Djamaluddin Malik, seorang pelopor industri perfilman nasional, lahir di Padang pada 13 Februari 1917. Putra Minang ini menempuh pendidikan di MULO dan AMS di Jakarta, di mana ia bertemu dengan Usmar Ismail, yang kelak menjadi partnernya dalam membangun perfilman nasional.
Djamaluddin Malik memulai kariernya di Koninklijke Pakertvaart Maatschappij (KPM). Ia menjalankan bisnis perdagangan kayu hingga pengangkutan perjalanan haji ke Mekah, yang kemudian memberinya modal untuk mendirikan industri film modern.
Pada 23 April 1951, ia mendirikan Persari (Perseroan Artis Indonesia) di Polonia, yang dilengkapi dengan fasilitas mewah seperti studio, taman dan kolam renang, laboratorium hitam putih, hingga studio perekaman suara.
Selama lebih dari sepuluh tahun, Persari berhasil memproduksi 59 judul film, termasuk tiga film berwarna berjudul “Rodrigo de Villa” (1952), “Leilani” (1953), dan “Tabu” (1953).
Pada tahun 1962, Persari bekerja sama dengan Sampuguita untuk memproduksi film “Holiday in Bali” yang menggunakan tiga bahasa: Bahasa Indonesia, Tagalog, dan Inggris, melibatkan pemain dari Indonesia dan Filipina.
Film terakhir yang diproduksi Persari adalah “Menyusuri Jejak Berdarah” pada tahun 1967, hasil kerja sama dengan Ifdil dan Perfini.
Pada tahun 1954, Djamaluddin Malik berusaha mengikutsertakan film Indonesia dalam Festival Film Asia I (FFA) di Jepang, namun gagal akibat ketegangan hubungan diplomatik antara Indonesia dan Jepang.
Kegagalan ini terbayar pada tahun 1955 ketika ia berhasil membawa film Indonesia ke FFA II di Singapura. Pada tahun yang sama, filmnya “Tarmina” dan “Lewat Jam Malam” terpilih sebagai film terbaik versi Festival Film Indonesia I (FFI).
Sebagai seorang muslim, Djamaluddin Malik aktif dalam beberapa organisasi Islam. Sejak tahun 1933, ia menjadi anggota Nahdlatul Ulama (NU) dan pada tahun 1956, ia menjabat sebagai Ketua III Pengurus Besar NU dalam Muktamar ke-21 di Medan.
Pada tahun 1962, bersama Usmar Ismail dan Asrul Sani, ia membentuk Lesbumi (Lembaga Seniman dan Budayawan Muslimin Indonesia), sebuah organisasi di bawah naungan partai NU yang menjembatani kalangan santri dengan seniman dan budayawan.
Pada tahun 1966, Djamaluddin Malik mewakili NU sebagai anggota Dewan Perwakilan Rakyat Gotong Royong (DPR-GR).
Di usia senjanya, Djamaluddin Malik jatuh sakit dan menjalani perawatan di Jerman Barat. Ia meninggal pada 7 Juni 1970. Jenazahnya diterbangkan ke Jakarta dan dimakamkan di Kawasan Pekuburan Karet Jakarta.
Pada tahun 1973, pemerintah menganugerahi Djamaluddin Malik Bintang Mahaputra yang diterima oleh istrinya, Elly Yunara, sekaligus mengukuhkan Djamaluddin Malik sebagai pahlawan nasional.
Djamaluddin Malik tidak hanya dikenang sebagai pelopor industri perfilman nasional tetapi juga sebagai tokoh muslim berpengaruh yang berhasil menyatukan bidang seni, budaya, dan keagamaan. [UN]