ketentuan hal ini, undang-undang mengatur perpanjangan juga harus dengan persetujuan DPR,” tuturnya.

Wacana perpanjangan masa jabatan Badrodin itu sebelumnya juga telah ditolak Indonesia Police Watch (IPW). Ketua Presidium IPW Neta S Pane‎ mengatakan, perpanjangan itu melanggar Pasal 11 ayat 6 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Dalam pasal itu disebutkan, calon Kapolri adalah perwira tinggi Kepolisian Negara Republik Indonesia yang masih aktif, dengan memperhatikan jenjang kepangkatan dan karirnya. “Dalam Undang-Undang tentang Polri tidak ada satu pun pasal yang menyebutkan masa jabatan Kapolri bisa diperpanjang. Sudah saatnya Polri mempersiapkan suksesi kepemimpinan agar soliditas instansi tersebut tetap terjaga,” kata Neta, awal Mei lalu.

Komisioner Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) M Nasser juga menolak wacana tersebut. “Dalam undang-undang, yang bisa diperpanjang adalah anggota Polri yang memiliki kemampuan khusus. Kapolri kan bukan jabatan dengan keahlian khusus. Tenaga teknologi informasi atau penjinak bom, misalnya, itu baru keahlian khusus,” kata Nasser.

Kalau Presiden Jokowi memperpanjang masa jabatan Badrodin, akan terkesan ia bersikap ambivalen dan ragu-ragu. Jika itu terjadi, tak menurutp kemungkinan akan terjadi kekisruhan di tubuh Polri. Soliditas internal di tubuh Polri bisa terganggu lagi.

Menurut Nasser, Kompolnas sudah menetapkan enam perwira tinggi yang akan diajukan menjadi pengganti Badrodin. Mereka adalah perwira tinggi yang sudah menjadi jenderal bintang tiga. Keenam nama itu adalah Wakil Kapolri Komjen Budi Gunawan, Inspektur Pengawas Umum Komjen Dwi Priyatno, Kepala Badan Pemeliharaan Keamanan Komjen Putut Eko Bayuseno, Kepala Lembaga Pendidikan Polri Komjen Syafruddin, Kepala Badan Narkotika Nasional (BNN) Komjen Budi Waseso, dan Sekretaris Utama Lembaga Pertahanan Nasional Komjen Suhardi Alius.

Namun masih ada satu nama yang kelak mungkin bisa masuk radar, yaitu pengganti Kepala Badan Reserse Kriminal Komjen Anang Iskandar yang akan pensiun pada akhir Mei ini. Penggantinya lazimnya dari jenderal bintang dua yang akan dinaikkan pangkatnya dan kemudian bisa dicalonkan juga sebagai Kapolri. Kabar berembus pada pertengahan Mei ini, Gubernur Akademisi Kepolisian Irjen Anas Yusuf akan diangkat menjadi Kabareskrim menggantikan Anang.

Kompolnas tak memasukkan nama Tito dalam bursa calon Kapolri. Masa jabatan Tito masih panjang jika dibanding dengan jenderal bintang tiga lain menjadi pertimbangan utama Kompolnas tak menyaring namanya. Tito juga dinilai masih terlalu muda untuk Kapolri dan ditakutkan dapat “memotong” generasi.

Biasanya juga, polisi yang ditunjuk jadi Kapolri adalah yang masa pensiunnya masih tersisa dua tahun. Tito baru akan pensiun enam tahun lagi.

Masa jabatan komisioner Kompolnas yang sekarang ini berakhir pada akhir Mei 2016. Karena itu, bisa saja komposisi calon Kapolri itu diubah oleh Kompolnas selanjutnya.

Memang, proses pencalonan Kapolri bisa ditempuh melalui dua cara, yakni menjaring lewat Dewan Wanjakti Polri, lalu nama-nama calon diserahkan ke presiden. Cara kedua, presiden meminta masukan dari Kompolnas.

Dari nama-nama yang disodorkan Kompolnas di atas, Komjen Budi Gunawan, biasa disebut BG, yang sekarang menjabat Wakil Kapolri, punya peluang paling besar. Budi Gunawan adalah angkatan 1983 di Akademi Kepolisian dan baru akan pensiun pada tahun 2017. Nama BG digadang-gadang sebab dari awal jenderal ini telah diajukan oleh Presiden Joko Widodo dan kemudian disetujui menjadi Kapolri oleh Komisi III DPR RI dan Paripurna DPR RI setelah lulus tes kelayakan dan kepatutan. Namun, karena ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dan berakhir di praperadilan, BG digantikan oleh Badrodin, meski putusan sidang praperadilan memenangkan BG, sehingga status BG sebagai tersangka dicabut.

Dengan melihat proses yang sudah dijalankan BG dan BG merupakan orang kedua di Mabes Polri, sepertinya ia akan lancar menduduki kursi orang nomor satu di Polri. Namun ada nama lain yang menjadi pesaing kuat BG, antara lain Irwasum Komjen Dwi Priyatno, lulusan Akpol 1982. Dwi baru pensiun pada 2017.

Pesaing kuat lain adalah Kepala Badan Narkotika Nasional Komjen Budi Waseso atau biasa disapa Buwas. Ia lulusan Akademi Kepolisian tahun 1984 dan baru pensiun pada tahun 2019.

Tentu, dalam suasana transisi sekarang ini, Indonesia memerlukan sosok seorang Kapolri yang berani dan tegas. Polisi harus dikembangkan menjadi kekuatan sipil yang kuat dan mandiri. Apalagi, belakangan ini mulai berembus pula wacana memasukkan kembali Polri sebagai bagian dari TNI. Siapa polisi yang “berani”?

Dalam pengamatan Koran Suluh Indonesia, sosok yang berani dan menghalau wacana itu dalam tubuh Polri sekarang ini BG dan Buwas. Terkait BG, selain sudah mengabdi puluhan tahun di tubuh pasukan berseragam cokelat itu, ia telah ditunjuk oleh Presiden Jokowi dan disetujui DPR untuk mengemban amanat sebagai Kapolri. Hakim praperadilan juga telah membersihkan namanya sebagai tersangka kasus gratifikasi. Jadi, sebenarnya, tidak ada alasan untuk “menghalangi” BG menempati posisi orang nomor satu di tubuh Polri.

Upaya penghalangan itu bukan saja akan kembali menistakan kemanusiaan BG dan seolah menafikan pengabdiannya yang panjang kepada negara, tapi juga mencoreng wajah hukum di negara ini. Apalagi, pemerintah kemudian juga melakukan keputusan yang bisa dianggap tidak adil secara hukum, dengan memberikan deponeering kepada mantan komisioner KPK Abraham Samad dan Bambang Widjojanto serta penyidik KPK Novel Baswedan dan 20 penyidik lain. Kasus mereka “diuapkan” begitu saja tanpa proses hukum yang semestinya. Karena itu, proses pergantian Kapolri nanti akan kembali menjadi batu ujian bagi pemerintah: apakah hukum akan ditetapkan sebagai panglima sebagaimana digariskan konstitusi atau sebaliknya. [CHA/PUR]