Koran Sulindo – Pertama-tama mereka diperintahkan pergi ke perang yang tak mereka inginkan. Setelah pulang kampung, tak ada yang sudi mendengar kisah mereka. Belum cukup juga, banyak kalangan menganggap mereka sebagai pelaku kejahatan perang; bajingan.
Itulah garis bawah suasana hati para serdadu Belanda yang dikirim ke negeri jajahan di balik bumi sana pada awal 1945. Mereka ikut berperang karena dipaksa kewajiban (militer), terbujuk propaganda pemerintah, bahkan ancaman dari negara.
Para pemimpin negeri mereka terbujuk ilusi meneruskan kolonialisme di Hindia Timur yang pertama ditancapkan pada awal abad ke-16 ketika Cornelis de Houtman menginjakkan kaki pertama kali di tanah nusantara. Dan mereka menganggap gampang untuk menaklukkan kembali bekas tanah jajahannya itu.
Selama perang ingin menjajah kembali Indonesia itu, Belanda mengerahkan 220 ribu orang tentara. Sebanyak 160 ribu adalah orang Belanda asli. Sisanya yang 60 ribu adalah tentara Koniklijk Nederlands-Indisch Leger (KNIL), rekrutan orang lokal dari Ambon, Minahasa, dan sebagian besar Jawa.
Dari 160 ribu tentara Belanda sebanyak 100 ribu orang adalah tenaga wajib militer dan 50 ribu orang sukarelawan.
Dan hanya seribu orang tentara profesional, yang pernah mendapatkan pendidikan militer yang beneran, ada di barisan besar yang awalnya datang membonceng pasukan Sekutu itu.
Kaum terbesar, yang terkena wajib militer dan sukarelawan itu masih hijau, berkisar 20 tahun-an, sebagian besar belum pernah memperoleh pelatihan militer dan bepergian jauh dari tempat tinggalnya.
Pengetahuan mereka tentang masyarakat, budaya, maupun kondisi geografi negara jajahan itu hanya sepotong-potong. Kebanyakan tertarik propaganda pemerintah tujuan ke Hindia Belanda untuk membebaskan dari fasisme Jepang, menegakkan keamanan dan ketertiban dan melindungi penduduknya dari “ekstremis”.
Mereka tak pernah diberitahu bahwa Indonesia sudah memerdekakan diri pada 17 Agustus 1945. Karena itu mereka tidak memiliki bayangan menghadapi perlawanan sengit dari pemuda, pejuang dan tentara Indonesia. Karena kalah segalanya, para pejuang Indonesia melakukan taktik gerilya: makin pusinglah anak-anak baru gede yang masih belum terlalu lama dilepas dari susu ibunya itu.
Apa yang dilakukan para serdadu amatiran itu di Indonesia sepanjang 1945-1950?
Sebuah website, www.indonesie45-50.nl, mengungkap sejarah kelam dengan apa yang di sisi Indonesia disebut agresi militer Belanda (Belanda menyebutnya “aksi ketertiban umum”) itu. Sayang, situs itu sekarang mati.
Tapi baiklah dicuplik beberapa contoh, yang sudah orang-orang “Londo” itu tuliskan di media massa mereka.
Koran NRC Handelsblad, laporan khusus tentang kemerdekaan Indonesia, pada edisi akhir pekan 15 dan 16 Agustus 2015: Pada suatu hari Minggu di sebuah kota di Jawa pada 1948, kendaraan militer Belanda yang membawa prajurit ke gereja untuk menghadiri kebaktian ditembaki. Seorang prajurit Belanda tertembak di kepalanya, tewas seketika. Apa yang kemudian terjadi dituturkan oleh Louis Sinner dalam sebuah kesaksian yang sekarang disimpan di Nationaal Archief, Den Haag. “Komandan satuan itu, Mayor Van de Leede, meraih peta dan jangka. Menusukkan jangka pada peta, ia lalu menarik lingkaran pada koordinat insiden penembakan. Dalam sekejap tiga satuan yang berada di bawah komandonya menyulap semua yang ada dalam lingkaran itu menjadi Sodom dan Gomorah. Apa yang terjadi di sana melulu balas dendam, dan lebih mengerikan dari yang terjadi di Putten,” kata Sinner.
Kesaksian lain: Pada 5 Januari 1949, ketika Wasmad Rads sedang berjalan-jalan ke kota Rengat, mendadak terdengar suara pesawat terbang di langit. Cocor Merah, pesawat tempur-pengebom P-51 Mustang. Pesawat itu menjatuhkan bom di jalan raya, di pasar yang ramai, bahkan di pemukiman. “Mereka juga menembak orang-orang yang ada di bawah,” tulis Rads dalam buku autobiografinya.
Sekitar jam 11 pagi, setelah pesawat Mustang menghilang, 180 orang penerjun payung udara diterjunkan di daerah Sekip dekat Rengat. Kepala pasukan payung udara adalah, menurut sumber Belanda, Letnan Rudy de Mey. De Mey dihadapkan ‘perlawanan yang dahsyat’ dari tentara Indonesia yang mencoba untuk melarikan diri dari Rengat. Para penerjun payung udara Belanda membalasnya dengan tembakan senjata api. Korban mati 80 orang, militer dan sipil.
