Koran Sulindo – Pada suatu Januari, sekitar setahun yang lalu. Seorang pembuat film dokumenter asal Tiongkok menghubungi lewat pesan messenger Facebook. Ia memperkenalkan diri sebagai Jiahui Zeng. Ia menghubungi saya karena anjuran dari seorang kawan di Belanda.
Ketika itu, Ja – demikian nama panggilannya – berniat riset dan membuat film dokumenter tentang Djawoto. Ketika ia menyebut nama itu, tentu saja mengejutkan. Nama yang begitu asing di Indonesia, namun menjadi sesuatu yang penting bagi seorang pembuat film seperti Jiahui Zeng.
Permintaan Ja itu seperti gayung bersambut. Selain karena sudah pernah mendengar namanya, saya juga penasaran akan buku karya Djawoto di bidang jurnalistik. Judul kitab Djawoto itu: Jurnalistik Dalam Praktik. Buku ini agaknya sulit ditemukan di masa sekarang.
Lalu, siapa sesungguhnya Djawoto? Boleh dibilang ia adalah tokoh pers Indonesia dan sudah berkiprah sejak sebelum Republik menyatakan proklamasi kemerdekaan pada Agustus 1945. Berdasarkan sebuah tulisan di blog Perpustakaan Online Genosida 1965-1966, Djawoto disebut lahir di Tuban, Jawa Timur pada 10 Agustus 1906. Setelah menyelesaikan sekolahnya, Djawoto mengikuti kursus guru, lalu benar-benar menjadi guru di beberapa sekolah swasta di antaranya Taman Siswa. Sejak 1927, Djawoto selama 15 tahun menjadi guru.
Selama menjadi guru dan sempat tinggal di Makassar, Djawoto juga aktif berpolitik. Ia pernah menjadi sekretaris Partai Sarekat Islam Indonesia pimpinan Oemar Said Tjokroaminoto cabang Makassar. Tidak lama kemudian, masih di Makassar, ia pindah ke Partai Nasional Indonesia pimpinan Soekarno.
Ketika PNI dibubarkan, Djawoto masuk ke Pendidikan Nasional Indonesia di bawah pimpinan Sjahrir. Setelah merdeka, Djawoto masuk ke dalam Partai Sosialis pimpinan Amir Sjarifuddin dan Sjahrir. Ia didapuk menjadi Kepala Departemen Pendidikan di partai itu. Ketika Partai Sosialis pecah, Djawoto memusatkan pikiran dan tenaganya di Kantor Berita Antara. Selama masa Perang Dunia II, Djawoto bekerja sama dengan Adam Malik di Kantor Berita Domei.
Setelah proklamasi kemerdekaan Agustus 1945, Kantor Berita Antara dibuka kembali. Djawoto kembali berkiprah di sana. Ketika ibu kota negara pindah ke Yogyakarta, Kantor Berita Antara juga ikut pindah dan Djawoto pun dipilih sebagai pemimpin redaksinya.
Jejaknya di Kantor Berita Antara ini sama sekali tak berbekas. Itu terbukti ketika saya bersama Jiahui Zeng mengunjungi Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) dan Museum Graha Bakti Antara sekitar akhir Januari 2019. Di sana terpampang jelas foto-foto tokoh yang pernah memimpin Kantor Berita Antara. Foto Djawoto? Sama sekali tidak ada. Dan pengelola tempat tersebut pun merasa asing mendengar nama Djawoto.
Selain menjadi pemimpin redaksi Kantor Berita Antara, Djawoto juga aktif dalam pembentukan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Tujuan utama pembentukan wadah organisasi profesi wartawan ini sebagai peran aktif mereka untuk meyakinkan masyarakat dan tentara bahwa Indonesia harus merdeka 100 persen. Juga mempersatukan rakyat dan militer melawan penjajah yang masih ingin menguasai Indonesia.
Djawoto bahkan pernah beberapa kali terpilih menjadi Ketua PWI mulai dari 1948, 1950 dan 1951. Dan baru menjadi ketua lagi ketika PWI mengadakan kongres di Makassar pada 16 Mei 1961. Rentang periode 1952 hingga 1960, PWI dikuasai orang-orang yang terafiliasi dengan kelompok Masyumi, PSI dan orang-orang yang anti-Bung Karno, anti-Manipol dan anti-PKI.
