Ilustrasi/kabargolkar.com

Koran Sulindo – Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) menyatakan menunda pengesahan Rancangan Undang-undang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) hingga waktu yang tidak ditentukan.

“Penjelasannya sampai waktu yang tidak ditentukan, bisa sampai periode yang akan datang,” kata Ketua DPR, Bambang Soesatyo, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (24/9/20129), seperti dikutip antaranews.com.

Menurut Bambang, penundaan itu berdasarkan kesepakatan setelah pembicaraan dengan pemerintah.  Ia membantah tidak terjadi titik temu antara DPR dengan pemerintah soal batas waktu penundaan pengesahan RKUHP itu.

Hari ini DPR menunda pengesahan 4 Rancangan Undang-Undang (RUU) menjadi UU seperti yang diminta Presiden Joko Widodo beberapa waktu lalu. Keempat RUU tersebut adalah RUU KUHP dan RUU Lembaga Permasyarakatan, RUU Pertanahan dan RUU Minerba.

“Saya memahami keinginan Presiden Joko Widodo yang meminta 4 RUU untuk ditunda pengesahannya,” katanya.

DPR melalui forum Badan Musyawarah (Bamus) pada Senin (23/9/2019) kemarin dan forum lobi hari ini sepakat untuk menunda RUU KUHP dan RUU Lembaga Permasyarakatan untuk memberikan waktu kepada DPR maupun pemerintah untuk mengkaji dan mensosialisasikan kembali secara masif isi dari kedua RUU tersebut agar masyarakat lebih bisa memahaminya.

Sedangkan RUU Pertanahan dan RUU Minerba memang masih dalam pembahasan di tingkat I, belum masuk dalam tahap pengambilan keputusan.

Sejak 1963

Sebelumnya, soal penundaan pengesahan RUU KUHP itu sudah disepakati dalam rapat konsultasi antara Presiden dengan Pimpinan DPR RI didampingi Pimpinan Fraksi dan Pimpinan Komisi III DPRI, di Istana Negara, Jakarta, Senin (23/9/19) kemarin.

Kesepakatan penundaan itu sesuai dengan mekanisme, prosedur dan tata cara yang ada di DPR. Mengingat Pasal 20 ayat (2) UUD 1945 mengamanatkan bahwa “setiap RUU dibahas DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Tanpa persetujuan kedua belah pihak, maka setiap RUU tidak bisa disahkan menjadi UU.

“Karena ditunda, maka DPR RI bersama pemerintah akan mengkaji kembali pasal per pasal yang terdapat dalam RUU KUHP, khususnya yang menjadi sorotan publik. Sambil juga kita akan gencarkan kembali sosialisasi tentang RUU KUHP. Sehingga masyarakat bisa mendapatkan penjelasan yang utuh, tak salah tafsir apalagi salah paham menuduh DPR RI dan pemerintah ingin mengebiri hak-hak rakyat,” kata Bambang, usai sidang paripurna di DPR, Jakarta, Selasa (24/9/19), seperti dikutip kabargolkar.com.

Menurut Bambang, penyusunan RUU KUHP sudah melibatkan berbagai profesor hukum dari berbagai universitas, praktisi hukum, maupun lembaga swadaya dan organisasi kemasyarakatan. Sehingga keberadaan pasal per pasalnya yang dirumuskan bisa menjawab berbagai permasalahan yang ada dalam masyarakat Indonesia.

Pembahasan RUU KUHP yang dimulai sejak 1963 sudah melewati masa 7 kepemimpinan Presiden dengan 19 Menteri Hukum dan HAM. Kita sebenarnya sudah berada diujung. Jika saat ini terjadi berbagai dinamika di masyarakat, sepertinya ini lebih karena sosialisasi yang belum massif. Walaupun pada kenyataannya selama ini DPR RI melalui Komisi III telah membuka pintu selebarnya dalam menampung aspirasi.

“Para anggota DPR RI juga membawa aspirasi dari konstituennya. Memang tidak semua aspirasi bisa diterima, karena itu kita libatkan berbagai profesor hukum dengan berbagai kepakaran untuk meramu formulasi terbaik,” katanya.

Menurut Bambang, seluruh sumber daya dan pemikiran telah tercurah dari para profesor, ahli, dan praktisi hukum seperti Prof. Muladi, maupun yang sudah wafat seperti Prof Soedarto, Prof. Roeslan Saleh dan Prof Satochid Kartanegara untuk menuntaskan RUU KUHP ini.

“Dan beliau-beliau bukanlah orang-orang sembarangan. RUU KUHP sebenarnya akan menjadi momentum terlepasnya Indonesia dan penjajahan hukum peninggalan kolonial selama kurang lebih 101 tahun. Bukan hanya berdikari, namun sebagai sebuah bangsa kita punya martabat karena bisa melahirkan RUU KUHP yang terdiri dari 626 pasal yang merupakan hasil karya anak bangsa,” kata Bambang. [Didit Sidarta]