DPO, Tersangka Megakorupsi Kondensat Honggo Wendratno

Ilustrasi/YMA

Koran Sulindo – Bareskrim Polri mengeluarkan daftar pencarian orang (DPO) untuk tersangka megakorupsi kondensat, Honggo Wendratno. Mantan Direktur Utama PT Trans Pacific Petrochemical Indotama (TPPI) itu tidak memenuhi panggilan ketiga untuk proses tahap dua yakni penyerahan tersangka dan barang bukti ke Kejaksaan Agung, Rabu (24/1) lalu.

Penyidik Direktorat Tindak Pidana Ekonomi dan Khusus (Dirtipideksus) sampai mendatangi kediaman Honggo di Jalan Martimbang III No 3, Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Padahal, tersangka sudah kabur ke luar negeri sejak kasus ini disidik pada 2015 lalu.

“Dimohon bantuan masyarakat, apabila mengetahui tersangka agar segera melapor ke kantor polisi terdekat,” kata Kasubit Money Laundering, Kombes Jamaluddin, di Jakarta, Jumat (26/1/2018).

Tidak Murni Hukum

Sementara itu tersangka megakorupsi kondensat, Honggo Wendratno menganggap kasusnya tidak murni hukum.

“Bahasa beliau tidak murni hukum, ada aspek bisnisnya ada aspek politiknya, menjadi ruwet permasalahan itu,” kata kuasa hukum Honggo, Arianto, ketika dihubungi Sulindo, Kamis (25/1).

Arianto mengatakan terakhir berkomunikasi dengan Honggo saat penyidik Bareskrim melakukan pemeriksaan di salah satu rumah sakit Singapura pada 2016 silam. Ketika itu kliennya juga ingin pulang ke Indonesia untuk mempertanggungjawabkan diri. Saat itu Arianto juga menganjurkan Honggo pulang, karena jika dilakukan peradilan in absentia, ancaman pidananya akan maksimal.

“Beliau bersedia hadir, dan bilang saya sudah umur 70 sekian saya mau meninggal di Indonesia saya hadapi mau jelaskan saya tidak bersalah,” katanya.

Namun seiring waktu dan kasus yang merugikan negara hingga Rp38 triliun itu tak ada kelanjutannya, Arianto pun tak berkomunikasi lagi dengan Honggo.

“Saya putus komunikasi pas operasi jantung, karena ini proses tidak berjalan saya tidak ke Singapura,” ujarnya.

Menurut Arinto, langkah penyidik Bareskrim sudah benar untuk menyurati pemanggilan Honggo baik alamat yang di Indonesia dan di Singapura. Mengenai keberadaan kliennya, dirinya menyerahkan kepada kepolisian. Sebab, Polri memiliki perwakilan di Singapura.

“Saya juga ditembusi surat pemanggilan langkah penyidik sudah benar,” kata Arinto.

Kasus ini bermula dari penunjukan langsung BP Migas (sekarang SKK Migas) terhadap PT TPPI pada Oktober 2008 terkait penjualan minyak mentah bagian negara ataukondensat untuk kurun waktu 2009-2010. Penunjukan TPPI dilakukan melalui rapat terbatas oleh Wakil Presiden Jusuf Kalla. Sementara, perjanjian kontrak kerja sama kedua lembaga tersebut baru dilakukan pada Maret 2009. Padahal lifting minyak sudah dilakukan pengiriman sebanyak 15 kali. Penunjukan langsung ini telah menyalahi peraturan BP Migas Nomor KPTS-20/BP00000/2003-50.

Mencium adanya tindakan melawan hukum, Direktorat Tindak Pidana Ekonomi Khusus (Dittipideksus) Bareskrim melakukan penyidikan pada tahun 2015. Badan yang berlambang busur panah tersebut melakukan penggeledahan di Kantor SKK Migas, Jalan Gatot Subroto dan Kantor TPPI di Gedung Mid Plaza, Jalan Jenderal Sudirman, Mei 2015. Penyidik menetapkan tiga tersangka, yakni Honggo, Kepala BP Migas (SKK Migas), Raden Priyono dan Deputi Finansial, Djoko Harsono. Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) RI menyebutkan negara mengalami kerugian sebesar USD 2,7 miliar atau sekitar Rp27 triliun dengan nilai tukar Rp10.000 per-USD1. [YMA]