Maka terpilihnya kembali Djawoto dalam kongres itu, menurut A. Umar Said dalam Mengenang Kebesaran Bung Djawoto sebagai kemenangan pendukung garis politik Bung Karno yang anti-imperialisme dan anti-neokolonialisme. Yang mencerminkan kemenangan kelompok revolusioner melawan golongan kontra-revolusioner dalam negeri di kalangan pers.
Dan segera setelah itu, tulis Umar Said, wartawan-wartawan Indonesia yang tergabung dalam International Organization of Journalists (IOJ) pada 1962 berhasil mengumpulkan tandatangan para wartawan Asia-Afrika di Budapest (Hongaria) untuk menyelenggarakan Konferensi Wartawan Asia-Afrika di Indonesia.
Sekjen AAJA
Menanggapi hal itu, Bung Karno dengan semangat Konferensi Asia-Afrika Bandung mengusulkan kepada Djawoto agar Indonesia menjadi tuan rumah penyelenggaraan Konferensi Wartawan Asia-Afrika itu pada 1963. Setelah konferensi, peserta pun sepakat membentuk Persatuan Wartawan Asia-Afrika (AAJA). Keberadaan AAJA, menurut Taomo Zhou dalam Global reporting from the Third World: the Afro-Asian Journalists’ Association, 1963–1974 di bawah payung Organisasi Solidaritas Rakyat Afro-Asia (AAPSO) dengan semangat progresif yang anti-imperialisme.
Dikatakan Zhou, semangat AAJA merupakan kesinambungan dari Konferensi Asia Afrika di Bandung. Apalagi penyelenggaraan Konferensi AAJA bersamaan dengan peringatan delapan tahun Konferensi Bandung. Seperti semangat Konferensi Bandung, dalam Konferensi AAJA juga ditekankan tentang kedaulatan dan tanpa intervensi di dalam jurnalisme.
Setelah penyelenggaraan konferensi itu, Djawoto terpilih sebagai Sekjen PWAA atau AAJA. Dalam pertemuan perdana ini, kata Zhou, Djawoto menyampaikan misi AAJA untuk menantang hegemoni pers kapitalis dan imperialis yang sebelumnya menguasai wacana publik di negara-negara jajahan. Dalam upaya memerangi pers kapitalis itu, AAJA percaya wartawan di negara-negara Dunia Ketiga harus bisa menyampaikan kebenaran dan menyingkap kebohongan.
Kebenaran, bagi anggota AAJA, berarti informasi dan pendapat yang sesuai dengan aspirasi rakyat untuk kemerdekaan nasional, kemajuan sosial, demokrasi, kebebasan dan perdamaian. Sebaliknya, kebohongan berarti merujuk kepada laporan yang membawa kepentingan kekuatan kolonial dan eksploitasi terhadap rakyat.
Berjarak setahun atau pada 1964, Bung Karno mengangkat Djawoto sebagai Duta Besar Indonesia untuk Tiongkok. Tugas harian Sekjen AAJA digantikan Jusuf Isak. Di Tiongkok, Djawoto masih aktif menjabat sebagai Sekjen AAJA dan kepala sekretariatnya dijabat Umar Said itu. Jejaknya inilah yang ditemukan Jiahui Zeng di Tiongkok sehingga tertarik mengabadikannya sebagai film dokumenter.
Sungguh kita bersyukur Jiahui Zeng yang orang Tiongkok itu masih mau menghargai Djawoto. Sebab, tanpa itu mungkin tidak akan ada yang mengenalnya. Dari perjalanan hidupnya yang puluhan tahun mengabdikan diri sebagai wartawan, maka tak berlebihan rasanya menyebut Djawoto sebagai salah satu tokoh pers yang terkemuka di negeri ini. Namun, jejaknya sengaja dihapus dari sejarah Republik ini hanya karena ideologinya. Damailah di sana Bung! [Kristian Ginting]