Rads menulis di dalam bukunya bahwa di Pasanggrahan, gedung peristirahatan milik pemerintah yang berdiri di ‘Kwartir Eropa’ di pusat kota, tempat para pegawai pemerintah Hindia-Belanda dulu bekerja, semua pegawai pemerintah, bersama 27 orang agen polisi, seorang penjaga dan 4 penjaga penjara disuruh berbaris di halaman, ditembak mati, dan dibuang ke dalam sungai.
Kesaksian visual ada pada sebuah tong sampah di Enschede, sebuah kota kecil di Provinsi Overijssel, bagian timur Belanda. Di sana tergeletak album foto berisi kekejaman tentara Belanda pada rakyat Indonesia, seperti diletakkan seseorang secara sengaja. Beberapa foto kemudian diterbitkan di harian de Volksraant edisi 10 Juli 2012.
Berita itu berjudul, “Foto foto pertama dari eksekusi pasukan Belanda di Indonesia”. “Untuk pertamakali dalam sejarah, foto dari sebuah eksekusi ditemukan, kemungkinan foto-foto dari eksekusi yang dilakukan oleh tentara Belanda selama masa aksi polisionil di negara jajahan Hindia Belanda. Foto foto ini ditemukan dalam album foto pribadi seorang tentara yang dikirim pemerintah Belanda ke Indonesia dalam sebuah misi militer.”
Dalam album foto itu, kemudian diketahui milik prajurit Jacobus, terlihat tiga pria Indonesia dieksekusi. Mereka berdiri dengan punggung mereka menghadap kearah regu tembak yang berdiri pada sisi lain sebuah parit. Foto menunjukkan momen ketika mereka ditembak.
Parit itu dipenuhi dengan mayat-mayat orang yang telah dieksekusi. Pada sisi sebelah kiri foto lain, terlihat dua serdadu Belanda, dari seragam yang dikenakan.
Tim dari Institute Dokumentasi Perang (Ned Indie Oorlog Documentation) dan Institut Sejarah Militer Belanda (NIMH) mengatakan belum pernah melihat foto-foto itu sebelumnya, tapi tidak meragukan keotentikannya. Hanya lokasi tak diketahui. Eksekusi yang dikenal adalah Rawagede di Jawa Barat dan di Sulawesi Selatan. Foto foto ini diperkirakan dibuat pada awal 1948.
Media massa di negeri kincir angin itu mendadak gaduh. Rakyat Belanda terutama generasi mudanya yang selama ini acuh menjadi terhenyak, canggung, dan sulit menerima kenyataan bagaimana negeri yang terkenal humanis dan progresif ini punya episode sejarah kelam dan berdarah dengan Indonesia yang tak terungkap dan nampak ditutup-tutupi.
Belanda memperingati kekejaman dan pendudukan Nazi di Belanda, tapi menutup mata terhadap kekejaman dan pendudukannya di Indonesia. Tiga institusi Royal Netherlands Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV), Dutch Institute for Military History (NIMH), dan Institute for War, Holocaust and Genocide Studies (NIOD) menuntut penyelidikan ulang episode ini.
Tentu saja episode sejarah ini sangat mengkhawatirkan dan memalukan bagi Belanda untuk dibuka ke publik — kalah perang dan kalah diplomasi dan kemungkinan diseret ke mahkamah internasional bukan hal yang enteng.
Terlihat hingga sekarang Belanda belum juga mengakui secara yuridis kemerdekaan Indonesia 1945. Belanda hanya mengakui kedaulatan Indonesia, bukan “penyerahan kedaulatan”, karena Indonesia sudah merdeka sejak 1945. Mengakui secara yuridis punya punya implikasi yang luas buat Belanda, karena agresi militer pada 1945-1950 itu berarti serangan serius terhadap negara Indonesia yang berdaulat, dan ini tentu melanggar hukum internasional.
Dipendam
Di Belanda, kekerasan semasa Revolusi Nasional Indonesia dibiarkan tidak diteliti selama puluhan tahun. Perang jahanam selama lima tahun awal usia Indonesia itu dibicarakan selalu dengan istilah yang samar.
Pernyataan resmi dari perdana menteri pada 1969, yang dibuat berdasarkan penelitian arsip selama hanya tiga bulan, mengatakan kekerasan yang ekstrem yang terjadi selama periode itu hanya bersifat insidental. Laporan penelitian arsip tersebut disusun oleh Cees Fasseur, ahli sejarah Belanda, diberi judul Nota Ekses (Excessennota). Hanya sebuah daftar peristiwa-peristiwa instidental.
Namun baru-baru ini hasil penelitian yang lain diumumkan di Belanda, menyimpulkan kekerasan ekstrem tentara Belanda adalah justru ‘struktural’.
Titik awal perubahan terjadi pada 1969. Seorang veteran Belanda bernama Joop Hueting tampil di programa TV nasional dan berbicara tentang kekejaman tentara Belanda di Indonesia. “Kami adalah pembunuh profesional yang tidak sungkan menyiksa tawanan, misalnya mengangkut mereka dengan truk bak terbuka di bawah teriknya sinar matahari sampai kulitnya terbakar, dan yang bisa membunuh tanpa ragu-ragu seluruh anggota keluarga warga kampung,” kata Hueting.
