Koran Sulindo – Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan sebagai lembaga legislatif DPR bisa menggunakan hak angket terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sebagai bagian dari pengawasan terhadap kinerja lembaga tersebut. KPK adalah institusi eksekutif.
“KPK dibentuk dengan UU, maka untuk mengawasi pelaksanaan UU tersebut maka DPR dapat melakukan hak angket terhadap KPK,” kata Yusril, dalam Rapat Dengar Pendapat Umum Panitia Khusus Hak Angket KPK, di Gedung DPR, Jakarta, Senin (10/7), seperti dikutip antaranews.com.
Posisi KPK dalam sistem ketatanegaraan Indonesia adalah sebagai lembaga eksekutif, karena institusi tersebut melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan.
Pada awal pembahasan Rancangan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dalam pandangan umum fraksi-fraksi maupun pembahasan ditingkat Panitia Khusus, terjadi kekhawatiran tumpang tindih dengan lembaga lain seperti kepolisian dan kejaksaan.
“Dimana kedudukan KPK? Kalau masuk yudikatif jelas tidak, dia bukan badan pengadilan yang bisa mengadili dan memutus perkara. Badan legislatif juga bukan karena tidak menghasilkan produk peraturan perundang-undangan,” katanya.
KPK dibentuk pada 2002, ketika iitu Yusril menjabat Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam kabinet Presiden Megawati Soekarnoputri.
Yusril mengatakan saat itu dia menjelaskan tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas KPK di bidang penyelidikan dan penuntutan tidak akan terjadi dengan syarat-syarat tertentu, seperti penyelidikan dan penyidikan pada penyelenggara negara, dampaknya merugikan negara di atas Rp1 miliar, dan perkaranya menarik perhatian masyarakat.
“Jadi dengan 3 pembatasan itu maka overlaping tidak terjadi. Lalu bagaimana pelaksanaannya? Itu tugas di Pansus Angket untuk penyelidikan, saya tidak bahas itu,” katanya.
Menurut Yusril, penggunaan hak angket bukan hal baru, sudah dilakukan dalam sistem parlementer dan melekat pada DPR.
Pada 1950, Hak Angket kembali diberlakukan di DPRS yang merupakan gabungan dari KNIP dan anggota RIS dan kemudian lahir Undang-Undang Nomor 7 tahun 1954 tentang angket.
UUD 1945, juga menyebutkan bahwa tugas DPR adalah membuat undang-undang, membahas anggaran dan melakukan pengawasan, dan dalam menjalankan tugas pengawasannya DPR dibekali hak untuk melakukan penyelidikan.
Presiden Tolak Bubarkan KPK
Sementara itu staf khusus Presiden bidang Komunikasi Johan Budi SP mengatakan Presiden Joko Widodo tidak bisa menghentikan DPR menggunakan hak angket terhadap KPK.
“Dari sisi tata negara tidak bisa. Karena itu haknya DPR, domain DPR. Sementara Presiden, eksekutif yang kedudukannya sama,” kata Johan, yang pernah menjadi juru bicara KPK, di kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada Senin (10/7).
“Ketika Presiden masuk domain kekuasaannya, selaku eksekutif, maka dia akan menolak karena membubarkan itu tak hanya melemahkan, membubarkan. Pasti Presiden tidak mau,” kata Johan.
Presiden ingin memperkuat KPK, bukan melemahkannya. [DAS]