Koran Sulindo – Perkara penistaan agama, seperti yang disangkakan kepada Basuki Tjahja Purnama alias Ahok, bukanlah soal baru di negeri ini. Jauh di masa silam, saat pergerakan nasional mulai menemukan gairahnya di awal abad 20, perkara penistaan agama juga terjadi.
Pemicunya adalah artikel “Pertjakapan Antara Martho dan Djojo” yang dimuat di surat kabar Djawi Hisworo Januari 1918. Artikel itu ditulis Djojodikoro. Dalam salah satu bagian artikel itu tertulis: “Gusti Kandjeng Nabi Rasoel minoem A.V.H. gin, minoem opium, dan kadang soeka mengisep opium.”
Kontan saja kalimat itu menyulut amarah Sarekat Islam (SI).
Artikel itu memang dimaksudkan untuk melemahkan gerakan yang dipimpin H.O.S. Tjokroaminoto itu. Tapi, yang terjadi justru sebaliknya: justru menjadi peluru bagi Tjokroaminoto untuk masuk mengukuhkan peran islam dalam proses penciptaan dan penerapan nilai-nilai kebangsaan.
Tjokroaminoto lalu membentuk Tentara Kandjeng Nabi Moehammad saw. (TKNM) pada 17 Februari 1918. Dia menggelar aksi massa di Kebun Raya Surabaya dan dihadiri sekitar 35 ribu orang. Massa yang hadir berasal dari anggota SI dan Al Irsyad cabang Surabaya yang juga dipimpin Tjokro.
TNKM juga didirikan di cabang-cabang SI lainnya; dan menuntut penulis artikel dan penyebar artikel itu (Marthodarsono) diadili Pemerintah Hindia Belanda. SI yang saat itu sebenarnya mulai mengarah ke perpecahan dengan banyak friksi, bersatu dalam isu penistaan agama itu.
Berkat isu penistaan agama itu, Tjokro juga berhasil menggaet anasir demokratis dan sosialis yang selama ini terserak. Tjokroaminoto juga berhasil menarik simpati kaum santri, kaum abangan, serta para saudagar Arab sebagai donatur SI. “Tjokro mengutuhkan kembali SI sebagai gerakan bumiputera Islam terbesar di zamannya melalui momentum penistaan agama,” tulis Takashi Shiraishi dalam buku An Age in Motion: Popular Radicalism in Java, 1912-1926.
Setahun setelah aksi massa itu, pada 1919, jumlah anggota SI meroket hingga 2,5 juta orang. Organisasi yang awalnya usaha dagang orang-orang beragama Islam itu mulai ditakuti pemerintah kolonialis, dan pelan-pelan mereka mencoba memecah belah SI
Dalam buku “Jang Oetama: Jejak dan Perjuangan HOS Tjokroaminoto”, yang ditulis Aji Dedi Mulawarman (2015), dipaparkan bukti-bukti perpecahan SI pada tahun-tahun selanjutnya hingga organisasi itu dibubarkan adalah bagian dari skenario besar pemerintah penjajahan.
Tjokro sadar intervensi kolonialis itu, namun ia juga sadar waktu yang ia punyai tak banyak lagi. Konon diam-diam ia memercayakan pada Soekarno untuk memerdekakan bangsa ini. Bekas anak menantunya itu memang dipersiapkannya sebagai pejuang generasi baru memerdekakan bangsanya.
Penodaan Agama
Setelah memerdekakan bangsanya pada Agustus 1945, kebebasan beragama mendapat perhatian besar Soekarno, dan langsung menjadi bagian dari pasal Undang-undang Dasar 1945, yaitu Pasal 29 (2): Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu.
Para perancang pasal ini mengerti perkembangan pemikiran politik dan masalah kebebasan beragama di Indonesia, dalam konteks perdebatan dasar negara yang baru lahir: Negara Islam, Negara Sekuler, atau Pancasila. Para pendiri bangsa menyusun dan berdebat mengenai soal ini.
Menurut Muhammad Ali dalam buku “Merayakan Kebebasan Beragama; Bunga Rampai 70 Tahun Djohan Effendi (2009)”, pemikiran Soekarno tentang kebebasan beragama cukup tegas. Soekarno dalam rapat di BPUPKI mengatakan, “Saya mengajak semua orang Indonesia–bukan hanya kaum nasionalis, muslim, Kristiani, Buddha dan mereka yang tanpa agama– untuk memahami zaman di mana kita hidup. Saya tidak ingin membatasi hak asasi manusia untuk menyebarkan ideologi mereka, orang Islam untuk menyebarkan Islam mereka, orang komunis menyebarkan komunisme mereka. Saya sekadar mengajak dan menekankan, mengingatkan, untuk memahami zaman dimana kita tinggal.”
Soekarno tidak menyetujui pembedaan mayoritas-minoritas Setiap orang adalah warga Negara Republik Indonesia.
Soekarno menekankan pentingnya Pancasila sebagai hasil kompromi, dan pentingnya kewarganegaraan (citizenship), bukan identitas keagamaan mayoritas minoritas. Terhadap kalangan yang mempejuangkan Negara Islam, Soekarno berargumen bahwa hanya Pancasila yang dapat menyatukan semua kelompok, dan menjamin kebebasan beragama dan berideologi.
Namun, Soekarno jugalah yang pada akhir-akhir kekuasaannya mengeluarkan Peraturan Presiden yang membatasi kebebasan beragama itu.
Pada akhirnya bapak dan anak Ideologis itu, Tjokro dan Bung Karno, sama-sama menemui kasus penodaan agama dalam riwayat politiknya.
