Ilustrasi: Ketua UmumPDI Perjuangan Megawati Soekarnoputri saat acara pengumuman calon kepala daerah yang diusung PDIP, di DPP PDIP Jakarta, Rabu (19/2/2020)/CHA

Koran Sulindo – Ketua Bidang Ideologi dan Kaderisasi DPP PDI Perjuangan, Djarot Saiful Hidayat, mengatakan dalam Pemilihan Umum (Pemilu) atau Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tujuan pencalonan bagi PDIP bukan sekedar memenangkan pemilu, tapi melahirkan pemimpin-pemimpin dengan kinerja yang baik.

“Dasar yang kemudian dipakai PDIP dalam menyelenggarakan pencalonan adalah konsolidasi ideologi, konsolidasi organisasi, konsolidasi kader dan konsolidasi partai dengan kehendak rakyat. Inilah yang menjadi dasar, dan kemudian dipakai oleh PDIP dalam proses pencalonan,” kata Djarot, dalam webinar bertajuk Proses Kandidasi di Pilkada 2020 : Ruang Gelap Yang Penuh Misteri, yang digelar Departemen Politik dan Pemerintahan UGM dan PolGov Fisipol UGM, Kamis (23/7/2020), seperti dikutip ugm.ac.id.

Menurut Djarot untuk menuju konsolidasi demokrasi yang kuat di masa depan  kuncinya ada pada partai politik.

Partai politik harus memastikan dan bertangung jawab agar dirinya sehat dan kuat.

“Karena itu, PDIP konsisten melakukan pendidikan politik sebagai bagian dari kaderisasi, sekaligus konsisten membangun struktur partai hingga ke tingkat bawah, bahkan membangun kantor-kantor partai hingga tingkat cabang. Bukan hanya untuk kepentingan partai, tapi ini rumah bersama rakyat, tempat untuk menyampaikan aspirasi,” kata Djarot.

Sementara anggota KPU RI, Hasyim Asy’ari, mengatakan ada kecenderungan penentuan calon pemimpin daerah hanya dilakukan oleh sedikit elit. Mereka adalah para elit partai. Karena terbatas dan sedikitnya orang yang bisa menentukan maka kecenderungannya tertutup.

“Ini sering disebut dengan sistem oligarkhis dalam pencalonan. Soal kajian-kajian ini sudah banyak, tapi bukan porsi saya membuat penilaian-penilaian terhadap proses-proses dinamika pencalonan di internal partai,” katanya.

Bagi KPU, calon-calon yang akan maju pilkada maka kewenangan yang dimiliki hanya membuka dokumen yang diserahkan partai politik terkait pencalonan pasangan calon. KPU tidak memiliki kewenangan untuk membuat penilaian terhadap calon yang akan maju kontestasi.

“Ini berbeda dengan apa yang dialami di Paraguay, dimana UU Pemilu disana yang memungkinkan lembaga semacam KPU melakukan wewenang untuk  hadir dan membuat penilaian dalam proses-proses pencalonan di internal partai, sudah demoktratis belum, sudah transparan belum,” katanya.

Menurut Hasyim, pilar demokrasi adalah partai politik dan pemilu. yang penting dilakukan segera adalah konsolidasi dan menyiapkan pola yang relatif ajeg, sebab kecenderungan dalam pemilu atau pelaksanaan pilkada sering terjadi perubahan-perubahan pola, termasuk perubahan pelembagaan yang tertuang dalam UU.

“Makanya dalam konteks itu kalau mau perubahan untuk pemilu nasional, misalnya setelah dua kali pemilu dievaluasi dan lain-lain. Tapi kita memiliki kecenderungan habis pemilu, UU ganti lagi, inilah proses pelembagaannya tidak pernah rampung. Itu sebetulnya bagi partai politik juga melelahkan, bagi calon melelahkan, bagi penyelenggara pemilu adaptasinya juga butuh waktu,” kata Hasyim.

Sementara itu, dosen DPP Fisipol UGM, Arya Budi, mengatakan proses kandidasi adalah bagian dari cara orang untuk menang, sementara bagi partai untuk memenangkan dalam prosesnya memerlukan biaya politik yang tinggi. Oleh karena itu, diperlukan adanya reformasi politik untuk mereduksi financing dalam proses kandidasi.

“Saya berharap ada proses ke sana. Karena dalam beberapa kasus biaya politik tinggi menciptakan siklus skandal korupsi yang agak lumayan di beberapa daerah,” katanya.

Arya mengakui sistem di Indonesia masih mencari-cari bentuk. Mekanisme masih belum jelas meletakan kandidasi sebagai domain partai atau domain publik.

“Itu sejak awal harus dijelaskan karena sampai sejauh ini kandidasi itu adalah domain eksklusif atau menjadi domain partai. Sementara dalam siklus pemilu lainnya kampanye, registrasi dan sebagainya hingga pencoblosan menjadi domain bersama, ada partai, ada penyelenggara (KPU) dan ada pemilih,” kata Arya.

Kepala PolGov, Cornelis Lay, mencatat hingga kini pelaksanaan pemilu masih dimaknai sebatas pemberian suara di tahapan pemungutan suara. Padahal, mengutip pendapat Gallager (1998) menggambarkan pencalonan atau kandidasi sebagai “the secret garden of politics”. Yaitu ruang rahasia yang digambarkan sangat tertutup dan penuh misteri. Publik tidak mengetahui aktivitas apa yang sedang dilakukan di dalamnya.

“Diistilahkan sebagai the garden is full of “muddy waters”, untuk menggambarkan betapa kotornya aktivitas yang dilakukan di dalam ruang tersebut. Tidak mengherankan jika kandidasi dipandang sebagai urusan partai politik atau bahkan urusan dari segelintir elite partai politik,” kata Cornelis. [RED]