Koran Sulindo – Komisi Pemberantasan Korupsi mempertanyakan sikap Presiden soal RUU KUHP yang akan memperlemah pemberantasan korupsi di Tanah Air.
Menurut KPK menilai terdapat sejumlah persoalan yang dianggap berisiko bagi KPK ataupun pemberantasan korupsi ke depan jika tindak pidana korupsi masuk ke dalam KUHP.
“Presiden pernah beberapa kali mencegah pelemahan terhadap KPK, baik terkait rencana revisi UU KPK yang tidak jadi dilakukan ataupun hal lain,” kata Juru Bicara KPK Febri Diansyah saat dikonfirmasi, Kamis (31/5).
Pihaknya mengharapkan saat ini ketika pemberantasan korupsi terancam jika RUU KUHP disahkan, Presiden dapat kembali memberikan sikap yang tegas untuk mengeluarkan delik korupsi dari RUU KUHP itu.
“Menyusun penguatan pengaturan delik korupsi melalui revisi Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi jauh lebih baik,” kata Febri.
“Ditambah sejumlah aturan lain yang dibutuhkan seperti pembatasan transaksi tunai, perampasan aset, dan lain-lain.”
Menempatkan korupsi sebagai kejahatan biasa dengan mengaturnya di KUHP, ancaman pidana yang lebih rendah, dan keringanan hukuman termasuk perbuatan-perbuatan percobaan dianggap membawa Indonesia mundur dalam pemberantasan korupsi.
Namun DPR memastikan jika RUU KUHP itu tidak akan melemahkan peran KPK dalam membasmi korupsi.
Hal tersebut sebagaimana disampaikan anggota Komisi III DPR RI, Arsul Sani kepada wartawan, di kompleks parlemen, senayan, Jakarta, Kamis (31/5).
“Saya tegaskan bahwa RUU KHUP ini tidak dimaksudkan untuk memperlemah KPK,” kata Asrul Sani.
Menurut dia, produk legislasi tersebut dapat disebut memperlemah kalau kewenangannnya dikurangi, tetapi tidak peran KPK yang dikurangi.
Namun demikian, ia mengemukakan bahwa pihaknya akan mempertimbangkan masukan dan keberatan yang diucapkan oleh KPK dan berbagai LSM antikorupsi.
Politikus PPP itu mengungkapkan salah satu solusi akan keberatan itu antara lain adalah dengan penegasan ketentuan peralihan atau penutup delik-delik tertentu dalam RUU KUHP. Delik tersebut tak mengurangi kewenangan kelembagaan dalam tugas penegakan hukum yang oleh UU diberikan kepada lembaga tersebut.
Sedangkan anggota Komisi III dari Fraksi PKS, Nasir Djamil, yang juga ditemui di gedung DPR RI, hari ini meminta agar DPR tidak tidak tergesa-gesa dalam ‘menghalalkan’ RUU KUHP menjadi UU.
Sebab, kata dia, masih ada sejumlah hal yang perlu dibahas untuk terciptanya pemahaman bersama dengan penegak hukum, seperti terorisme, pencurian ikan, penambangan ilegal, dan korupsi.
Menuru Nasir ada beberapa hal yang semestinya dibahas ulang secara rasional dan bukannya mengikuti emosional atau faktor perasaan belaka.
Dia mengingatkan, produk legislasi ini adalah untuk menggantikan RUU warisan kolonial sehingga harus lebih baik dan fenomenal.
Sebelumnya, Wakil Ketua KPK Laode M Syarif menyebut terdapat sejumlah persoalan yang dianggap berisiko bagi KPK ataupun pemberantasan korupsi ke depan jika tindak pidana korupsi masuk ke dalam KUHP.
Syarif dalam jumpa pers di Gedung KPK, Jakarta, Rabu (30/5) menyorot tentang kewenangan kelembagaan KPK menentukan bahwa mandat KPK itu adalah memberantas korupsi sebagaimana diatur UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor).
Sementara itu, kata dia, di dalam Rancangan KUHP itu tidak ada penegasan soal kewenangan lembaga KPK.
Sedangkan Wakil Presiden Jusuf Kalla menaruh keyakinan kepada DPR untuk dapat menyelesaikan pembahasan revisi undang-undang Kitab UU Hukum Pidana dalam kurun waktu kurang dari tiga bulan.
“Saya yakin kalau DPR mau itu bisa, tiga bulan waktu yang cukup untuk menyelesaikan itu. Soal UU teroris saja dalam lima hari selesai, ini masih ada waktu tiga bulan untuk poin-poin itu disepakati bersama,” kata Jusuf Kalla di Kantor Wakil Presiden Jakarta, Rabu (30/5) kemarin.
Sebelumya, Ketua DPR Bambang Soesatyo berjanji lembaganya akan segera menyelesaikan RUU KUHP sebelum HUT Kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus mendatang.(SAE)