Menurut Hueting, pemakaian kekerasan itu tidak insidental, tapi struktural, dan sudah tertanam dalam di struktur militer.
Sejak itu para veteran perang memburu Hueting dan keluarganya, sehingga dia harus menyembunyikan diri bersama keluarganya. Lalu, guncangan di masyarakat umum Belanda menghilang.
Pemerintah Belanda memang memberikan tanggapan terhadap pernyataan Hueting itu, tapi sifatnya hanya sekadar menenangkan situasi. Pemerintah menyuruh ahli sejarah Cees Fasseur melakukan inventarisasi arsip dalam tiga bulan, dan keluarlah laporan berjudul Nota Ekses (Exessennota). Perdana Menteri menyimpulkan, berdasarkan laporan tersebut, kekerasan itu tidak masuk ke dalam kategori kejahatan perang, tapi sifatnya ‘insidental’.
Selama puluhan tahun yang mendatang kesimpulan itulah yang selalu dikutip.
Anne-Lot Hoek (dalam Inside Indonesia 125: Jul-Sep 2016) mengatakan, pintu baru terbuka pada 2011, ketika aktivis Belanda-Indonesia Jeffry Pondaag dan pengacara Liesbeth Zegveld menggugat negeri Belanda atas pembantaian di kampung Rawagede, Jawa pada 1947. Mereka menang, dan pemerintah Belanda harus membayar ganti rugi.
Kemudian mereka membuat gugatan lagi atas eksekusi massal di bawah komando Kapten Westerling di Sulawesi Selatan pada 1946, dan atas perkosaan oleh tentara-tentara Belanda terhadap seorang wanita di desa Peniwen, Jawa pada 1949.
Setahun kemudian, gabungan tiga lembaga penelitian di Belanda mengajukan permohonan dana pemerintah untuk melakukan penelitian yang menyeluruh atas kekerasan tentara Belanda semasa Perang Kemerdekaan Indonesia. Permohonan itu ditolak.
Tapi kotak pandora sudah terlanjur dibuka.
Ahli sejarah Swiss-Belanda Rémy Limpach, dalam disertasinya, mengatakan kekerasan ekstrem oleh tentara Belanda terhadap orang Indonesia dapat dilihat di mana-mana dan menjadi bagian struktural ketentaraan Belanda. Disertasi yang membahas kekejaman tentara Belanda 1945-1949 itu diterbitkan pada September 2016 (lihat halaman xx)
Prof. Gert Oostindie, direktur KITLV, salah satu dari tiga lembaga yang bergabung di atas, mendukung kesimpulan Limpach itu di dalam bukunya yang ia tulis baru-baru, dan sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia.
Dokumen Ego
Buku Oostindie (Serdadu Belanda di Indonesia 1945-1950: Kesaksian Perang pada Sisi Sejarah yang Salah; September 2016) didasarkan surat, buku harian, buku kenangan, dan memoar para serdadu muda (kebanyakan wajib militer) yang bertugas di angkatan perang Belanda di Indonesia antara 1945 dan 1950. Itulah dokumen-dokumen ego mereka.
Penerbitan buku itu memancing perdebatan publik di Belanda –yang sebelumnya masih menghindari kata ‘perang’. Berkat buku ini, sekarang istilah‘aksi polisional’ pelan-pelan diganti dengan ‘perang dekolonisasi’.
Buku ini merupakan bagian dari perdebatan yang dalam beberapa dasawarsa terakhir menjadi semakin kritis, tak hanya dalam hal legitimasi aksi politik dan militer Belanda, tetapi juga tentang praktik aksi itu, dan khususnya dalam masalah kejahatan perang.
Kesimpulan buku ini memperkuat tesis Limpach: tindakan-tindakan kejahatan tersebut merupakan unsur yang bersifat struktural dalam pelaksanaan perang Belanda.
Kemerdekaan Indonesia dimenangkan setelah perang dekolonisasi yang berdarah. Di Indonesia, sejarah tahun-tahun itu diceritakan dari perspektif lahirnya Republik Indonesia sebagai buah perjuangan heroik sekelompok suku bangsa yang bersatu untuk kemerdekaan. Suatu perjuangan yang dipimpin oleh Sukarno.
Di Belanda, paparan ceritanya di satu sisi tentang penderitaan orang-orang Eropa selama pendudukan Jepang (1942-1945) dan periode Bersiap (akhir 1945 – awal 1946), di sisi lainnya tentang usaha yang memakan waktu lama dan sia-sia untuk melakukan dekolonisasi sesuai dengan cara yang diinginkan Belanda.
Yang masih tidak tersusun dengan baik hingga kini adalah cerita kekejaman yang dilakukan para serdadu muda belia itu, para remaja yang tak pernah mendapat pendidikan militer cukup dan tak punya disiplin militer yang terjaga, pada masa-masa perang jahanam pada 1945-1950 itu. [Didit Sidarta]