Dalam Ketetapan Presiden No.1 Tahun 1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama itu diatur, “setiap orang dilarang dengan sengaja di muka umum…untuk melakukan penafsiran tentang sesuatu agama yang dianut di Indonesia atau melakukan kegiatan-kegiatan keagamaan dari agama itu, penafsiran dan kegiatan mana menyimpang dari pokok-pokok agama itu.”
Perkataan dan perbuatan yang dianggap menyalahgunakan atau menodai suatu agama yang ada di Indonesia dan dengan maksud agar orang tidak menganut agamapun juga yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tindakan kriminal yang terkena hukuman penjara maksimal 5 tahun.
Presiden Soekarno meneken Kepres itu pada 27 Januari 1965, yang kelak diubah menjadi pasal penodaan agama di dalam bab yang mengatur tentang ketertiban umum, yaitu Pasal 156 a KUHP.
Ketetapan ini diterbitkan Soekarno untuk mengakomodir permintaan dari organisasi-organisasi Islam yang saat itu ramai-ramai ingin melarang aliran kepercayaan, karena dianggap menodai agama yang ada di Indonesia.
Dijelaskan dalam lampiran ketetapan itu terkait gambaran situasi nasional saat ketetapan dibuat. Kala itu dianggap banyak bermunculan perbuatan-perbuatan para pemeluk aliran-aliran tersebut yang melanggar hukum, memecah persatuan nasional, dan menodai agama. Maka dari itu, dalam keadaan darurat Soekarno mengeluarkan UU tersebut. Yang tak disebut adalah ormas-ormas Islam saat itu yang rutin menggelar aksi massa.
Pasal 156, sebagai bagian induk, lebih ditujukan untuk mengatur suatu golongan tertentu. Proses pemidanaannya akan dimulai bila tidak mengindahkan peringatan keras, pembubaran, atau pelarangan. Dalam hal ini yang berhak merumuskan peringatan keras, pembubaran, atau pelarangan ialah Badan Koodinasi Pengawas Aliran Kepercayaan Masyarakat (Bakorpakem). Bakorpakem terdiri atas gabungan Departemen Agama, Departemen Dalam Negeri, Kepolisian, Badan Intelijen Negara, dan organisasi keagamaan seperti Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sedangkan pasal 156 a, bisa ditujukan secara perorangan. Model penanganannya langsung diproses sebagai tindak pidana melalui pemeriksaan penyidikan dan penuntutan di pengadilan.
Ketetapan tersebut kemudian dijadikan undang-undang pada era pemerintahan Presiden Soeharto. Hal tersebut termaktub dalam UU No. 9 Tahun 1969 tentang pernyataan berbagai penetapan presiden dan peraturan presiden sebagai undang-undang.
Namun, Orde Baru ternyata lebih banyak lagi menggunakan pasal itu untuk menjaga ketertiban umum, terutama terhadap yang dianggap menghina pemerintah.
Ujian pertama ‘keampuhan’ pasal ini terjadi Agustus 1968. Majalah sastra yang diasuh HB Jassin mempublikasikan cerita pendek ‘Langit Makin Mendung’ karya Ki Panji Kusmin.
Saat itu kontroversi pun meledak hebat. Umat Islam tersinggung, cerpen tersebut dianggap menghina Islam. Aksi massa pun berlangsung beberapa kali. Pengadilan kasus penistaan agama digelar di Pengadilan Negeri Medan melalui sidang in absentia karena terdakwa Ki Panji Kusmin tak dapat dihadirkan. Hakim menvonis penjara satu tahun dengan masa percobaan dua tahun.
Aksi Massa
Ketua Lembaga Kajian dan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (Lakpesdam PBNU), Rumadi Ahmad, mengatakan tuduhan penodaan, penghinaan, atau penistaan agama tidak jelas definisi dan standarnya.
“Orang yang melakukan penodaan agama tidak perlu mempunyai intensi melakukan penghinaan terhadap Islam. Jika yang dilakukan itu dianggap meresahkan masyarakat, orang tersebut bisa dituduh melakukan penodaan agama,” kata Rumadi, dalam diskusi Institute Demokrasi bertajuk “Penodaan Agama dan Penebaran Ujaran Kebencian dalam Perspektif HAM”, di Jakarta, pekan lalu.
Karena tanpa standar dan definisi yang jelas, tuduhan penodaan agama seringkali beririsan dengan manipulasi politik. Berbagai aksi penyerangan terhadap orang yang dituduh melakukan penghinaan terhadap Islam, misalnya, sering tidak terjadi secara spontan, tetapi hasil dari manipulasi politik yang dilakukan secara sadar untuk membangkitkan semangat permusuhan.
Proses hukum kasus penistaan agama biasanya akan mengikuti tekanan dan tuntutan dari masyarakat. Jarang kasus seperti ini diproses hukum secara obyektif. “Bisa jadi kasus dugaan penistaan agama yang dilakukan Ahok ini diproses karena ada desakan dan tuntutan massa. Sehingga timbul tuntutan penegakan hukum,” katanya.
Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama (Ahok) ditetapkan polisi menjadi tersangka kasus penistaan agama pada Rabu (16/11) lalu. Ahok didakwa berdasarkan Pasal 156 a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
Sekitar 2 minggu sebelum penetapan itu, unjuk rasa ormas Islam yang menuntut hukuman bagi Ahok berlangsung di Jakarta.
Menurut Rumadi hampir tak ada kasus penistaan agama di Indonesia yang tidak didahului oleh aksi massa. [Didit Sidarta]